6. Informan

"Sekarang aku sudah melakukan apa yang kau inginkan. Syukurnya Aldi mau-mau saja, bahkan dia membantu banyak. Esok lusa, jangan sampai kau tidak datang ke akad nikahku!"

Nia menyunggingkan senyum. Beberapa saat yang lalu, dia nyaris berdebat dengan Arin karena gadis itu tidak mau melakukan apa yang Nia suruh. Syukurnya hanya dengan diimingi akan hadir di acara pernikahannya, dia mengabulkannya. Dibantu Aldi yang merupakan calon suaminya, Arin mengorek informasi dari Jeffry, dan informasi itu cukup membuat Nia puas.

"Aku janji," katamu, menenangkan Arin. "Mau hadiah apa? Nanti kubelikan."

"Tak usah. Aku hanya menunggumu datang. Kita sudah lama tidak bertemu," jawab Arin.

"Baiklah."

Arin mengucapkan salam perpisahan, Nia menurunkan ponsel dari telinganya. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Wio baru saja keluar dari kamar mandi--dia selesai mandi.

Sofa yang ditiduri Wio ternyata nyaman sekali, sampai-sampai Wio ketiduran sampai menjelang malam. Nia tidak membangunkannya, dia cuma membelai rambutnya. Nia jadi penasaran, apakah Wio sempat memotong rambutnya selama mereka tidak bertemu.

Siapa sangka belaian itu malah membangunkan Wio. Dia membuka matanya, menatap Nia dengan pandang sayu, masih mengantuk. Nia terkekeh, lalu menurunkan tangannya. "Kau sempat potong rambut tidak selama aku di Jawa?"

Tidak ada jawaban untuk sejenak. "Sempat," jawab Wio, serak. "Lalu, panjang lagi."

"Kau sadar bahwa kita terbalik?" Wio mengernyit. "Rambutmu panjang, rambutku pendek. Kita seperti ganti gender." Nia tertawa kecil.

Wio menatap rambut Nia. "Mirip rambut aktor film dewasa yang dulu kutonton," katanya, lirih.

Nia berhenti tertawa. Dia segera menggarangkan tatapannya.

"Bercanda, Nia." Wio tersenyum. "Tapi, memang mirip."

"Kau seakan menyama-nyamakan aku dengannya." Gadis itu mendengkus. Mata lebarnya jadi menyipit, menatap dongkol.

"Ah, Nia yang marah. Aku rindu Nia yang marah." Wio menggapai rambut Nia. Dia mengacak-acaknya, Nia segera menepis tangannya.

"Mandi sana!" suruhnya.

"Temani."

"Gila! Mandi sendiri!"

Wio terkekeh lagi sebelum meregangkan badan. Dia berbaring sejenak sebelum bangkit, mengacak-acak isi tasnya untuk mencari baju ganti, lalu menuju kamar mandi. Setelah itulah Arin menelepon. Mereka baru berhenti bicara setelah Wio selesai mandi.

Nia melebarkan mata melihat Wio tidak memakai atasan apapun. "Mana bajumu?"

"Aku salah ambil." Wio kembali mencari baju ganti di dalam tas. "Kukira aku mengambil baju, ternyata aku mengambil celana." Dia meniup poninya yang basah.

Nia menggeleng-geleng. "Kau ada-ada saja."

Wio segera memakai baju setelah dia menemukannya. "Bagaimana? Jadi beli makan?"

"Ayo, aku sudah siap." Nia mengangguk.

Mereka pun ke luar dan mencari makanan. Wio sempat mengisengi dengan melaju di turunan, Nia memukul-mukul bahunya, ketakutan. Wio tertawa setelah itu, Nia langsung membekap mulutnya dan motor mereka seketika oleng. Pengendara lain jadi kebingungan dengan tingkah mereka. Setelah Wio menormalkan jalan motor, mereka ditegur oleh beberapa pengendara yang lewat.

Nia dan Wio hanya meminta maaf dengan cara berteriak.

Setelah mendapatkan makanan, mereka pulang dan melahapnya. Makanan pun habis, mereka membersihkan dan membereskannya.

"Wi, punya baju untuk pernikahan Arin tidak?" tanya Nia sekembalinya dari kamar mandi. "Kalau belum, besok kita beli ke toko baju."

"Aku tidak tahu baju yang kubawa ini cocok untuk dipakai ke acara pernikahan atau tidak." Wio kembali membuka tasnya dan mengeluarkan satu baju batik dan satu celana panjang kain.

