29. Pengakuan (3)

Andi masih menyodorkan tongkat besi itu saat ia menyadari Jeffry tidak mau mengambilnya. "Jangan bilang kau tidak tahu cara memukul, Jeffry." Meskipun itu hanyalah sebuah candaan, Jeffry yakin Andi mengancamnya. "Ambil!" suruhnya.

Jeffry meneguk ludah. Ia meraih tongkat tersebut dan menatapnya sekilas. Terasa lengket di beberapa bagian. Lelaki itu mendekatkan jari tangan ke hidung, bau besi tercium kuat. Jeffry menatap lekat-lekat, ia menyadari ada bekas darah di tongkat itu, beberapa bahkan belum mengering.

Jeffry menoleh ke Nia. Ia tampak memohon agar Jeffry tak mengapa-apakannya. Tiba-tiba, satu lampu dinyalakan, yang menyorot langsung tubuh gadis itu di ruangan. Jeffry dibuat semakin terbelalak melihat Nia di bawah sorot lampu.

Nia membuka matanya. Gadis itu duduk di atas kursi kayu dengan tali tambang mengikat tubuh, tangan, dan kaki. Dia mengenakan atasan kaos oblong putih dengan celana sepaha, pakaiannya lusuh. Pakaian minim itu membuat kulit birunya kelihatan--biru habis dipukul.

Nia mendongak. Mata kirinya bengkak. Ada luka sobek di sudut bibirnya. Di bawah hidung, mimisan mengering. Beralih ke pipi, luka pukul tergambar, membiru.

Nia yang terikat dengan tali tambang membuat kulitnya memerah di beberapa bagian. Aliran darah di sana seakan tersendat karena kekencangan tali.

Jeffry kembali meneguk ludah. Tatapan Nia sudah sayu. Ia terlihat ingin menyerah, tetapi juga ingin melawan. Tatapan memelasnya mengingatkannya pada Wio. Lelaki itu termundur tanpa sadar. "Aku tidak sanggup."

Andi hanya berdecak. "Ruslan, kau yang gantikan!"

"Apa?" Jeffry terbelalak, lekas menoleh. Namun, baru saja mencerna maksud pria itu, Ruslan sudah merampas tongkat besinya, mulai menghampiri Nia. Nia bergerak-gerak di kursi, berusaha memberontak, mulai berteriak. "Pergi!" teriaknya. "Jangan pukul aku lagi! Jangan!"

"Nia!" Jeffry refleks berteriak. "Hei, hentikan!" Lelaki itu pun melangkah untuk menghentikan Ruslan. Namun, Andi segera meraih lengannya, menendang belakang lututnya, membuat lelaki itu mengerang dan terduduk. Lututnya menghantam keras lantai marmer.

Baru saja hendak melawan, Andi meraih tangannya yang satunya dan memeganginya di belakang tubuh. "Mari kuperlihatkan bagaimana caranya untuk menyiksa Nia."

Dan hal itu pun terjadi. Ruslan mengayunkan tongkat besi dan mengenai badan Nia, membuat gadis itu berteriak kesakitan.

"Hentikan!" Jeffry berteriak lagi. Matanya sudah nyaris keluar dari tempatnya. "ANDI, HENTIKAN!" pintanya pada pria di belakangnya. Tubuh lelaki itu bergerak-gerak berusaha melepaskan diri.

Bugh!

"ARGH!" Nia sudah menangis. "SUDAH! SUDAH, AKU MOHON, SUDAH- AH!" Tongkat besi berayun ke kepala. Sakitnya membuat Nia seketika tak bisa berteriak, tak lagi memberontak. Ia langsung tak sadarkan diri.

Jeffry hanya tersengal melihatnya. Gadis itu kini diam setelah beberapa pukulan di arahkan kepadanya. Ruslan membalik badan, menatap Jeffry. Pria itu menyeringai.

Andi melepaskan Jeffry. Jeffry langsung berbalik dan meraih kerah bajunya. "Apa maksudmu, Bangsat! Menyiksa Nia? Kau bukan lagi manusia, Bajingan!"

Andi hanya terkekeh kecil. Hal itu membuat kesabaran Jeffry habis. Kemarahannya meluap-luap. Lelaki itu pun mengepalkan tangan dan memukulnya. Andi terhuyung ke samping, cengkeraman di kerah baju dilepas.

Bugh!

Jeffry langsung menoleh ke asal suara. Dia melihat Ruslan baru saja memukul Nia memakai tongkat besi itu, padahal gadis itu sudah pingsan. "Kau juga sama!" Jeffry berlari ke arahnya. Ia melompat untuk melancarkan pukulan, tetapi Ruslan menghindar dan balik mengayunkan tongkat besi. Jeffry langsung menahannya dengan lengan sebelum kena ke kepala.

