9. Pertemuan Dadakan

Jeffry baru saja keluar dari ruang interogasi. Wajahnya terlihat kelelahan.

Dia ditanyai macam-macam selama berjam-jam. Apa hubungannya dengan Andi, kenapa bermasalah dengan pria itu. Jeffry sebenarnya sudah melupakan pria yang telah membunuh ayah angkatnya itu. Tetapi, gara-gara kepolisian, dia jadi ingat lagi. Dendamnya bangkit, terlebih kali ini malah rekan-rekannya yang dihabisi.

Jeffry ingat saat dulu S.A.B.U. dan G.A.N.J.A. bentrok untuk pertama kalinya. "Kau memalsukan penghasilanmu, Kana!" ujar Andi selaku pemimpin G.A.N.J.A. "Aku tahu kau tidak memberikan semuanya kepadaku."

"Kau tidak bisa membaca, Andi?" tanya Kana, ayah angkat Jeffry, dengan rambut panjang tak terurusnya. "Aku sudah menulis laporan bahwa hanya itu yang aku dapatkan. Semuanya sudah kuberikan. Untuk apa aku berbohong?" Mata cekungnya menatap tak suka.

Andi terdiam. Di area lapang di tengah hutan itu, dengan Jeffry yang duduk di kursi mobil pick-up-nya, dia mendengar dua pemimpin kelompok pengedar narkoba di Kalimantan itu bertengkar mengenai penghasilan.

Kana membuang napas. "Bilang saja kau mulai tidak menyukai bagi hasil ini," katanya.

Andi mengusap wajahnya. "Ya, aku sudah tidak mau bagi hasil. Aku mau menguasai semua penghasilan dari pengedaran narkoba yang ada di Kalimantan." Dia menunjuk Kana. "Dan kau, Kana, turuti permintaanku. Bekerjalah untukku, bukan untuk Bos. Semua penghasilanmu berikan padaku."

Kana menatap berani pria itu. "Egois. Aku tidak mau bekerjasama dengan seorang egois."

"Bedebah!"

"HEI!"

"JEFFRY, TETAP DI DALAM MOBIL!"

Andi menjabak rambut Kana, Jeffry yang melihat segera meneriakinya dan membuka pintu mobil. Kana langsung menyuruh Jeffry untuk diam. Dengan terpaksa, Jeffry menutup kembali pintu mobilnya dan mengisi pistol di tangannya. Dia akan menembak Andi apabila macam-macam dengan ayah angkatnya.

"Aku beri kau waktu tiga hari," ucap Andi. "Kau mati, atau anak-anak asuhmu yang mati." Dia melepas jambakan rambut dan menatap Jeffry di dalam mobil. Mereka saling menatap tajam sebelum Andi membalik badan dan masuk ke mobilnya. Dia segera tancap gas, meninggalkan Kana yang dihampiri Jeffry. "Tuan," panggilnya. Kana menoleh, membuang napas, kemudian menepuk-nepuk bahu Jeffry.

"Jika aku mati nanti, aku serahkan semua tanggung jawab ini padamu. Jaga Pak Ari, Bu Rasih, Linda, Shinta, dan Albeta," katanya.

Jeffry terbelalak. "Kau memilih mati? Kenapa tidak melawannya? Aku bisa bantu."

"Tidak." Kana menggeleng. "Satu-satunya orang yang tidak bisa kulawan adalah dia."

"Aku saja yang melawannya!"

"Jeffry, berhentilah!"

Jeffry menatap Kana yang terlihat putus asa. Lelaki itu menggeleng-geleng. "Tuan, kumohon jangan mati dulu."

Kana tidak menjawabnya, dan lima hari kemudian, dia tertembak di tengah hutan saat Jeffry dan yang lain memburu Nia yang kabur dari penyekapan mereka. Gadis itu dibantu oleh tiga temannya, dua memegang senapan, Nia pun menggenggam senapan di tangannya, punya Wio. Albeta meraih tubuh Kana yang terhuyung, Jeffry nyaris mengamuk karena mengira tiga orang yang memegang senapan itulah yang menembak ayah angkatnya.

Ternyata bukan.

Kana langsung tewas di tempat. Jeffry seketika lemas.

Orang-orang yang sedih karena kepergian Kana, menjadi cemas saat melihat Jeffry yang melemah. Mereka memutuskan kembali ke markasnya di tengah hutan, memeriksa Kana apakah benar-benar sudah meninggal atau tidak. Jeffry, dengan segala tenaga yang ada, memeriksa peluru yang tertanam di dada ayah angkatnya.

Jeffry menemukan satu hal: dua peluru ditembakkan secara bersamaan. Pelaku menggunakan senjata double barrel. Jeffry mengingat senapan yang dipegang Nia dan dua lainnya, itu tipe solo barrel.

