4. Inisial PA
Lelaki itu baru saja mencoret dinding penjara dengan kapur, memperingati sudah tiga tahun dia berada di penjara. Ia menatap datar, lalu naik ke kasurnya. Jam makan siang sebentar lagi, dia ingin tidur sejenak.
Pada jam makan siang, seluruh pintu sel penjara dibuka. Lelaki itu dan tahanan lainnya keluar dari penjara, menuju ke sebuah aula besar dengan banyak meja panjang. Mereka mengambil lauk-pauk yang disediakan, lelaki itu duduk bersama orang-orang yang dikenalnya.
Mereka makan bersama-sama, menceritakan bagaimana hari mereka saat itu. Mereka adalah satu-satunya penyebab Jeffry tersenyum dan terkekeh. Tanpa mereka, Jeffry seakan tanpa emosi. Dia menjadi lelaki pendiam dengan sorot mata tajam.
Hingga di suatu malam, terdengar suara ledakan peluru. Semua pintu sel terbuka secara otomatis. Jeffry terbangun dari tidurnya, mendapati para tahanan tengah berlari ketakutan, berusaha menyelamatkan diri.
Setelah mereka berlari, terlihat para sipir melewati sel Jeffry sambil memasang sikap kuda-kuda. Sambil menodongkan senjata, dia dan rekan-rekannya mengendap-endap. Jeffry baru saja akan bertanya apa yang sudah terjadi, sebelum petugas-petugas itu terhuyung ke belakang dan mereka jatuh dengan asap mengepul. Mereka ditembak oleh seseorang!
Jeffry buru-buru masuk ke bilik toilet yang tersedia di dalam penjaranya. Dia mengangkat kakinya ke atas toilet duduk, ia tidak ingin ketahuan. Jeffry berdiam di sana cukup lama, memastikan keadaan, sebelum keluar dan mengecek ke luar sel. Tak ada siapa-siapa.
Jeffry keluar dari selnya. Dia langsung berlari ke pintu keluar. Namun, belum sempat meraih kenop pintu, Jeffry mendengar teriak kesakitan. Mirip suara temannya. Jeffry tak jadi ke pintu keluar, dia melesat ke sumber suara, takut temannya diapa-apakan.
Dan betapa kagetnya ia melihat seorang paruh baya berkumis tebal tergeletak di lantai dengan pandangan kosong. Darah menggenang di sekitarnya, asap gara-gara ledakan peluru mengepul di atasnya. Tak jauh dari pria itu, seseorang dengan senjata api menghadap ke seorang lelaki yang ketakutan setengah mati. Lelaki itu bersandar di tembok lapas, menutup kedua matanya, menangis sesenggukan takut ditembak.
Orang itu belum mengetahui keberadaan Jeffry, jadi Jeffry berlari ke arahnya dan melompat untuk memukulnya. Meskipun orang itu sempat melesatkan secepat kilat senapan padanya, peluru tidak mengenainya. Jeffry mengunci lehernya di lengan-lengannya. Orang itu menjatuhkan diri, Jeffry menghantam keras lantai kusam penjara, tetapi dia tidak melepaskan kunciannya. Jeffry juga menendang orang itu agar melepaskan senapan di tangannya.
"Lari, Albeta!" teriak Jeffry. Lelaki tadi yang bernama Albeta, langsung beranjak dan berlari sekuat tenaga. Namun, saat dia ingin berbelok, ia mendapatkan tiga buah tembakan di tubuhnya. Albeta pun termundur, bersandar pada dinding lapas, lalu merosot menahan sakit.
"Albeta- Argh!" Jeffry merasakan luka tusuk di betisnya. Orang yang dikuncinya berhasil mengambil pisau lipat dan menusuk kaki Jeffry sehingga lelaki itu melepaskan kunciannya.
Orang itu pun berlari meninggalkan Jeffry dan Albeta, tak lupa membawa senjatanya. Jeffry dengan segala tenaga yang tersisa, beringsut menghampiri pria paruh baya yang ia kenal. Jeffry memeriksa denyut nadinya, orang tua itu sudah tidak terselamatkan.
Jeffry menjadi tidak karuan. Dia berusaha bangkit dan membantu Albeta menahan darah untuk keluar lebih banyak dari luka tembaknya, tidak peduli Jeffry juga harus menahan darah di betisnya. Albeta sudah bernapas pendek-pendek saat Jeffry berhasil menghampirinya dan menangkup wajahnya. "Bertahanlah! Kita bisa bertahan. Penyelamat akan segera datang."
Setelah mengatakan itu, Albeta terlihat menatap sesuatu di belakang Jeffry. Jeffry melihat tatapannya, lalu menoleh ke belakang. Namun, belum sempat menatap apa yang Albeta tatap, kepala bagian belakangnya dipukul dengan senapan, menyebabkannya jatuh ke badan Albeta yang terbelalak ketakutan.
