28. Pengakuan (2)
Wio, Aldi, dan Albert akhirnya pulang dari lapas. Mereka tidak mendapatkan apa-apa dari Jeffry. Meskipun Wio sudah memukul sekat kaca yang menghalangi dirinya dengan Jeffry, Jeffry tetap menolak untuk memberitahu malam itu juga. "Tunggu besok di kediaman Albert. Aku janji akan bilang semuanya."
"Kau tidak akan kabur?" Wio berdiri dari duduknya. Ia menatap penuh ancaman. Perubahan sikap yang drastis itu membuat Albert dan Aldi mengernyit sekaligus was-was.
Jeffry menggeleng. "Tidak akan. Aku janji."
Setelah itulah mereka memutuskan untuk pulang karena kebetulan jam jenguk sebentar lagi akan habis. Mereka berdiam sejenak di parkiran, Aldi bertanya pada Wio. "Kenapa kau bersikap seperti tadi, Wio?"
Wio meneguk ludah. Dengan wajah yang masih merah, ia menyusun kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. "Ada sesuatu yang belum dia akui kepada kita."
Aldi tetap kebingungan. "Apa itu?" tanyanya.
Wio menggeleng. "Karena itulah aku ingin dia mengaku tadi."
Aldi pun memutuskan untuk mulai melajukan mobil dan mengantar Albert pulang ke rumahnya. Halaman parkir di depan rumahnya masih dipenuhi polisi dan sudah dipasang garis peringatan. Setelah mengantar pria itu, Aldi dan Wio kembali ke markas.
Banyak hal yang terjadi dalam waktu dua hari ini. Sampai di rumah, Wio langsung duduk di sofa, Aldi meminum seteguk air di dapur. Mereka tenggelam pada pikirannya masing-masing.
Kata air masih menghantui Wio. Kepolisian sudah menjaga perairan, di mana pun tempat yang sekiranya ada danau atau sungainya, memastikan tidak ada yang ditenggelamkan di sana, sesuai pemaparannya.
Malam itu, Aldi dan Wio masing-masing tak dapat tidur. Aldi sudah pulang ke rumah dan menemani Arin, tetapi malam itu dia memilih untuk membuat kopi dan meneguknya sebelum berakhir terjaga. Wio di markasnya pun demikian di atas sofa. Mereka tidak bisa tidur.
Keesokan harinya, Jeffry menepati janjinya. Dia pergi ke kediaman Albert, Wio dan Aldi sudah ada di sana, pagi-pagi sekali. Kantong mata mereka tampak hitam, pertanda tidak tidur semalaman.
Jeffry duduk di sofa lebar, sendirian. Sisanya ada di seberangnya, duduk, siap mendengarkan.
"Aku minta maaf," ucap Jeffry. Orang-orang di dalam ruangan mengernyit. "Aku minta maaf terutama padamu, Wio." Si empunya nama melebarkan mata.
"Aku sudah berbohong."
Jeffry kembali menjenguk Albeta yang mulai sadar setelah nyaris kehabisan darah oleh Dandi. Perawat mengabarkan bahwa lelaki itu sudah siuman, maka Jeffry bergegas menemuinya. Urusan sejenak di kepolisian membuatnya tidak datang tepat waktu ke rumah sakit seperti biasanya.
Dia sudah berada di lantai tempat Albeta dirawat dan mengetuk pintu ruangannya. Ia pun membukanya, berakhir kaget dan terdiam di depan pintu. Albeta mematung, mengatupkan mulut, gemetar dengan mata tersirat minta tolong. Seorang pria yang saat ini masih dicari-cari akhirnya menampakkan diri kepada Jeffry.
"Andi-!"
"Stt!" Andi menempelkan telunjuk ke bibirnya. Dia melirik dari ekor mata, lalu mengode pada tangannya yang memegang senjata api. Perlahan, ia mengarahkan benda tersebut ke kepala Albeta. "Masuk, tutup pintu, atau Albeta mati di depanmu."
Jeffry sebenarnya ingin segera lari atau berteriak mencari pertolongan, tetapi senjata api itu sudah menempel ke kepala Albeta. Albeta tentu tak bisa melawan seperti saat Dandi berusaha menghabisinya. Dia masih lemah.
"Cepat!" desis Andi, menekan kepala Albeta dengan pistol. Albeta meringis dan meminta pada Jeffry untuk segera menuruti perintahnya.
