30. Curiga
Sepertinya bukan hal yang tepat untuk mendiskusikan bagaimana cara menyelamatkan Nia tanpa langsung bertindak cepat, jadi mereka memutuskan untuk berdiskusi dalam perjalanan ke Balikpapan. Jeffry adalah orang pertama yang mereka khawatirkan.
Aldi dan Albert takut dituduh membawa kabur seseorang yang masih berstatus tahanan. Pengajuan kebebasan bersyarat Jeffry masih belum membuahkan hasil karena lelaki itu terjerat di kasus Andi, kasus yang masih berkembang saat ini. Namun, Jeffry akan membela mereka. "Ini murni keinginanku, bukan kalian. Lagipula, kehilanganku ini sepertinya akan berharga nanti."
Aldi dan Albert berusaha mencerna apa maksud lelaki itu.
Perjalanan pun dimulai. Mereka mulai meninggalkan Tenggarong, Samarinda, dan mulai menuju ke Balikpapan.
Waktu perjalanan yang dibutuhkan sekitar empat jam. Setelah datang ke sana, Albert akan menghubungi anak-anak buahnya yang tempo hari mencari anggota mereka yang hilang. Mereka punya tempat tinggal yang aman di Balikpapan yang merupakan markas kecil Albert sebagai pemimpin A.R.A.K.
Sepanjang perjalanan, Wio gundah. Ia takut Nia diapa-apakan.
"Andi memberitahuku bahwa dia akan beraksi hari ini kepada Nia sekitar tengah malam atau dini hari. Jika mau menggagalkannya, kita harus sudah di sana sebelum mereka dan bersembunyi." Jeffry sudah memegang peran penting di diskusi tersebut. Aldi mendengarkan sambil membelokkan setir menghadapi jalanan Gunung Soeharto yang berkelok. Albert mengelus-elus dagunya.
"Pelabuhan Semayang," gumam Albert. "Kenapa di sana?"
"Aku pun tak tahu," jawab Jeffry. "Satu-satunya cara untuk tahu adalah pergi ke sana dan melihat langsung."
"Dan menolong." Phoska menambahkan.
Sementara itu, Aldi hanya terdiam. Selain dia berusaha fokus di jalanan berkelok dan naik-turun, ia memikirkan kenapa Jeffry diberitahu di mana Andi akan melakukan perbuatannya yang entah perbuatan apa kepada Nia. Andi tiba-tiba berani memaparkan rencana pada lelaki itu. Semua ini terasa janggal seiring berjalannya waktu.
Aldi berhenti sejenak di sebuah tempat peristirahatan. Wio mengajaknya ke toilet. Phoska memilih membeli cemilan dan Albert serta Jeffry tetap di dalam mobil, masih membicarakan rencana mereka.
Setelah buang hajat, Aldi menahan Wio untuk kembali ke mobil. "Apa kau berpikir kalau semua ini agak aneh?"
Wio mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Jeffry tahu apa rencana Andi. Dia sudah tahu dari lama, baru memberitahu sekarang." Aldi menatap gundah. "Wio, aku takut Jeffry berusaha mengkhianati kita sekarang." Akhirnya ia memaparkan kesimpulannya setelah memikirkan banyak hal.
"Kenapa Anda mencurigainya?" tanya Wio. "Ya sebenarnya kita memang harus curiga padanya sih terlebih karena dia tidak bilang ia tahu semuanya dari awal. Namun, jika ingin semua ini berjalan dengan lancar, kita harus mempercayainya. Hanya dia satu-satunya sumber informasi."
"Aku tahu," sahut Aldi. "Tapi, aku merasa kita tidak boleh lengah terhadap lelaki itu."
"Memang tidak boleh, bukan?" Wio sudah beranjak meninggalkannya. Aldi mengendikkan bahu dan mengikutinya. Phoska sudah masuk ke dalam mobil, mereka segera melanjutkan perjalanan.
"Jeffry, apa kau masih ingat tempat di mana Nia disekap?" tanya Albert saat Aldi dan Wio masuk ke dalam mobil.
"Hotel pertemuan dengan Bos kemarin."
Jawaban itu sontak membuat pria itu terbelalak. "KENAPA KITA TIDAK LANGSUNG KE SANA SAJA?" tanyanya, berteriak.
"Jangan!" Jeffry mencegahnya. "Tidak mudah untuk ke sana. Bahkan kurasa Nia sudah tidak ada di sana. Jadi, akan percuma kecuali kita ke Pelabuhan Semayang."