Jeffry masih berusaha sadar untuk mengetahui apa yang terjadi, siapa pelakunya. Namun, kepalanya memberat, dia pusing, matanya berkunang. Ia kemudian pingsan sebelum terbangun di atas kasur putih dengan alat-alat medis di tubuhnya.
Jeffry dengan lesu bertanya, "Di mana aku? Di mana Albeta? Dan mereka .... Keluargaku?"
Ada seorang sipir yang menemani Jeffry saat itu. Dia menatap dengan perasaan bersalah. "Albeta berhasil diselamatkan, tapi dia butuh istirahat. Sedangkan yang lainnya, kami mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya."
Jeffry mengerutkan dahi. "Jangan bercanda," lirihnya, perlahan mengeluarkan air mata. "Apa yang terjadi pada mereka? Kenapa mereka tidak bisa diselamatkan?"
Petugas lapas itu membuang napas. "Mereka sudah meninggal, Nak, dengan luka tembak di kepala."
Seketika, Jeffry membeku dan terbelalak. Air mata turun membasahi bantal. Napas lelaki itu jadi tidak beraturan, membuat petugas lapas panik dan tambah panik saat mengetahui Jeffry pingsan lagi, dengan hidung yang mengeluarkan darah.
Setelah hari itu, Jeffry berubah menjadi pendiam. Dia berhasil memulihkan diri dan menghadiri pemakaman orang-orang yang disebutnya keluarga. Ia juga bisa menjenguk Albeta yang masih terbaring lemah di ruangannya.
Wio dan Nia yang mendengarkan ceritanya, terdiam, tak bisa merespons apa-apa. Jeffry sudah menangis lagi, tetapi dia segera menyeka air matanya. Nia dan Wio tidak menyangka para anggota S.A.B.U. itu diserang, menyisakan Jeffry dan Albeta.
"Aku minta maaf sudah menanyakannya," ucap Nia, matanya sudah berlinang.
Jeffry hanya menjawab dengan deheman.
Nia dan Wio yang ingin menjenguk Jeffry, hendak berbagi banyak cerita menarik mengenai kehidupan mereka setelah terpisah tiga tahun, menjadi saat di mana mereka sedih karena kehilangan orang-orang berjasa. Meskipun orang-orang itu merupakan seorang kriminal, tetapi sebagian perbuatan mereka dilakukan atas dasar mencari keadilan. Mereka tahu bagaimana rasanya hidup dipersusah orang lain, kehilangan anak, ditelantarkan orang tuanya, mendapatkan kekerasan sejak kecil--mereka tidak mau orang lain mengalaminya. Jadi, jika Jeffry merasa kehilangan, maka Nia dan Wio juga demikian. Mereka sudah menganggap satu sama lain sebagai keluarga.
Jam menjenguk pun habis. Setelah disemangati untuk entah yang keberapa kali, Jeffry, Nia, dan Wio berpisah kembali.
***
Mengenai kasus di penjaranya Jeffry, Nia berinisiatif menelepon salah satu kenalannya yang bekerja di kepolisian. Dia ditugaskan di divisi narkotika, tetapi Nia rasa ia pasti punya informasi. Telepon diangkat, mereka pun saling bertukar kabar, sebelum Nia menyampaikan niatnya.
Nia dan Wio mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Jeffry. Mereka menemukan salah satu artikel yang memaparkan bahwa terjadi penyerangan di sana. Serangan itu dilakukan oleh dua buronan yang berhasil kabur.
"Untuk motif, aku belum tahu. Saksinya cuma dua, Jeffry dan Albeta. Jeffry masih menolak untuk buka suara, Albeta masih dinyatakan kritis. Ini kasus baru, baru terjadi 15 hari yang lalu. Kepolisian memberi Jeffry waktu untuk berdamai dengan kejadian itu, meski sebenarnya dia tidak akan pernah bisa merasa damai." Suara dengkusan wanita terdengar di ponsel. "Sayang sekali, aku bukan orang yang mengurus ini."
Bripka Melati merupakan salah satu petugas di kepolisian yang menangani pengedaran narkotika di Kalimantan Timur. Dia sempat menangani kasus Jeffry tiga tahun yang lalu, kasus yang melibatkan Nia dan Wio juga. Ia mungkin sudah berumur 30 tahun saat ini.
"Bagaimana dengan CCTV?" tanya Nia. Dia tahu Bripka Melati tidak menangani kasus ini, tetapi ia tentu punya rekan yang menanganinya. "Apakah CCTV-nya menangkap sesuatu?"
