7. Aldi

Nia tidur sambil memegangi tangan Wio. Dia tidur terduduk, Wio tak sempat hendak menggendongnya agar dibaringkan ke atas sofa. Lelaki itu juga mengantuk. Mereka sama-sama memejamkan mata dan mendengkur.

Sampai sebuah ketukan di rumah terdengar. Wio yang pertama bangun. Dia bangkit, menoleh ke pintu, lalu ke jam dinding. Jarumnya menunjuk ke angka 11, jam 11 lebih 15 menit. Wio kembali menoleh ke pintu sebelum menoleh karena Nia bertanya, "Siapa itu yang ketuk-ketuk?" tanyanya lirih.

"Aku tidak tahu," jawab Wio.

Tok! Tok!

"Halo? Ada orang di rumah?" Terdengar suara perempuan di luar. Wio dan Nia kembali saling pandang. Nada suara perempuan ini normal-normal saja, tetapi mereka berdua memasang tatap takut.

"Kau yang buka, Wio," suruh Nia. Ia mulai berpikir bukan-bukan.

"Aku?" Wio menunjuk dirinya sendiri dengan kening mencuram.

Tok! Tok!

"Cepatlah!" paksa Nia, menarik tangannya. Wio bangkit dari sofa, lalu melepaskan paksa tangannya. "Kalau mau cepat-cepat, kau saja yang buka pintunya." Dia menggeram

"Tidak mau!" Nia menggeleng takut. "Ayo, cepat ke sana!" Dia menunjuk pintu rumah.

Wio mendekatinya. Bulu tubuhnya tiba-tiba berdiri. Lelaki itu merinding.

Dia meraih kenop dan memutar kuncinya, lalu membuka pintu. Ia mengintip dari balik pintu, menemukan seorang perempuan dengan rambut disanggul berantakan. Sekitaran bawah matanya menghitam, wajahnya pucat pasi. Wio meneguk ludah.

"Kau siapa- Oh, kau pasti temannya Nia, 'kan?" tanya perempuan itu sambil menunjuk.

Mendengar dirinya dipanggil, Nia langsung merespons. "Siapa itu?" tanyanya dari dalam rumah. Nia menghampiri pintu dan menemukan anak bungsu Bibi berada di depan pintu.

"Kak Andri!" seru Nia, senang. Perempuan bernama Andri itu langsung masuk dan mereka berdua berpelukan. "Ih, Dek Nia sudah tinggi sekali!" Andri terbelalak melihat Nia yang sudah melampaui tingginya.

Nia hanya tertawa kecil. "Sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kerjaannya?" Nia mempersilakan Andri untuk masuk.

"Namanya desainer gaun. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku tidur." Andri menguap. "Aku hanya sebentar di sini. Ada yang ketinggalan."

Andri segera bergegas ke kamarnya. Dia terlihat mengeluarkan dan mengemasi sesuatu dari dalam lemari. Perempuan itu keluar dari kamar, membawa satu tas besar yang isinya entah apa.

"Siapa lelaki ini?" Andri kembali menunjuk Wio yang masih memegang kenop pintu. "Oh, ya, temanmu ya." Perempuan dengan koyok kecil di kedua dahinya itu menoleh pada Nia. "Hum, aku rasa kalian lebih dari sekedar teman." Dia menyipitkan mata, menggoda.

Nia bersemu, lalu membuang napas. "Dia pacarku."

Andri menoleh pada Wio, memperhatikan penampilannya dari atas kepala sampai ujung kaki. "Aku baru tahu kalau selera laki-laki kesukaanmu adalah mereka yang memiliki rambut panjang, seperti perempuan."

Andri menatap Nia, lalu menyambung, "Kalian terlihat ganti gender." Dia tertawa.

Perempuan berusia 25 tahun itu melihat-lihat lagi barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah itu, dia pamit pergi. Ia masuk ke dalam mobilnya yang berwarna merah dan melaju meninggalkan rumah.

Wio kembali menutup pintu. Nia menghela napas. "Aku kira sesuatu yang bukan manusia," kata gadis itu.

"Sepupumu itu sepertinya orang sibuk ya?" Wio mengunci rumah.

Nia hanya mengendikkan bahu. "Mungkin. Desainer selalu dapat banyak kerjaan dan pasti selalu dikejar deadline."

Wio dan Nia kembali ke sofa. Nia melihat Wio sudah mulai memejamkan mata. Dia merasa bahwa Wio tidak senakal dulu, yang mana di setiap kesempatan, dia akan mengelus pipi Nia secara sensual. "Kurasa kau tidak semesum dulu. Kenapa?" tanyanya. Wio pun kembali membuka mata.

Wio menatap lama Nia, lalu memejamkan mata. "Kau mirip laki-laki dengan rambut sependek itu. Jika aku mesum lagi, aku rasanya mesum ke laki-laki, bukan ke perempuan."