Ada seseorang selain mereka saat peristiwa kaburnya Nia dibantu teman-temannya itu terjadi. Jeffry langsung melayangkan anggapan pada Andi.

Benar saja. Andi mengakui kejahatannya setelah dia berhasil tertangkap, baru mengaku setelah empat tahun Kana meninggal. Jika tidak ada polisi di dalam ruang sidang, Jeffry sudah menghabisi Andi karena kebenaran yang ia terima. Bahkan, hakim saat itu memutuskan agar Andi dan Jeffry berpisah penjara karena dikhawatirkan Jeffry menghabisinya.

Rekan-rekannya, orang-orang yang dulu Kana jaga dan dialihkan pada Jeffry, berusaha menenangkannya dan bilang, "Andi tidak akan macam-macam lagi. Lupakan dia, Jeffry. Kana sudah senang karena kau sudah memenjarakannya."

Jeffry pun merasa bahwa terus menyimpan perasaan membunuh itu sia-sia. Lagipula, dia bisa dapat hukuman lebih apabila melakukannya. Jeffry tidak mau lama-lama di penjara.

Namun, baru saja melupakannya, Andi berulah. Kali ini dia kelewat batas, membuat Jeffry terasa mengkhianati amanah Kana. Ingin rasanya mencari keberadaan buronan itu sebelum Jeffry sadar bahwa lokasinya masih tidak diketahui.

Jeffry harus menahan patah hati dan kemarahannya. Jangan biarkan kematian rekan-rekannya tempo hari membuatnya menyerahkan diri kepada Andi. Saatnya bekerjasama dengan polisi untuk memberikan balas dendam kepadanya.

Jeffry masuk ke dalam salah satu ruangan rumah sakit dan kembali mengunjungi Albeta. Dia sudah semakin sehat. Dia sedang menggoda perawat yang tengah mengganti infusnya saat Jeffry masuk dan menghampirinya. Albeta duduk di atas ranjangnya, melebarkan tangan. Jeffry memeluknya, Albeta membalas pelukannya.

Perawat itu pergi setelah Jeffry meminta waktu berdua dengan Albeta. Setelah basa-basi sejenak, Albeta memberitahu sesuatu. "PA mengunjungiku hari ini."

Jeffry segera mengubah tatapan hangatnya jadi tatapan serius. "Apa maksud kedatangannya?"

"Dua orang itu bilang bahwa Andi sudah ada di kota ini. Dia kabur bersama Dandi. Sisa anggota G.A.N.J.A. yang lain, dia bilang semuanya bunuh diri," jawab Albeta.

Mendengar 'bunuh diri', Jeffry langsung terbelalak. "Mereka bunuh diri?"

Albeta mengangguk. "PA bilang kalau sebelum Andi dan Dandi kabur, sepertinya ada sesuatu yang penting yang mereka beritahukan kepada Nathan, Nathalia, dan Pak Kumis. Mereka bertiga ini diinterogasi agar mau buka suara bagaimana caranya Andi dan Dandi bisa kabur, dan apa motifnya," jelas Albeta. "Mereka memaparkan semua yang mereka tahu, tapi kepolisian Samarinda merasa bahwa itu masih kurang, alias ada yang disembunyikan. Baru saja mau dipaksa bicara, orang-orang itu menembak diri mereka sendiri di ruang interogasi. Mereka dapat pistol dari mana ya?" Lelaki itu mengelus-elus dagu.

Jeffry kaget dengan pemberitahuan itu. Artinya, jika mau tahu kenapa Andi dan Dandi kabur dari penjara adalah dengan cara menangkap mereka berdua yang tidak diketahui ada di mana.

"Apa saja yang tiga orang itu katakan pada kepolisian?" tanya Jeffry.

Albeta mengendikkan bahu. "Aku tidak tahu. PA tidak mengatakan itu."

Jeffry berdecak.

"PA bilang kalau Andi kabur sepertinya karena Nia. Dia masih dendam pada gadis itu ternyata." Albeta menyambung. "Dia ingin kau bekerjasama untuk memenjarakan Nia lagi--kurasa tujuannya sekarang bukan memenjarakan, tapi membunuh."

"Aku tidak mau membunuh orang, apalagi Nia!" sahut Jeffry, keras. "Aku tidak akan bekerjasama dengan Andi lagi."

"Ada banyak orang yang harus kulindungi, sialan!" Jeffry menggeram. "Andi mengincarmu, Andi juga mengincar Nia. Wio bisa dalam bahaya. Argh! Aku harus menemui mereka dan menyuruh mereka segera pulang ke kediaman masing-masing."