"Setahuku, mereka memang menangkap sesuatu. Ada dua orang, entah dari mana, diberi izin masuk ke lapas--mungkin mau menjenguk seseorang. Siapa sangka mereka malah membuat kegaduhan! Dan aku bingung, mereka dapat senapannya dari mana? Bukannya saat menjenguk, setiap penjenguk pasti diperiksa?" Bripka Melati memaparkan penemuannya.
Nia terdiam.
"Tapi, Nia, kau tahu? Sebenarnya aku memikirkan bahwa ini ada kaitannya dengan Andi," sambung Bripka Melati. "Aku memang tidak mengurusnya, tapi aku tahu dia diburon saat ini. Pasalnya, saat dia diburon inilah kejadian di lapasnya Jeffry itu terjadi. Andi punya banyak rekan, mereka pasti sedang bekerjasama dengannya."
Nia melebarkan mata. Akhirnya ia satu pemikiran dengan wanita itu. "Siapa tahu pelakunya Andi, 'kan?" sahutnya, setengah melengking.
"Tidak ada yang tahu, hanya Jeffry dan Albeta yang tahu." Bripka Melati mendengkus lagi. "Aku harap mereka cepat bicara."
Setelah itu, telepon pun dimatikan. Nia mendapatkan banyak informasi mengenai kejadian yang dialami Jeffry dan bukti-bukti apa saja yang sudah terkumpul. Wio di sebelahnya sampai-sampai mencatat semuanya di telapak tangannya.
"Jeffry malang sekali," kata Nia, sedih. "Aku tidak dapat membayangkannya."
Wio mengelus-elus bahu Nia. "Kita tidak bisa apa-ap." Sebagai orang yang pernah dekat dengan Jeffry dan kawan-kawannya, Wio merasakan perasaan yang sama. Wio, Jeffry, dan yang lainnya satu nasib, pernah bekerja mengedarkan sabu, sebelum Wio memilih berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih aman. Meski komunikasi terputus, Wio tahu orang-orang itu masih ingat padanya.
Nia tidak tahu sudah berapa kali dia membuang napas hari ini. Semua berita yang ia terima membuatnya terkejut setengah mati. Nia tak tahu harus menangis atau ketakutan guna menanggapi.
"Doakan saja, semoga mereka tenang dan Jeffry cepat buka suara, Albeta sembuh dari kritisnya," kata Wio.
***
Memasuki hari kedua liburan, Nia dan Wio menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan. Mereka pergi ke mana saja agar bisa melupakan sejenak cerita Jeffry dan kronologi dari Bripka Melati. Mau membantu pun bagaimana, tidak ada kejelasan pada kasus itu.
Mereka pulang setelah makan siang, setelah makan soto ayam di pinggir jalan. Nia sedang mengecek barang-barang bawaannya sebelum menyadari dompetnya tidak ada.
"Wi, dompetku hilang," lapor Nia dengan muka pucat pasi.
"Coba periksa lagi, siapa tahu keselip." Wio mengajak Nia untuk berhenti di trotoar, mengacak-acak tas dan kantong, apakah ada dompet di sana atau tidak.
"Tidak, dompetku benar-benar hilang! Apa ketinggalan di warung tadi ya?" Nia langsung berlari ke warung soto ayam tadi dan menanyakan dompetnya. Ibu pemilik warung makan menggeleng, Nia jadi semakin pucat pasi.
Ada banyak hal penting di dalam dompet itu. Nia sudah akan menangis di pinggir jalan karena keteledorannya sendiri. Wio berusaha menenangkannya, mengajaknya ke pihak berwajib untuk melapor, agar segera dicarikan bersama-sama. Setelah melapor, mereka berdua pulang dengan Nia yang lemas. Sampai di depan pintu kamar penginapan, Nia dan Wio terhenti. Ada sebuah dompet terletak di depan kamarnya Nia.
Nia segera meraihnya. Itu dompetnya! Isinya masih lengkap, semuanya aman. Nia sampai-sampai menangis haru dengan Wio yang mengernyit. "Bagaimana bisa dompetmu ada di sini?" tanyanya, heran.
Nia tidak menjawab. Dia mendadak terpaku pada sebuah lipatan kertas yang sebelumnya tidak ada di dalam dompetnya. Gadis itu segera mengambil dan membuka lipatannya.
Ada tulisan. Bunyinya, "Kau kenal Jeffry, aku pun kenal dia. Sebutkan inisialku padanya, tidak sekarang, tapi segera. Jika kau mau dia buka mulut, beritahu inisialku: PA."
Nia dan Wio segera menyimpulkan bahwa PA mengenal Jeffry dan sebaliknya. Tetapi, apakah isinya betulan, atau malah dikarang? Satu hal untuk membuktikannya: mengunjungi Jeffry lagi. Sayangnya, limit jenguk mereka sudah habis. Nia dan Wio kembali berpikir, siapa yang akan masuk ke lapas dan memberitahu inisial itu padanya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top