Nia tersenyum miring. Gadis itu perlahan naik ke atas Wio dan merangkak, mendekatkan wajahnya ke wajah Wio. Wio kembali membuka matanya, menaikkan alis. "Jangan-jangan malah kau yang jadi mesum karena kau mirip laki-laki."

Nia terkekeh kecil. Dia menurunkan dirinya perlahan dan berbaring telungkup di atas badan Wio. "Kapan lagi kau melihatku begini, Wio," katanya.

Wio tersenyum. Hembusan napas Nia yang ritmis membuat tangan Wio terangkat dan mengelus pipinya, lalu ke kepala. "Dan yah, kau tidak menampar saat aku mengelusmu."

Nia menggeram kecil. Dia sudah mau tertidur rupanya.

Wio mengecup kepalanya, lalu melingkarkan tangan ke punggung Nia. Setelah itu dia memejamkan mata. Mereka kembali mendengkur sampai paginya bangun untuk pergi ke pernikahan Arin.

Wio sibuk menyisir rambutnya di wastafel kamar mandi. Dia merapikan baju batiknya, melepaskan satu kancing teratas, mengikat rambutnya dengan model bun. Wio merapikan kumis dan janggut dengan pencukur yang tadi malam dibelinya saat mencari makan, sebelum menyemprotkan parfum ke leher, pergelangan tangan, dan baju.

Wio keluar dari kamar mandi dan melihat pintu kamar Andri masih tertutup. Sepertinya Nia masih sibuk menghias dirinya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, mereka harus tiba di acara pernikahannya pada jam sembilan.

Wio mengetuk pintu kamar, menyadari bahwa pintunya tidak terkunci. Wio baru saja akan membukanya sebelum Nia langsung berteriak dari dalam. "WIO!" Lelaki itu langsung menarik pintu dan menutupnya rapat.

"Cepat!" teriaknya dari luar.

"Sabar!" sahut Nia. "Aduh! Nahkan, alisku belok!" Gadis itu terdengar mengomel di dalam kamar.

Wio menunggu Nia selama 15 menit sebelum gadis itu keluar dari kamar. Dia memakai gaun kebaya pernikahan berwarna cokelat kemerahan. Kelopak matanya berwarna merah yang tidak terlalu terang dengan pipi senada. Nia sepertinya memakai gincu berwarna merah muda yang tidak terlalu mencolok. Bulu mata gadis itu sudah ditebalkan dan alisnya digambar secara tipis.

Wio tak sadar meneguk ludah. Wajahnya bersemu dengan cepat.

Nia menoleh pada Wio dengan wajah cemberut. "Alisku nyaris bengkok gara-gara kau mengangguku tadi di dalam kamar."

"Menganggu?" Wio menggeleng, menghilangkan semu di pipi, sebelum menyahut tak terima. "Aku tak sengaja membuka pintu. Apakah itu menganggu?"

"Menganggu konsentrasiku."

Wio membuang napas.

"Tapi, sudahlah. Untung bisa dihapus." Gadis itu menghela napas. "Sudah jam setengah sembilan. Ayo, berangkat!"

Nia dan Wio keluar dari rumah. Wio memakai sepatu kulit yang ia beli saat menghadiri pesta perpisahan Adam dan teman-teman sekolahnya. Nia memakai medium heels berwarna cokelatnya.

Mereka pergi ke acara pernikahan itu menggunakan helm Bibi dan suaminya. Wangi sampo yang dipakai Wio menyebar diterpa angin jalanan. Nia rasanya ingin membenamkan muka ke rambutnya dan menghirup baunya sampai puas.

Setelah melalui jalanan yang terkadang sepi, terkadang ramai, mereka sampai ke lokasi di mana acara pernikahan Arin akan dilaksanakan. Nia dan Wio melebarkan mata. Suami Arin seperti seseorang yang memiliki pendapatan banyak sehingga menyewa sebuah aula hotel sebagai tempat acaranya.

Nia dan Wio masuk dan pergi mengarah ke sayap kanan hotel di mana aula acara terletak. Karangan bunga sudah menyambut di pintu masuk aula. Para dayang tersenyum menyambut kedatangan mereka. Dayang-dayang itu pun mendata tamu-tamu yang datang. Nia dan Wio menuliskan namanya di atas buku daftar tamu.

Mereka masuk ke aula dan terbelalak. Aulanya luas, meja-meja makan tersusun rapi. Makanan dan minuman sudah tersaji. Tamunya banyak sekali, tetapi tidak ada satupun yang Nia kenal. "Kebanyakan tamunya pasti tamu dari mempelai pria," bisik Wio, mencondongkan diri ke Nia sembari mereka berjalan untuk mencari Arin.

"Kau membaca pikiranku," sahut Nia. Mereka menerobos orang-orang dan bertanya kepada beberapa dayang yang kebetulan lewat.