Jeffry mau tidak mau melakukan apa yang disuruh. Dia masuk, menutup pintu, dan menjaga jarak dari Andi.
Andi pun menjauhkan senjatanya. "Ini adalah kesekian kalinya kau menurutiku." Ia menyimpan benda tersebut ke dalam sarung yang terikat di pinggangnya, tersembunyi di dalam jaket. "dan aku menginginkan lebih."
"Apa yang kau lakukan di sini, Bajingan?" tanya Jeffry, dengan nada rendah. Ia sudah menyiapkan kuda-kuda. Jika Andi lengah, atau basa-basinya tidak menyenangkan, Jeffry akan segera menyerangnya.
"Menjenguk Albeta. Dia tampaknya baik-baik saja setelah Dandi berusaha membunuhnya," jawab lawan bicara. "Apa salah aku menjenguk anak buah Kana, hum?" Andi mengubah mimik wajahnya. Mimik mengejek. Jeffry dibuat semakin muak.
"Aku tahu bukan itu yang menjadi alasanmu pergi ke sini." Jeffry mengepalkan tangan.
"Setelah tidak bertemu tiga tahun, kau jadi makin pintar ya." Andi terkekeh. "Ya, bukan ini yang membuatku akhirnya ada di sini. Aku ingin bertemu denganmu." Pria itu tersenyum miring. Jeffry mulai merasa ada yang tidak beres.
"Kau masih ingat Nia?"
Jeffry terbelalak.
"Mau membantuku untuk membunuhnya?" Andi berjalan mendekat, menyodorkan tangan. "Ayo, kerja sama lagi," ajaknya.
Jeffry melihat sejenak sodoran tangannya, lalu menepisnya. "Kau gila! Aku tidak akan menyakiti seseorang lagi!"
Klik!
"Oke, artinya kau bersedia aku membunuh Albeta." Pistol kembali ditarik dari sarung secepat kilat dan diarahkan ke Albeta. Albeta kembali terbelalak ketakutan.
Jeffry ikut melebarkan mata. "Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Albeta!"
"Tapi, Albeta adalah satu-satunya cara agar kau mau bekerjasama denganku." Andi kembali tersenyum miring. "Nia yang mati atau Albeta yang mati?"
Yang ditanya jadi dilema. Ia tak tahu harus memilih siapa.
Sebenarnya mudah untuk Jeffry tidak menjawab pertanyaan itu. Dia tinggal menendang Andi di depannya, bertarung dengannya, mempertaruhkan hidup dan mati di ruangan itu. Namun, melihat Albeta yang mulai menangis ketakutan membuat Jeffry tak bisa berpikir. Ia memaki dalam hati tak dapat menentukan jawaban.
Jika Nia mati, dia yang akan merasa bersalah. Namun, jika Albeta mati, Jeffry tak dapat hidup tanpanya. Mereka berdua dalam ancaman.
Namun, mendadak Jeffry memikirkan sesuatu. Jika dia memilih Nia untuk mati, apakah Andi akan mengajaknya untuk menyiksanya sampai mengembuskan napas terakhir, atau cuma menonton. Keuntungannya adalah Jeffry akan tahu di mana Nia. Dia bisa memberitahu Wio mengenai itu.
Berpikir seperti itu, terlihat menguntungkan dua belah pihak. Nia bisa diketahui lokasinya, Albeta tak dibunuh. Namun, Jeffry kembali membuat pertimbangan. Andi tentu tidak berpikir untuk menyiksa, dia pasti berpikir untuk menekan.
"Jika aku memilih Nia yang mati, apa yang akan terjadi?" tanya Jeffry terlebih dahulu, sebelum membulatkan keputusan.
Andi menurunkan pistol karena tangannya penat. "Albeta tidak mati, tentu saja."
"Jawaban yang lain?"
"Kau akan ikut aku menyiksanya." Andi tersenyum. "Aku tahu masih ada rasa dendam pada dirimu, Jeffry."
"Apa yang kudendamkan pada Nia?" Jeffry mengernyit.
"Oh, aku salah?" Andi terkekeh. "Maaf. Sepertinya hanya aku yang dendam padanya ya?"
Jeffry akan menetapkan keputusan, sebelum ia kembali berpikir. Bagaimana jika Wio tahu kalau dia bekerjasama dengan Andi? Jeffry bertujuan yang baik--ingin tahu di mana Nia berada. Satu-satunya cara yang menguntungkan saat ini adalah dengan menjadi rekan Andi untuk sejenak.
