3. Ke Lapas

"Kenapa kau jarang pulang setelah pertemuan kita tiga tahun yang lalu?" Sudah banyak cerita yang diperdengarkan. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi Nia tidak mau beranjak dulu dari kamar Wio.

"Dan kenapa kau tiba-tiba suka merokok?" Nia mengipasi udara di mana asap rokok Wio mengepul, membuat terbatuk. Nia tidak ingat kapan terakhir kali menghirup asapnya.

Wio yang sedang menggigit rokoknya, menggerakkan mata, lalu menghisap rokok dan menghembuskannya. Dia meraih asbak yang dipinta dari resepsionis di depan, kemudian mematikannya. "Lana menawariku, aku pun kecanduan," jawabnya. "Sekarang, jawab pertanyaanku."

Nia dan Wio sedang main remi sekarang. Wio tidak tahu kalau dia membawa kartu remi punya adiknya. Dia harap adiknya tidak menyadarinya.

Nia menatap kartu yang berjejer di lantai, lalu menarik salah satu kartu di tangannya dan membariskannya ke sana. "Cutiku yang dulu tidak selama sekarang. Banyak tugas yang harus dikerjakan, banyak praktek yang harus dilakukan."

Wio mengangguk-angguk. "Tugas seperti apa?" tanyanya.

"Pokoknya yang paling membingungkan adalah menghubungkan beberapa pasal aneh saat melakukan pengamatan dan ujian akhir semester." Nia mendengkus. "Aku lebih suka latihan fisik daripada penalaran seperti itu- Oh, ya ketinggalan! Latihan mental saat tanpa sengaja melepaskan anjing penjaga dan kemudian dikejar." Gadis itu tersenyum datar. Itu merupakan pengalaman tak terlupakan, menyenangkan, sekaligus menakutkan. Anjing-anjingnya sudah dilatih dan bisa dijinakkan, tergantung yang dikejar apakah kuat berlari dan menghindari kejaran anjing atau tidak.

"Wow." Wio menatap kagum.

"Aku senang sekali setelah lima tahun berada di akademi. Bulan depan aku akan lulus dan menerima gelar sarjanaku." Nia tersenyum. "Aku akan jadi polisi, saatnya mengabdi pada negara."

"Sayang sekali pengabdianmu tidak di Kalimantan Timur." Wio melihat kartu-kartu di tangannya, lalu kartu-kartu di lantai, dan menarik salah satu kartu untuk diletakkan.

"Aku tidak bilang tidak di Kalimantan Timur, tapi mungkin tidak bisa. Tempat kerjaku fleksibel, bisa di daerah mana saja. Saat ini, wilayah perdalaman yang membutuhkannya." Nia melihat kartu yang dikeluarkan Wio, lalu terbelalak. "Hei, ini curang! Bagaimana bisa kau mengalahkanku lagi!" teriaknya.

"Kau kalah, Sayang." Wio tersenyum miring, lalu menjatuhkan kartu-kartu di tangannya ke lantai. Dia berhasil mengalahkan Nia untuk yang kesekian kali dalam permainan remi. Nia menggeram kesal. "Sialan," umpatnya.

Mereka merapikan kartu-kartu itu sambil bercerita. "Kau tahu tadi di jalur Tenggarong-Samarinda ada razia apa?" tanya Nia. "Aku dengar, jalur Tenggarong-Sentra juga demikian."

Wio mengangguk. "Mobil yang kutumpangi bahkan digeledah."

"Katanya ada buronan." Wio berhenti merapikan kartu-kartunya. Dia mendadak teringat wajah di kertas yang diberikan Pak Polisi tadi siang. "Dia merupakan pengedar narkoba dan bersembunyi di daerah perdalaman." Nia memberitahu semua informasi yang ia dapat saat bercerita dengan orang-orang asing di dalam bus. "Polisi berusaha mencarinya secara besar-besaran ke perdalaman."

"Ini mengingatkanku akan Jeffry," ucap gadis itu, menoleh pada Wio. "Apa kabarnya sekarang ya?"

Wio diam, Nia memerhatikan raut wajahnya. Wio terlihat meneguk ludah tanpa sebab, menatap lantai dengan mata bergerak-gerak.

"Kau baik-baik saja, Wi?" Nia memegang bahunya. Wio segera menatapnya dan membuang napas.

"Aku sempat ditunjukkan muka si buronan oleh polisi," jawabnya. "Aku tidak menyangka dia bisa kabur."

"Siapa?" Nia melebarkan mata, ingin tahu.