"Mengulur waktu!" protes Albert. "Nia bisa lebih banyak dilukai, kau tahu?"
"Aku tahu." Jeffry dibuat frustasi. "Tapi, cuma di Pelabuhan Semayang itu kita bisa benar-benar menyelamatkannya. Percaya padaku."
Albert hanya membuang napas. Mereka bisa menyusup ke hotel tempat Nia katanya disekap. Mereka bisa menyelamatkannya lebih cepat, apalagi Jeffry ternyata tahu di mana gadis itu.
Saat ponsel sudah menemukan jaringan, Albert mengirim pesan pada rekan-rekannya yang sudah ada di Balikpapan. Bukan mengabari mereka akan sampai, tetapi memberitahu untuk mulai memeriksa hotel tempat Jeffry menemukan Nia. Jika mereka menemukannya, mereka harus segera menyelamatkannya. Jangan menunggu dirinya.
Entah apa rencana Andi yang dipaparkan kepada Jeffry, tetapi Albert mulai berpikir kalau Jeffry berusaha membodohi mereka.
Semua orang pun diam. Hanya suara mesin mobil yang terdengar.
Empat jam setelah berbelok ke sana-sini dengan melewati hutan belantara, mereka sampai di sebuah kota yang dijuluki sebagai Kota Beriman. Balikpapan. Entah bagaimana ceritanya kota tersebut dikenal sebagai Balikpapan. Tidak mungkin hanya karena sebuah papan yang dibalik.
Mobil Aldi mulai memasuki perkotaan dan saat berhenti di lampu merah, Albert buka suara. "Kita ke hotel A dulu. Aku ada urusan dengan anak buahku," pintanya. Aldi segera menyanggupi. Mereka berbelok ke kanan, mulai melaju mencari hotel yang dimaksud.
"Urusan apa?" tanya Andi, penasaran.
"Sesuatu yang tidak bisa diberitahu," jawab Albert, sekenanya. Mobil kembali berhenti di lampu merah. Aldi melirik sejenak, merasa kalau urusannya penting, jadi dia pun menuruti permintaannya. "Baiklah." Mereka kembali melaju saat lampu sudah berubah warna hijau.
Mereka berhenti setelah lima menit berkendara. Albert keluar. "Aku hanya sebentar." Ia kemudian menemui seseorang yang sudah menunggu di pintu masuk menuju parkir bawah tanah. Semua orang memperhatikannya, terlebih Phoska yang mengernyit kenapa pemimpinnya itu tiba-tiba meminta berhenti. Jika ada urusan penting, dia pasti akan memberitahunya juga.
Aldi tidak menoleh. Ia sebenarnya hendak menanyakan itu pada Phoska, tetapi dia yakin Phoska pun tak tahu apa-apa.
Sekitar 10 menit berhenti di sana, Albert kembali dengan wajah sedikit memerah. Tampaknya habis marah. Tanpa ditanya, dia segera mengatakan suatu hal. "Tidak ada Nia di sini. Jeffry benar. Dia sudah dibawa oleh Andi."
Semua penghuni mobil melebarkan mata, kecuali Jeffry. "Sudah kubilang," lirihnya.
"Dia dibawa ke mana?" tanya Wio, terkejut.
Albert menggeleng. "Aku tak tahu. Sepertinya, jika mau menyelamatkannya, kita harus mengikuti rencana Andi." Albert membalik badan, menatap Jeffry yang duduk di samping Wio. "Kau yang salah jika ternyata rencana yang kaukatakan itu salah, Jeffry."
Jeffry mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"
"Sekarang aku mencurigaimu." Albert akhirnya terus terang. "dan buktikan kepadaku kalau kau memang tidak mencurigakan."
Lelaki yang dicurigai itu tentu saja tidak terima. Setelah Wio yang mencurigainya, Albert sekarang ikut-ikutan. "Oke, aku akan buktikan. Percaya padaku apa susahnya."
Albert kembali menghadap depan. Ia tak mau berbicara lagi. Dia tak ingin memaparkan kenapa mencurigai Jeffry. Aldi melirik mukanya yang masih memerah bagai tomat dan Wio menatap Jeffry dengan dahi berkerut.
"Setelah ini, kita ke mana?" tanya Aldi, mulai mengeluarkan mobil dari parkiran.
"Markasku. Kita ke sana," jawab Albert.
"Oke." Deru mobil kembali terdengar. Mereka kembali melaju di jalanan.