"Mempelai di mana ya? Kok tidak terlihat?" tanya Nia, menoleh ke sana-sini.

"Sebentar lagi datang ke sini." Dayang tersebut menjawab sambil tersenyum, sebelum berlalu.

Nia dan Wio saling pandang, lalu mengendikkan bahu. Mereka pergi ke meja jamuan dan mulai mengambil beberapa makanan dan minuman. Menunggu Arin dan suaminya sepertinya akan lama, jadi mereka memilih untuk makan terlebih dahulu.

Beberapa waktu kemudian, orang yang ditunggu-tunggu pun datang. Arin melingkarkan tangannya ke lengan Aldi, suaminya. Mereka berjalan memasuki aula disambut jabat tangan dari tamu yang mengucapkan selamat.

Nia langsung bangkit dari duduknya dan melompat-lompat untuk melihat Arin. Wio terkekeh geli, dia mengeluarkan ponselnya. Lelaki itu merekam Nia yang berusaha menemui Arin. Setelah bertemu, Nia lekas memeluknya. Arin kaget sekali, sontak melepasnya, sampai-sampai Aldi nyaris memukul Nia karena dikira orang yang berbahaya. Nia terhuyung, Arin memroses penampilannya, lalu berteriak kaget karena itu adalah Nia. "Rambutmu dipotong!" serunya.

"Arin!" Tidak peduli, Nia meneriaki namanya.

"Nia!" Arin segera memeluknya. Mereka berpelukan dengan Aldi yang menghela napas. Ternyata Arin kenal Nia. Pria itu menjauh dari mereka yang meloncat-loncat kegirangan.

Wio menatap Nia dan Arin sebelum merasakan ada yang aneh di sekitarnya. Dia menoleh ke sana-sini, mendapati beberapa orang yang tadi menatapnya, kini membuang pandang entah ke mana. Wio menatap mereka semua, bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan penampilannya. Penampilannya sama saja dengan tamu lain, tetapi kenapa malah dia yang dilihati?

Nia mendekati Wio sambil mengandeng Arin. "Wi, lihat Arin! Dia menikah dengan orang kaya!" Aldi menyusul, tersengal-sengal. Wio lantas menoleh kepada mereka dan melambaikan tangan.

Arin menatap Wio dari atas sampai ke bawah. "Apa dia masih mesum, Nia?" bisiknya. Terdengar sekilas di telinga Wio. Lelaki itu langsung mencuramkan alis.

Arin dan Nia tertawa melihat respons lelaki itu.

Aldi tiba-tiba muncul dan menepuk bahu Wio. "Dasar dua kesayangan kita yang sudah lama tidak bertemu," katanya.

Wio menghela napas. "Selamat atas pernikahannya. Arin adalah teman Nia yang baik dan seorang pekerja keras. Kau beruntung beristri dengannya." Wio jarang bertemu Arin. Hanya itu kesan yang bisa dia sampaikan mengenai gadis berhijab itu.

Aldi hanya mengangguk-angguk. "Terima kasih ucapannya." Dia mengajak jabat tangan. "Aku Aldi Budiman, anak kedua bibinya Nia."

Wio baru saja akan membalas jabat tangannya sebelum terdiam di tempat. Wio menoleh pada Aldi, menatap lekat-lekat pria itu. "Kau kakaknya Kak Andri?"

Aldi mengangguk. "Dan kau pasti kenal Jeffry."

Wio semakin terbelalak.

Tamu-tamu sedang mengelilingi Nia dan Arin yang langsung bernyanyi-nyanyi diiringi band yang sudah disewa. Hanya ada Wio, Aldi, dan beberapa tamu yang tadi diam-diam memperhatikan Wio. Wio tak sadar jadi pucat. Tidak ada yang memperhatikan mereka karena semuanya bersenang-senang bersama Nia dan Arin.

"Aku hanya ingin bilang bahwa Andi ada di sekitar sini, mengincar kau dan Nia. Jika saja ini bukan pesta pernikahan Arin dan aku, maka dia akan mencelakakan kalian." Aldi mendekatkan mulut ke telinga Wio. "Mungkin juga karena ada penyamar kepolisian di sini, jadi dia tidak menampakkan diri." Pria itu meraih sesuatu dari dalam tuksedonya, memperlihatkan sebuah kartu. Wio melotot melihatnya. "Tidak apa. Kau tidak akan aku apa-apakan. Setidaknya aku tahu bahwa selain Albeta, Andi dan Dandi juga mengincarmu dan Nia."

"Cukup hati-hati, Wio." Aldi menjauhkan badannya sembari memperbaiki bajunya. "Aku hanya penyamar, bukan seorang penyelamat. Jangan mati sebelum aku dan rekan-rekanku menangkap dua bedebah itu."

Aldi dan orang-orang itu pun pergi dari hadapan Wio yang masih mencerna semua hal yang didapatnya. Dia baru sadar setelah Nia menepuk bahunya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top