Dia memakainya, memperlihatkan pakaiannya itu pada Nia. "Bagaimana menurutmu?"

Nia mengelus dagu. Dia sudah seperti kritikus pakaian.

"Punya ikat rambut?"

"Punya," jawab Wio. Dia mengambil satu ikat rambut yang tergelang di tangannya, lalu mengikat rambutnya ke atas dengan model bun. Nia melebarkan mata, dia tersenyum.

"Pakai itu di acara pernikahan. Kau cocok sekali dengan pakaian itu," pujinya.

"Dan kau, pakaian apa yang akan kaukenakan?" tanya Wio. "Aku mau lihat."

"Setidaknya warnanya masih serasi dengan baju batik cokelatmu." Nia mengedip. "Kau akan lihat sendiri besok lusa."

Wio mendengkus tak terima, tetapi dia mengendikkan bahu. Ia pun melepas pakaiannya dan ikat rambutnya. Rambut panjangnya kembali tergerai.

***

Nia meringkuk di sofa, mendengkur pelan. Wio kebetulan terbangun, melihat gadis itu tidur tanpa selimut. Wio segera meraih jaketnya dan menyelimuti tubuh Nia memakai itu.

Nia bergerak-gerak sejenak sebelum kembali terlelap. Wio tersenyum melihatnya, dia mengelus rambutnya dan mencium pipinya. "Tidurlah," bisiknya.

Wio merapikan isi tasnya sebelum berbaring lagi di sofa. Tak menunggu waktu lama, lelaki itu pun tertidur kembali.

Paginya, Nia terbangun karena Wio membuka pintu depan dan terlihat ke luar setengah berlari. Nia bangkit dan menguap, melihat Wio yang menghampiri gerobak bubur ayam yang kebetulan lewat rumah.

Setelah Wio kembali masuk ke dalam rumah, dua buah mangkuk dan sendok sudah ada di atas meja ruang tamu. Nia yang mengambilkannya. Mereka pun menikmati bubur ayam yang masih hangat itu sambil menonton pemberitaan di televisi.

Mulanya pemberitaan tersebut merupakan pemberitaan yang tidak menarik bagi Nia dan Wio sebelum topiknya berganti ke sebuah pembunuhan yang terjadi di lapas. Dilihat lebih jauh, itu lapas tempat Jeffry dipenjara. Nia baru saja akan mengambil remote untuk menyaringkan volume, tetapi direbut Wio yang mengarahkan moncong remote ke televisi, menyaringkan suara televisi.

Nia dan Wio tidak berkutik. Mereka mendengarkan dengan seksama. Mereka mendengarkan beberapa hal yang sudah ditemukan dan hasil pencarian mereka. Bahkan, ada konferensi pers. Dan dari konferensi itulah Nia dan Wio terbelalak.

Jeffry ada di antara tim penyidik.

"Sesuai pengakuan salah satu korban yang selamat, pelaku dari pembunuhan yang terjadi di lapas kurang-lebih 20 hari yang lalu adalah Andi Mahendra, atau AM, yang saat ini berstatus sebagai buronan daerah karena kabur dari penjara," kata salah satu penyidik. "Salah satu korban mengenalnya, melihat wajahnya secara jelas. Dia mengaku bahwa itu benar-benar AM. Ia juga menjelaskan bahwa pelakunya ada dua, yang satunya adalah AM, satunya lagi tidak dikenal, tetapi untuk sekarang, kami akan memfokuskan penyelidikan dan penangkapan kepada AM."

Seorang reporter terdengar bertanya dari balik layar. "Bagaimana bisa Anda percaya kepada korban yang notabene-nya merupakan seorang pelaku kriminal dan orang yang mengenal pelaku? Apakah kalian sudah memikirkan dampak baik dan buruknya di kemudian hari?"

"Kami sudah mempertimbangkannya dan kami yakin korban bisa diandalkan. Jika dia berkhianat suatu hari nanti, kami sudah siap menanggung resikonya dan siap melindungi masyarakat dari bahaya yang dia dan AM akibatkan. Tidak ada informan lain yang bisa kami percaya selain dia. Lagipula kami dikejar waktu. AM kemungkinan akan beraksi lagi, kami harus menangkapnya segera."

Konferensi pers itu pun berakhir dan terlihat Jeffry dicegat untuk pergi oleh para wartawan. "Bung, bagaimana nanti kau akan berkonstribusi pada kasus AM ini?"

