8. Tamu

Nia terlihat tersengal-sengal, dadanya naik-turun. Habis bernyanyi dengan Arin membuat semua energinya terkuras. Bibir gadis itu jadi kering, dia menginginkan minuman.

Ia sudah meneguk beberapa gelas sirup yang sudah disediakan sebelum menyadari bahwa Wio berdiri, mematung tak jauh dari tempatnya. Lelaki itu tampak memikirkan sesuatu, atau kerasukan? Nia segera menghampiri dan menepuk-nepuk bahunya. "Wio, kau baik-baik saja?"

Wio menoleh gelagapan matanya, lalu tergagap. "Eh, ya, um .... B-baik, baik." Dia terkekeh sambil menggaruk kepala. "Bagaimana pertemuan dengan Arin? Menyenangkan?"

Nia hendak menanyakan kenapa lelaki itu malah mematung saat semua orang sibuk bersukaria. Dia baru sadar bahwa saat ia bernyanyi tadi, Wio tidak terlihat menontonnya. Apa artinya dia sudah mematung sejak Nia dan Arin bersenang-senang di atas panggung?

Nia menyimpan pertanyaan itu. "Sangat menyenangkan! Nama suaminya Aldi Budiman! Dia pemilik toko roti terkenal di Tenggarong ini!" Gadis itu mengeluarkan dua kupon. "Kita dapat roti gratis apabila menyerahkan kupon ini ke toko rotinya."

"Kapan-kapan kita ke sana," ajaknya.

Wio hanya mengangguk-angguk. Nia menoleh pada Arin dan Aldi. Dia tidak menyangka gara-gara kerja coba-coba di kota, Arin malah mendapatkan pasangan hidup yang ideal. Nia berdoa dalam hati agar hidup pasangan itu tenang dan sentosa.

"Di mana kau dapat minuman itu?" Wio menunjuk ke gelas kaca yang dipegang Nia.

"Di sana." Nia menunjuk ke sebuah arah dengan jempolnya. "Aku mau ambil lagi. Kau ikut?"

Wio mengangguk.

Mereka beranjak dari sana, tak menyadari tatapan Aldi yang terkunci pada mereka berdua. Matanya menatap serius. Dia memanggil salah satu rekan kerjanya, membisikinya. "Intai mereka! Siapa tahu Andi dan Dandi keluar dari persembunyiannya saat mereka pulang ke rumah."

Rekannya menyanggupi.

Aldi kembali menatap Wio dan Nia yang mengambil beberapa kue untuk dinikmati. Dia penasaran apa hubungan Andi dan Dandi dengan pasangan itu.

Andi sudah dapat kabar dari pusat bahwa Nathan sudah buka suara. Sayang sekali, meskipun sudah memaparkan informasi, Andi rasa itu tidak membantu untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi saat ini. Nathan malah menembak dirinya sendiri saat sesi interogasi berlangsung.

Anggota G.A.N.J.A. sudah mati semuanya, kecuali Andi dan Dandi yang berhasil kabur. Kemudian, anggota S.A.B.U. mengalami hal demikian, kecuali Albeta yang terbaring di rumah sakit dan Jeffry yang katanya menjadi informan kepolisian.

Aldi kira Andi dan Dandi hanya berurusan dengan S.A.B.U., ternyata juga berurusan dengan masyarakat awam.

Dia membuang napas. Wio dan Nia merupakan umpan yang bagus untuk memancing dua buronan itu untuk keluar dari persembunyiannya.

***

Nia dan Wio pulang ke rumah setelah mendapat bingkisan berisi kipas tangan dan gantungan kunci serta empat buah kotakan yang diberikan Arin dan Aldi secara cuma-cuma kepada mereka. Nia bersyukur. "Kita tidak perlu beli makan malam ini," katanya pada Wio.

Nia langsung mengganti pakaiannya dan menghapus hiasan di wajahnya. Wio melepas celananya dan memasang celana pendek. Nia keluar dengan gaun kebaya yang sudah terlipat rapi.

Gadis itu menyimpan bingkisan dari Aldi dan Arin ke dalam tas besarnya.

Bersama Wio, mereka menyantap makanan yang diberikan Arin dan Aldi. Mereka menyantapnya sebelum Nia teringat dengan pertanyaannya yang tadi hendak ditanyakannya.

"Aku tidak melihatmu menontonku saat aku dan Arin bernyanyi-nyanyi tadi." Wio menoleh padanya. "Kau terlihat mematung setelah berkenalan dengan Aldi. Apa ada yang salah dengannya?"