Jeffry meringis kesakitan sesaat.

Ruslan kemudian mengayunkan kaki agar Jeffry jatuh, tetapi lelaki itu dengan cekatan melompat. Dia memanfaatkan itu untuk menendang Ruslan di kepala. Bugh! Satu tendangan mengenai target. Ruslan terhuyung, dia jatuh, tongkat besi lepas dari tangan. Jeffry langsung meraihnya, berdiri di depan Ruslan yang masih kesakitan, sebelum memukulnya habis-habisan menggunakan tongkat di tangannya sebagaimana yang sudah dilakukan kepada Nia.

Tanpa ia sadari, Andi merekam perbuatannya. Inilah yang ia tunggu dari tadi--Jeffry yang mengamuk.

Andi tahu kalau Ruslan tidak bakal setuju untuk dipukul habis-habisan oleh Jeffry saat nanti dipertemukan dengan Nia. Jadi, dia menghipnotisnya. Ruslan yang sekarang bukanlah Ruslan yang biasanya. Ruslan yang sekarang dipergunakan agar Andi dapat mengirim bukti kejahatan yang dilakukan Jeffry guna mengancamnya untuk bekerjasama. Andi tersenyum sampai Jeffry berteriak puas setelah memukuli Ruslan di bawahnya.

Napas lelaki itu tersengal. Ruslan sudah tak sadarkan diri. Banyak luka tercipta di wajahnya, beberapa sudah mengeluarkan darah.

Jeffry mendongak kala mendengar siulan. Ia menoleh ke sumber suara, menyadari bahwa dirinya sudah direkam diam-diam. Lelaki itu terbelalak. Dia sudah maju dengan tongkat besinya untuk mengancam Andi agar jangan macam-macam dengan rekaman itu.

Namun, Andi langsung menodongkan senjata padanya. Jeffry seketika berhenti. Ia mengumpat tak suka dalam hati.

"Kau masih ganas," kata Andi. "Sudah kurekam." Ia menggoyang-goyangkan ponselnya, sebelum mengantonginya.

"Untuk apa?" tanya Jeffry, serak. "Kau mau menjebakku?"

"Aku mau kau bekerjasama denganku." Andi tersenyum. "Selama ini bukan Nia yang kuincar, melainkan Wio."

Jeffry melebarkan mata. Sekarang, apa lagi urusan pria di depannya itu dengan Wio?

"Aku ingin memancingnya masuk ke perangkapku, melalui Nia. Tapi, Aldi terlalu menjaganya, dia tak kunjung dapat kutangkap. Jadi, aku butuh bantuanmu, dan selama aku berusaha mendapatkan perhatianmu, Nia di sini, bersamaku, disiksa, agar suatu hari nanti saat lelaki itu tertangkap dan dia berusaha menyelamatkan diri, keadaan Nia saat ini membuatnya tak berkutik." Andi menyeringai. "Itu menyenangkan jika dibayangkan. Aku mau itu menjadi kenyataan."

"Kau iblis," sahut Jeffry, membuat pria itu mengernyit. "Sekarang apa urusanmu dengan Wio? Dia tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikanmu!"

"Memang tidak." Andi menggeleng. "Atau iya?" Bibirnya kembali ditarik ke atas. Jeffry dibuat bingung oleh jawabannya.

"Lagipula, Jeffry, semua ini demi Albeta." Pria itu mendekatinya. Jeffry langsung memasang sikap siaga. Jika Andi berusaha menyakitinya, ia siap untuk menangkis. "Kau tidak mau Albeta terluka, 'kan?"

Jeffry hanya diam. Andi pun meneruskan. "Turuti apa permintaanku. Aku janji kau dan adik angkatmu itu akan baik-baik saja." Satu permohonan kembali terucap. "Selama ini aku ingin mengajakmu bekerjasama, hanya mengenai ini," sambung Andi. "Sayang sekali, aku kalap ya. Aku malah membunuh rekan-rekanmu." Ia terkekeh, merasa lucu.

"Tidak ada yang lucu, Bodoh!" Jeffry menggeram. "Yang kaubunuh itu adalah keluargaku!"

"Aku membuktikan bahwa aku bisa membunuh banyak orang dalam satu waktu." Andi menatap Jeffry. "Termasuk Albeta suatu hari nanti."

Jeffry melotot marah.