Albeta mengangguk-angguk.

Setelah percakapan itu, Jeffry memutuskan untuk pulang ke lapasnya. Dia harus melapor setiap jam 6 sore apa saja yang ia lakukan saat dibebaskan untuk sementara. Sekaligus menyiapkan diri untuk mencari di mana Nia dan Wio berada saat ini.

***

Wio dan Nia sedang pergi ke toko roti milik Aldi untuk menukar kupon yang mereka dapatkan. Sampai di sana, mereka menukarkannya dengan sebuah roti isi daging, ternyata bisa. Wio dan Nia keluar dari toko roti besar itu dan berteriak senang.

Wio sedang mengeluarkan motor dari parkiran saat Nia merasa ada yang menepuk bahunya. Nia segera menoleh, lalu terbelalak. "JEFF! KAU-"

Jeffry langsung menutup mulut Nia, menoleh pada Wio yang terbelalak mendapatinya di sana. "Ceritanya panjang," ucap Jeffry. "Aku ke tempat kalian atau kalian ke tempatku?"

Wio kembali memarkir motornya dan bersama Nia, ikut Jeffry ke suatu gang buntu yang kecil. Tidak ada penghuni, tidak ada yang melewati jalan itu. "Ada yang ingin kubicarakan."

Wio dan Nia mengangguk. Mereka siap mendengarkannya, menyimpan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan.

"Mulai saat ini, kalian hati-hati. Andi ada di kota ini, Dandi belum diketahui di mana. Dia-"

"Apa? Andi kabur dengan Dandi?" potong Wio, berteriak. Nia segera menutup mulutnya dengan Jeffry menatap dongkol.

"Kalian belum tahu itu?" tanya Jeffry, bingung.

Wio dan Nia menggeleng.

"Pokoknya, hati-hati mulai saat ini. Kalau bisa, Nia, kau segera kembali ke rumahmu atau di manapun asalkan jangan di Tenggarong lagi. Wio, kau juga," suruh Jeffry. "Aku tidak tahu siapa yang diincar oleh Andi, apakah kau atau Nia, tapi aku rasa Nia yang diincar."

Nia melebarkan mata. Dia mulai ketakutan. "Bagaimana aku kembali jika kau bilang Andi mengincarku? Dia bisa mencelakakanku di jalan, apalagi sendirian."

Jeffry tampak berpikir. Nia ada benarnya. Andi akan lebih leluasa mengincar Nia kalau dia kembali sendirian.

"Mau kutemani pulangnya?" tanya Wio pada Nia.

"Justru kalau kita berdua tetap bersama, Andi bisa melukai salah satu dari kita," jawab Nia.

"Tidak apa asal aku masih bisa melindungimu." Wio menoleh pada Jeffry. "Atau kau punya kenalan Jeffry?"

"Aku tidak mau menggunakan kenalanku. Malah mereka yang nanti diincar." Jeffry menggeleng, tak setuju.

"Jadi, bagaimana ini?" tanya Nia. Nada bicaranya mulai panik. Dia berusaha menenangkan diri.

Jeffry mengusap wajahnya. Dia berkacak pinggang. Dia tidak mau berurusan seperti ini lagi, memastikan nyawa seseorang tidak melayang gara-gara Andi. Ia tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Nia dan Wio, tetapi jika mereka mati, Jeffry akan merasa sangat bersalah karena tidak menolong mereka.

"Setidaknya untuk hari ini, kalian jaga diri saja. Aku akan pikirkan bagaimana caranya. Aku tidak bisa berpikir jika begini." Jeffry menatap Nia. "Lagipula, apa yang kaulakukan di sini? Mengundang bahaya saja."

Nia mencuramkan alis. "Mengundang bahaya apanya? Aku saja tidak tahu akan begini kejadiannya jika aku pulang ke Tenggarong."

Jeffry mendengkus. Dia memutar malas bola matanya.

"Baik, kami akan usahakan jaga diri untuk hari ini. Aku juga akan memikirkan rencana apa yang bagus untuk memulangkan Nia--setidaknya Nia saja yang berhasil pulang." Wio menengahi mereka.

Jeffry dan Nia menatap Wio. "Tapi, kau jadi sendirian saat pulang nanti."

"Tidak apa-apa." Wio mengelus rambut Nia, menenangkannya.

Jeffry kembali membuang napas. Sepertinya dua sejoli itu ada di Tenggarong untuk bertemu. Jeffry hendak marah pada mereka, kenapa ke Tenggarong, kenapa tidak saling berkomunikasi lewat telepon saja. Namun kemudian, dia memikirkan rasa rindu mereka. Jeffry menghela napas. Dia tidak boleh terus mengedepankan egonya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top