Wio terlihat berpikir sejenak, lalu membuang napas. "Dia orangnya sarkas sekali," ujarnya, berbohong. Wio tidak mau memberitahu bahwa Aldi bukan hanya sekedar pemilik toko roti, tetapi merupakan penyamar dari kepolisian. Malah, dari kartu yang pria itu perlihatkan, dia merupakan orang penting di kepolisian daerah.

Wio juga tidak ingin memberitahu bahwa Andi dan Dandi sekarang sedang mengincar mereka. Nia akan panik. Lebih baik Nia tenang agar Wio bisa melindunginya.


"Apa yang dia katakan padamu?" tanya Nia, menyendok nasinya ke dalam mulut.

"Dia mencium bau orang kampung di pestanya." Wio mengarang. "Itu tidak menyakiti hatiku, tapi sepertinya sukses membuatku terdiam ya." Dia mengendikkan bahu.

Nia mengangguk-angguk. Dia jadi tidak curiga lagi.

Tadi saat Wio terdiam, Nia takut dia mengetahui atau melihat sesuatu yang macam-macam. Siapa tahu ada Andi di pesta itu dan ia tidak mengetahui keberadaannya, tetapi Wio tak sengaja melihatnya. Ternyata lelaki itu terdiam karena kena ejek Aldi.

"Dasar candaannya." Nia mendengkus. "Sudahlah, lupakan saja."

Wio hanya mengiakan.

Mereka lanjut memakan makanan, tak sadar di sekitar rumah mereka, ada rekan Aldi yang segera bertugas. Dia merekam pembicaraan mereka dengan sebuah alat yang menggunakan mic shotgun. Ia jadi tahu bahwa Wio berbohong mengenai percakapannya dengan Aldi.

Lelaki itu segera menekan earphone di telinga. "Pak, Wio berbohong mengenai pembicaraan Anda."

Terdengar suara statis di seberang earphone. "Tidak mengapa. Malah itu yang kuharapkan."

Lelaki itu melihat sekitar. Dia belum menemukan hal yang mencurigakan. Wio sempat keluar, tetapi untuk membuang sampah ke tong sampah depan rumah. "Untuk saat ini tidak ada yang terjadi. Tapi, sepertinya saya butuh rekan."

"Tidak usah, kamu kembali saja," suruh Aldi, tiba-tiba. Itu membuat si rekan melebarkan mata.

"Kenapa, Pak? Apakah pekerjaan saya ada yang salah?" tanyanya, khawatir.

"Tidak, sudah cukup. Tidak ada yang salah padamu. Kembalilah."

Sambil mendengkus, si rekan merapikan barang-barangnya dan pergi dari tempat ia mengintai. Dia mengendarai motornya sampai ke rumah bosnya. Ia masuk ke rumah yang sepi itu, meletakkan peralatan pengintainya, lalu pergi untuk melapor pada atasan.

Mengetuk dan diperbolehkan masuk, dia masuk ke ruangan Aldi dan kaget melihat seseorang yang berdiri di depan atasannya itu.

"ANDI MAHENDRA!" Dia lekas menarik pistol dari sarungnya yang terikat celana dan menodongkannya pada pria yang selama ini jadi buronan.

"Marsya, turunkan senjatamu!" perintah Aldi yang duduk di kursinya. Andi menoleh pada lelaki yang menodongkan pistolnya itu. Marsya meneguk ludah, lalu menurunkan senjatanya.

"Aku baru tahu Marsya ikut berkhianat padaku." Andi buka suara. "Banyak pengkhianat di sini ya?"

Aldi mendengkus. "Tentu saja kami harus berkhianat. Lebih baik bekerja dengan keamanan daerah daripada bekerjasama dengan pengedar bengis sepertimu."

Andi menoleh pada Aldi. "Dandi akan memukulmu habis-habisan jika dia ada di sini."

"Sayangnya tidak ada dia." Aldi memajukan dirinya. Dia tidak bersandar lagi. "Bagaimana kabarnya, ngomong-ngomong? Aku harap tidak tantrum lagi."

Andi mendekati pria itu. "Aku peringatkan. Jika kau berurusan lagi di urusan ini, kau mati."

"Kau kira aku takut?" Aldi tersenyum. "Setelah semua yang terjadi, kau kira aku akan tunduk padamu? Memaksaku seperti kau memaksa Jeffry untuk menyerah?" Dia menggeleng. "Ancamanmu payah."