***
Markas Albert hanyalah sebuah rumah koson dengan perabotan seadanya. Di ruang tamu, ada tikar, meja kecil dan asbak atasnya. Rumah kecil itu bisa ditempati oleh mereka berlima untuk sementara.
Siang mulai menjelang sore. Setelah beristirahat beberapa puluh menit, Albert, Aldi, dan Jeffry pergi ke Pelabuhan Semayang. Mereka ingin melihat-lihat dan memperkirakan di mana sekiranya tempat bersembunyi agar dapat menyelamatkan Nia tepat waktu.
Wio tinggal dengan Phoska yang memilih memainkan ponselnya. Wio tak tahu mau melakukan apa. Ia hanya duduk tak jauh dari wanita itu sembari meminum es teh kemasan yang tadi dibelikan sebelum tiga orang itu pergi.
Albert, Aldi, dan Jeffry sudah memasuki kawasan Pelabuhan Semayang. Pelabuhan besar, banyak orang berlalu-lalang, bekerja selayaknya orang-orang dermaga. Mereka mulai menelusuri tepi pelabuhan. Air, itu kata kuncinya. Nia akan disakiti di dalam air, di Pelabuhan Semayang.
"Kita bisa menyembunyikan mobil jauh dari sini dan mengendap diam-diam ke pelabuhan. Kemudian, setelah bersembunyi di tempat yang ditentukan, kita menunggu sampai Nia dibawa ke sini. Nanti setelah mereka lengah, kita serang mereka dan merebut Nia." Albert memaparkan rencananya.
"Kurasa kita perlu pakai topeng," sahut Aldi, menanggapi.
"Tidak perlu," tolak lawan bicara. "Aku sudah seperti pengecut, selalu bersembunyi dari Andi. Sekarang, aku mau membuktikan kalau aku lebih suka membangkang padanya daripada menuruti."
Angin pesisir mengayun-ayunkan rambut mereka. Jeffry membuang napas setelah angin itu berhenti.
Ia menatap ke bawah. Dia harap dirinya tak salah menentukan tempat. Andi hanya memberitahu kalau dia ingin mencelakakan Nia di dalam air, di Pelabuhan Semayang. Namun, spesifikasinya tidak jelas. Banyak jalur masuk di pelabuhan itu dan Jeffry khawatir mereka bersembunyi jauh sekali dari tempat eksekusinya.
Jeffry menoleh ke Albert dan Aldi yang masih tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Ia bimbang. Dua orang itu adalah orang baik. Mereka berusaha menyelamatkan Nia.
Jeffry berharap malam ini eksekusi Nia gagal--meskipun ia tahu memang akan gagal karena Wio akan ikut. Lelaki itu tidak lagi memikirkan nyawa untuk menyelamatkan orang kesayangannya. Jantung Jeffry berdegup kencang. Malam ini adalah puncaknya. Ia harus tetap bertahan meskipun semua orang mencurigainya.
Setelah menemukan tempat sembunyi--di kargo-kargo kosong yang belum terisi di sayap kanan dan kiri pelabuhqn, mereka bertiga memutuskan untuk kembali. Di jalan, Albert menelepon tiga rekannya untuk mengawasi Pelabuhan Semayang sampai malam hari sebelum mereka datang ke sana nanti. Setidaknya mengabari apakah ada sesuatu yang mencurigakan di pelabuhan itu.
Kembali ke rumah, Albert menemukan pintu rumah tak terkunci dan dua penghuninya terlelap di lantai karena kelelahan. Layar ponsel Phoska menyala-nyala pertanda alarm-nya berbunyi, tetapi dia mengabaikannya. Wio pun tidak berniat mematikannya. Hanya Albert yang akhirnya melakukannya.
Mereka bertiga pun beristirahat. Malam ini, mereka akan bertarung dengan Andi, memperebutkan Nia. Mereka harus menang atau Nia mati di tangannya.
Pada hari itu, Wio bermimpi. Dirinya mendadak berada di dalam air, dalam sekali. Lelaki itu menoleh ke sana-sini dan ke atas, kemudian berenang ke sana, tetapi tak sampai-sampai. Sampai lelaki itu kelelahan dan ia pun bangun.
Meskipun sedikit kebingungan, tetapi Wio tak ambil pusing. Mungkin karena kata air dia bermimpi demikian. Wio memilih untuk melupakannya.
Lelaki itu tak tahu saja bahwa kejadian beberapa jam ke depan akan sama dengan apa yang ia mimpikan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top