"Aku tidak tahu bagaimana, lokasi Andi pun tidak diketahui di mana, tapi aku rasa dia sedang mengintai korban-korbannya yang lain untuk dibunuh," jawab Jeffry, mencoba tenang. "Aku ingin mencegahnya dan membantu kepolisian mengungkap siapa dia sebenarnya. Siapa dia dan kenapa dia harus segera ditangkap."

"Apakah kau tidak akan menyalahgunakan status informan ini?"

"Istilah apa itu?" Jeffry terlihat mengernyit, lalu menghindari cahaya flash wartawan yang menyakiti matanya. "Aku bahkan tidak tahu apakah aku akan menyalahgunakan posisiku saat ini atau tidak. Aku hanya tahu bahwa aku akan membantu kepolisian. Doakan semoga urusannya lancar dan tidak memakan korban jiwa."

Jeffry diseret oleh tim penyidik dan dibawa ke dalam mobil. Mereka segera melesat pergi meninggalkan tempat konferensi pers dengan wartawan yang mengembalikan hasil liputan ke stasiun berita.

"Andi Mahendra," gumam Wio dengan mata terbelalak. Nia segera menoleh padanya. Wio terlihat gelisah.

Nia tahu kenapa Wio berperilaku begitu. Dia segera menggenggam tangannya dan mengelusnya. "Tidak apa-apa, itu sudah berlalu." Wio masih trauma rupanya.

"Nia, Andi sudah kabur. Dia sudah membunuh teman-teman Jeffry. Aku takut dia mengincar kita selanjutnya." Wio mengungkapkan kekhawatirannya.

"Aku juga mengkhawatirkan hal yang sama Wio." Nia mengerutkan dahi.

"Nah, 'kan!" Wio balik menggenggam tangan Nia. "Aku takut malah kau yang diapa-apakan. Dia sepertinya masih dendam padamu akibat tiga tahun yang lalu." Dia melengkingkan suaranya.

"Wi, jangan cemas dulu. Jika memang Andi mengincar kita, kenapa kita masih baik-baik saja sampai saat ini?" Nia menenangkannya.

"Kau kira dia akan menyakiti semua orang yang dibencinya secara bersamaan?" tanya Wio. "Ah, sialan! Seharusnya aku tidak ke Tenggarong dan kau tidak ke sini!"

"Berhenti menyalahkan dirimu!" Nia mendekatinya yang perlahan gemetar. "Kita akan baik-baik saja."

"Aku takut, Nia," ucap lelaki itu, pelan. "Aku tidak mau melihatmu kritis lagi."

"Aku tahu. Aku juga tidak mau melihatmu kesakitan akibat luka tembak."

Nia memeluk Wio entah untuk beberapa lama sampai lelaki itu perlahan tenang dan menghabiskan bubur ayam di atas meja. Setelah melihat pemberitaan itu, mereka jadi diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Wio dengan pikiran takut dicelakai, Nia dengan pikiran apakah dia aman saat kembali ke Balikpapan.

Nia jadi tidak berani keluar rumah untuk sesaat. Rasanya hendak batal saja ke pernikahan Arin, tetapi sudah janji. Nia membuang napas.

***

Malam pun tiba dan Nia melihat Wio terpaku pada ponselnya dengan wajah gusar. Dia tengah membaca pesan entah dari siapa. "Aku sudah memberitahu Wursi dan Lana dengan berita Andi. Aku memperingatkan mereka untuk jaga diri," kata Wio. Nia hanya mengangguk. Memang dua orang itu harus diingatkan untuk hati-hati. Mereka juga ikut andil dalam kasus tiga tahun yang lalu, yang akhirnya berhasil memenjarakan Andi dan rekan-rekannya.

Nia duduk di bawah sofa tempat Wio berbaring. "Kita akan baik-baik saja," katanya.

"Kita akan baik-baik saja," ulang Wio, setelah itu mendengkus. Mereka kembali terdiam cukup lama sampai Nia meraih tangan Wio, memainkannya, dan mengajaknya membicarakan hal lain agar pikirannya tak larut terus pada kabar Jeffry dan Andi.

Mereka berbincang sampai tak sadar tertidur. Jarum jam menunjuk ke angka 11, pintu rumah tiba-tiba diketuk. Saat itulah mereka berdua kembali membuka mata.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top