Wio kembali meneguk ludah. Dirinya dan Nia memiliki trauma pada pria tersebut. Nia pasti masih ingat saat dia ditenggelamkan, kemudian dicekik sampai air masuk ke badannya. Ia nyaris tidak selamat. Syukurlah masih diberi kesempatan hidup untuk menyaksikan orang yang menenggelamkannya tadi dipenjara seumur hidup.

"Masih ingat G.A.N.J.A.?" Wio melempar sebuah pertanyaan.

Nia terbelalak.

"Pemimpinnyalah yang diburon saat ini," sambung Wio dengan tatap serius.

***

Nia sudah kembali ke kamarnya setelah mereka membicarakan pemimpin G.A.N.J.A. yang tidak disangka bisa kabur dari hukumannya. Namanya Andi Mahendra, biasa dipanggil Andi. Andi merupakan salah satu pengedar ganja di Kalimantan yang menyalahgunakan kekuasaan ayahnya di pemerintahan dan gelar sarjana ekonomi yang didapatnya.

Wio dan Nia tidak tahu kabar Andi sejak tiga tahun lalu. Mereka rasa pria itu tidak akan kabur lagi karena pengetatan keamanan penjara yang dilakukan untuknya. Pihak penjara bahkan memasang jeruji listrik untuk Andi dan memasang sensor panas di lorong-lorong penjara, yang apabila dilewati Andi, akan membuat badannya disengat gelombang listrik dari kamera CCTV. Dia seharusnya tidak bisa kabur.

"Tidak ada yang membuatku takut selain kau, Nia," kata Wio di sela-sela ceritanya. "Kau dianggap Andi sebagai seseorang yang berhasil mengalahkannya. Andi bisa saja balas dendam padamu, kapan saja."

Nia hanya menunduk.

"Setelah melihat gambar wajah Andi di kertas itu, aku menggerutu. Kau seharusnya tidak pulang ke Kalimantan." Wio ikut menunduk. "Keselamatanmu bisa terancam."

"Aku rasa itu tidak akan terjadi lagi, Wio," sahut Nia, membuat lelaki di depannya mendongak dan mengernyit. "Aku tidak tahu kapan dia akan beraksi, apakah dia sedang mengutus rekannya untuk menguntitku atau hal yang lain, tapi jika itu terjadi, aku sudah siap melindungi diriku sendiri." Nia tersenyum, menyakinkan.

"Mamak dan Bapakmu bisa bunuh diri apabila itu terjadi," ucap Wio, memasang wajah lesu.

Nia menggeleng. "Tidak. Tidak akan terjadi apapun padaku. Dan aku pastikan kau juga tidak bakal terluka lagi."

Wio hanya membuang napas. Dia kembali memalingkan wajah.

Setelah percakapan itu, Nia izin pamit ke kamarnya karena dia sudah mengantuk. Ia menenteng kertas plastik yang tadi dibawanya, lalu melambai sebelum menutup pintu kamar Wio. Wio balas melambainya, sebelum meraih ponselnya dan menunggu satu pesan masuk.

Yang ditunggu-tunggu pun tiba. Wio mendapatkan pesan dari Nia. "Aku sudah sampai di kamarku. Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa. Kalau ada apa-apa pun aku bisa mengatasinya sendiri."

Wio lekas menjawab, "Jangan sendiri! Panggil saja aku! Aku mungkin tidak tidur malam ini. Aku takut kau kenapa-kenapa."

"Wio, aku sudah mengunci pintu kamar kok. Aku akan baik-baik saja," balas Nia.

"Tidak. Meski feeling-ku saat ini baik-baik saja, menjaga keselamatanmu adalah hal terpenting. Sialan! Seharusnya kita satu kamar saja." Wio membuang napas, untuk kesekian kalinya.

Hati lelaki itu gelisah. Dia ingat betapa beringasnya Andi saat berusaha menghabisinya yang berusaha melindungi Nia. Wio perlu waktu lama untuk melupakan semua momen menyakitkan dan penuh darah itu. Sekarang, semua itu berputar-putar di kepala dan tak bisa dilupakan, terlebih tangisan Nia sebelum dia melawan sendirian dan diceburkan ke Sungai Mahakam.

Wio menarik napas, lalu membuangnya. "Nia akan baik-baik saja. Tenang, Wio." Ia mulai menenangkan dirinya. Lelaki itu tahu Nia harus terus dilindungi, tetapi dia harus percaya Nia bisa melindungi dirinya sendiri, dan tidak akan terjadi hal macam-macam. Selama Wio bersama Nia untuk seminggu ke depan, Wio berjanji tidak akan ada apapun yang jahat yang terjadi pada gadis kesayangannya.