Andi dan Aldi bertatapan lama sekali. Terasa seperti ada percikan listrik di antara mereka. Marsya dan rekan-rekannya yang lain hanya bisa menonton sambil tetap mengeratkan pegangan pada pistolnya masing-masing.

"Aku pastikan orang besar mulut sepertimu habis di tanganku." Andi menunjuk, geram.

Aldi hanya mengendikkan bahu. "Kau boleh kabur lagi sekarang. Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Aku akan melapor ke atasanku kalau aku masih tidak menemukanmu."

Andi menggeram. Tatapannya mengerikan. Dia berbalik dan mendorong Marsya untuk menyingkir. Dia keluar dari pintu ruangan dan kabur lagi entah ke mana.

Aldi menghela napas. Berbicara dengan hewan buas ternyata begini rasanya.

"Pak, kau membebaskannya," kata Marsya. "Kita bisa dihukum kalau ketahuan."

"Bagaimana kalau kita tidak ketahuan?" tanya Aldi. "Tenanglah, kita akan baik-baik saja."

"Tapi, ini menyalahi perintah."

"Yakinlah kepadaku bahwa apapun yang sedang terjadi saat ini." Satu buah pisau lipat terlempar ke arah Marsya. Syukurnya meleset dan tepat menancap ke pintu di belakangnya. "aku melakukannya karena tidak ingin kita terbunuh." Aldi muak dengan sanggahan rekannya. "Diamlah. Percaya saja padaku."

Marsya meneguk ludah, lalu mengangguk, ketakutan. Aldi kembali bersandar ke kursinya, rekan-rekannya menyimpan pistol ke sarungnya yang terikat di celana mereka.

Mereka terdiam di dalam ruangan itu dengan Marsya yang bertanya-tanya dalam hati. Apa yang sudah terjadi? Kenapa atasannya malah membiarkan buronan itu lari lagi?

***

Aldi sedang menerima laporan dari rekan-rekannya kala bel rumah ditekan pertanda ada tamu. Rumah lama Aldi yang sebenarnya jadi markas rahasianya itu jarang kedatangan tamu setelah dia dipindahtugaskan ke Kalimantan Timur.

Aldi yang membukakan pintu, melihat seorang pria yang dengan cekatan meraih lehernya dan masuk ke dalam rumah. Dia melepas tudung jaketnya, menatap Aldi yang ia cekik. Aldi melebarkan mata. "Oh, Andi rupanya." Dia terkekeh. "Selamat datang-"

"HEI, APA YANG KAULAKUKAN!" Rekan-rekan Aldi keluar dari ruangan dan segera menodongi Andi senjata.

"Tenanglah, kawan-kawan, turunkan senjata kalian-"

Andi meraih pistol yang tersimpan di balik jaketnya dan balik menodongi orang-orang itu. "Kalian mati jika kalian yang mulai."

Mereka semua diam sejenak sebelum Aldi meminta pada Andi untuk membicarakannya secara baik-baik di dalam ruangan kerjanya. "Aku tahu kedatanganmu ke sini. Lebih baik kita bicarakan secara damai."

Andi menatap tajam Aldi, lalu melepas cengkeramannya di leher. Aldi mengisyaratkan agar rekan-rekannya menurunkan senjata agar pria itu tidak merasa terancam. Mereka masuk ke ruangan kerja dengan Andi yang menyampaikan keinginannya.

"Aku sudah memaafkanmu atas pengkhianatanmu, sekarang bantu aku!" suruh Andi.

"Tidak semudah itu." Aldi menggeleng. "Aku sudah membuat kesalahan yang merugikan diriku sendiri dan rekan-rekanku ini selama bersamamu. Kau tidak melindungi dengan baik orang-orang yang kauperintah."

"Kumohon, Aldi." Andi menggebrak meja, membuat seisi ruangan kaget. "Kau kira mudah menyelamatkan orang-orang yang dipercaya dalam satu waktu?"

"Karena itulah aku berkhianat padamu," sahut Aldi, kembali tenang. "Kau tidak bisa melindungi anggota-anggotamu."

Andi membuang napas. "Akan kulindungi kau jika mau bekerjasama denganku lagi."

Aldi mengangguk-angguk. Dia mengelus dagu, tampak memikirkan sahutan yang tepat.

Andi pun menyambung. "Bantu aku membuat mereka tersiksa lagi. Aku mohon," pintanya, untuk yang terakhir kali.

Aldi membuang napas. Dia tersenyum pada mantan bosnya. Ia menggeleng dan menyeringai. "Coba paksa aku kalau bisa."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top