"Maaf." Andi tersenyum. "Sekarang, kau di sini, dan kita sudah bekerjasama." Dia melirik Ruslan di belakang Jeffry. Jeffry melihat ke arah yang sama. Ia mulai menyadari bahwa dirinya sudah menyakiti seseorang. "Sesuai yang aku mau." Jeffry menatap lagi ke arah Andi.

Andi menarik dan membuang napas. "Jadi, bagaimana? Wio dijebak atau kau kehilangan Albeta." Pilihan kembali dilontarkan. Bukan hal yang sulit, dia langsung memilih Wio dijebak.

Jeffry tidak bermaksud begitu. Ia ingin memaparkan hal itu pada Wio di waktu yang tepat. Kepada Aldi dan A.R.A.K. sekalian, agar mereka melindungi Wio. Jika dia mengikuti apa permintaan Andi saat ini, ia bisa mengetahui semua rencana busuknya, dan menghentikannya. Jeffry mengikuti semua arahannya hanya untuk mencari informasi.

Di sisi lain, Marsya yang masih hidup, terbelalak melihat rekaman di sebuah ponsel yang disodorkan padanya. Hadi duduk di atas kursi, di depannya, mempertontonkan sesuatu. "Kau lihat Nia sedang diapakan oleh Jeffry?" tanyanya. Marsya hanya bisa menggeleng-geleng. Siapapun yang bernama Jeffry itu, dia harus segera dihukum atas perbuatannya. Lelaki itu tidak tahu bahwa orang yang sedang dipukul-pukul Jeffry itu adalah Ruslan. Andi sengaja merekam tindakan Jeffry tanpa memasukkan Ruslan ke dalam layar video.

Hingga sampai waktunya nanti, Marsya akan memunculkan diri dan dia akan bertemu Jeffry. Ia akan memberi isyarat bahwa lelaki itu sudah melakukan sesuatu yang tidak manusiawi. Target yang harus terpancing adalah Wio, terlebih jika lelaki itu menemukan surat yang ditulis Andi. Ia pasti akan menanyainya, mengintimidasinya, dan meletakkan amarah di dalam hati. Benar saja, itu terjadi kali ini.

Jeffry sudah memaparkan semua yang menjadi alasan kenapa Andi ingin Wio bertemu dengannya, alasan kenapa Marsya mengode bahwa dirinya melakukan hal yang menyakitkan "Tapi, apapun itu, Wio, aku bersumpah aku tidak memukuli Nia. Aku memukuli Ruslan, orang yang menculiknya. Ruslan-lah yang sudah memukul Nia, aku jadi marah dan berusaha membalasnya saat itu juga."

Muka Wio sudah merah padam. Namun, lelaki itu memilih memendam kemarahannya sebelum mendengarkan sampai habis cerita Jeffry.

"Aku melakukan ini agar aku tahu bagaimana keadaan Nia, di mana ia berada," sambung Jeffry. "Kumohon maafkan aku karena baru memberitahu sekarang. Jika aku memberitahu sejak hari-hari yang lalu, Albeta bisa mati."

"Dan bagaimana bisa kau mendapatkan keberanian untuk mulai buka suara?" Aldi bertanya. "Andi mengancammu, bukan? Seharusnya kau tidak bilang apa-apa."

"Andi yang menyuruhku. Dia ingin Wio masuk ke perangkapnya setelah nanti aku memberitahu di mana Nia akan dieksekusi." Jeffry menerangkan. "Wio akan jadi hilang akal dan hanya berusaha menyelamatkan Nia saja, tanpa peduli nyawanya akan melayang."

Kemarahan dalam diri Wio perlahan mereda. Dalam hati ia berkata, "Jeffry berusaha menyelamatkanku? Tapi, dia mengorbankan Nia."

"Nia masih baik-baik saja, sejauh ini." Seakan membaca pikiran Wio, Jeffry melanjutkan perkataannya. "Tapi, kita memang harus segera menyelamatkannya. Malam ini adalah tenggatnya. Kita harus segera membuat rencana penyelamatannya tanpa mengorbankan Wio."

Setelah itu, Aldi, Albert, dan Phoska saling pandang. Mereka sudah memiliki strategi di kepala. Wio hanya menatap Jeffry di depannya.

Jeffry menatap bersalah. Wio masih marah. Ingin rasanya melemparkan kata-kata kasar pada lelaki yang ternyata sudah berkhianat diam-diam, lebih parah daripada Fariz dan Rado kepada Aldi. Namun, ia tahu perbuatannya demi mengetahui lokasi dan keadaan Nia. Jika Jeffry tidak memenuhi keinginan Andi, mereka tidak mungkin bisa tahu kabar gadis itu.

"Ayo, diskusikan sekarang!" ajak Aldi, memecah suasana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top