Maka setelah itu, Wio pun menutup mata. Dia terlelap dan mendengkus nyenyak. Nia di kamar sebelahnya juga demikian. Perjalanan jauh dan kenyang akibat makan cemilan membuat mereka kelelahan.

***

Satu tempat yang wajib dikunjungi di hari pertama Nia di Tenggarong: lapas. Nia ingin menjenguk salah satu teman lelakinya yang tiga tahun lalu berjasa menyelamatkannya dari kekejaman Andi. Meskipun kemudian, mereka gagal melakukannya, membuat Nia mendapatkan banyak luka yang masih membekas sampai sekarang.

Wio berjalan bersamanya. Dia menemani ke manapun gadis itu pergi. Nia menanyakan tahanan bernama Jeffry kepada petugas yang berjaga, lalu petugas itu bertanya balik dengan ketus. Nia menjawab, "Kami ingin bertemu." Setelah itu, Nia dan Wio disuruh mengisi formulir data diri yang sudah disediakan. Digunakan untuk pengecekan berkala--memeriksa para tahanan sudah dijenguk berapa orang dalam sebulan dan apa hubungan orang-orang itu dengan para tahanan.

Setelah itu, Wio dan Nia diperiksa. Apakah mereka membawa barang yang mencurigakan. "Negatif," kata petugas yang memeriksa, mengacungkan jari jempol. Wio dan Nia pun dibolehkan memasuki bangunan lapas lebih dalam.

Masuk ke dalam sebuah ruangan ber-AC, bilik-bilik tersedia, beberapa sudah diduduki orang-orang yang sedang menjenguk para tahanan. Nia duduk di kursi yang disediakan, Wio memilih untuk berdiri saja.

Petugas yang mengantar mendekatkan mulut ke walkie-talkie dan menyuruh petugas di bilik seberang yang dipisahkan kaca, mencari tahanan yang ingin Nia dan Wio temui. Petugas itu mengangguk, lalu pergi, masuk ke ruangan di belakangnya. Beberapa menit kemudian, dia kembali, namun tidak membawa siapa-siapa.

"Dia butuh waktu untuk bertemu dengan kalian. Tidak masalah agak lama sedikit?" tanyanya. Mereka memang dibatasi sekat kaca, tetapi ada lubang-lubang kecil di tengah sekat tersebut, membuat penjenguk dan tahanan bisa berkomunikasi.

"Tidak masalah." Nia menggeleng, sedangan Wio mengerutkan dahi.

Mereka berdua pun menunggu sampai tahanan yang diinginkan memunculkan diri. Nia tersenyum senang, Wio semakin mengerutkan dahi, dan Nia kemudian mengernyitkan kening. Lelaki di depannya tampak lebih kurus dari yang terakhir Nia lihat. Nia tahu dia terakhir menjenguk temannya itu tiga tahun yang lalu, tapi ia tidak akan menyangka bakal sekurus itu tubuhnya.

"Jeffry?" Lelaki itu bernama Jeffry, dia duduk dengan lesu ke kursi yang disediakan, menatap Nia tanpa tersenyum.

"Apa maumu?" tanyanya, judes. "Kau menganggu waktuku saja."

Nia terkekeh kecil, lalu meminta maaf. "Aku rindu padamu," sahutnya, disertai anggukan Wio. "Kami rindu kalian semua. Aku harap bisa menemui semuanya, tapi aku titip salam saja padamu ya. Sampaikan bahwa aku sangat sayang pada mereka."

Jeffry hanya diam, matanya menatap lurus Nia. Nia yang tadinya tersenyum, mulai melunturkannya. Setelah dilihat-lihat, Jeffry baru habis menangis.

"Kau baik-baik saja, Jeffry? Apakah ada masalah selama kau dipenjara?" tanya Nia, penuh kehati-hatian.

Jeffry menarik dan menghembuskan napas berat, lalu menatap kosong ke bawah. "Kau terlambat menitip salamnya," sahutnya, terdengar terisak.

Nia dan Wio pun saling pandang. Wio hanya mengendikkan bahu, tidak tahu apa maksud Jeffry barusan.

"A-Apa maksudmu? Ceritakan padaku. Siapa tahu aku bisa bantu," pinta Nia.

Jeffry pun terdiam cukup lama. Nia menatap khawatir. Dia baru lega saat Jeffry kembali menarik napas panjang dan menghembuskannya.

Dan perkataannya selanjutnya membuat Wio dan Nia terbelalak. Nia bahkan sampai menutup mulutnya, Wio pun memajukan diri, memaksa Jeffry untuk menceritakan kronologinya.

"Yang lain sudah mati ditembak. Mungkin hanya Albeta dan aku yang akan bertahan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top