"Cukup jangan beritahu yang lain kalau aku bekerjasama denganmu," kata Jeffry setelah sekian lama. Ia menatap Andi yang tertawa senang. Pria itu menepuk-nepuk bahu Jeffry. "Kau memang bisa diandalkan," pujinya. Jeffry hanya diam.
"Kita bertemu dua hari lagi. Akan kubawa kau menemui Nia dan memaparkan apa saja yang kurencanakan. Aku sudah mempercayaimu, jadi jangan mengkhianatiku." Andi memasang tudung jaketnya. "Jaga dirimu." Dia keluar dari ruangan, menyisakan Jeffry yang menunduk dan Albeta yang tak percaya. Lelaki itu cuma bisa terbelalak saat Jeffry setuju untuk ikut menyiksa Nia. Jeffry mendongak, memperhatikannya. "Semua untuk lokasi Nia agar diketahui."
Albeta dibuat tak habis pikir olehnya. "Jika kau mau tahu di mana Nia berada, cukup ikut dengan Andi, jangan menyiksanya," sahut Albeta, serak, kemudian terbatuk. Ia sebenarnya belum bisa bicara, tetapi tadi dia paksakan.
Jeffry mendekatinya. "Akan kuusakan, tapi kurasa aku tak bisa." Albeta meraih tangannya. Dia menggeleng-geleng, seakan-akan bilang, "Jangan siksa Nia! Wio sedang percaya padamu saat ini."
"Akan kuusahakan," ulang Jeffry. Dia tidak bisa memastikan apakah bisa tidak menuruti perintah Andi suatu hari nanti. Menunggu jawaban itu, Jeffry memenuhi panggilan Andi dua hari setelahnya dan sesuai janji, Andi dan Jeffry pergi ke tempat di mana Nia diculik. Andi selama ini bersembunyi dibantu Ruslan dan Hadi sebagai salah satu anggota G.A.N.J.A. Karena itulah dia bisa bergerak leluasa.
Menghabiskan empat jam di perjalanan, mereka sampai ke sebuah hotel mewah dengan parkir bawah tanah. Ia menyadari bahwa itu adalah hotel di mana pertemuannya dengan Bos pertama kali berlangsung. Hal itu sempat membuat kaget dan nostalgia.
Ada tempat parkir rahasia di sana. Ada satu lift yang tersedia, Jeffry, Andi, serta Ruslan dan Hadi yang sudah menunggu masuk ke lift tersebut, mulai menuju ke lantai teratas. Lantai itu pun lantai rahasia. Hanya orang-orang yang memiliki akses saja yang bisa masuk ke sana.
Mereka keluar dari lift dan Jeffry mendadak merasakan jantungnya berpacu. Rasanya seperti hendak melompat keluar dari dada. Perasaan lelaki itu mulai tidak enak.
Mereka berhenti di sebuah ruangan yang hanya bisa dibuka dengan sebuah kartu khusus. Andi memilikinya. Ia memindai kartu tersebut ke alat pindai yang sudah disediakan. Kunci pintu terbuka dan ruangan luas dengan jendela hitam besar di belakang langsung menyambut mereka.
Ada kursi di tengah-tengah ruangan. Seseorang duduk di sana. Kepalanya bergerak, mendongak. Sedetik kemudian, dia bergerak-gerak, mulai memberontak. "Hentikan! Aku sudah minta maaf! Kumohon jangan sakiti aku lagi!" Gadis itu langsung berteriak ketakutan.
Jeffry langsung dibuat lemas. Ia berusaha untuk tetap berdiri.
Suara itu adalah suara Nia. Kini lebih serak daripada sebelumnya. Gadis yang duduk di kursi di tengah-tengah ruangan itu adalah orang yang sampai sekarang masih dicari keberadaannya. Sekarang, Jeffry bertemu dengannya. Itu adalah hal yang bagus!
Andi tiba-tiba menyodorkan sebuah tongkat besi berbentuk tabung dengan diameter sekitar tiga sentimeter. "Pukul dia sampai pingsan." Hal itu langsung membuat Jeffry kaget.
"Kenapa sekarang?"
"Kau tidak mau?" Tersirat nada ancaman. Jeffry baru sadar dia sendirian. Anggota G.A.N.J.A. ada tiga di sekitarnya. Mereka bisa menyiksanya jika ia tak memenuhi perintah Andi.
Namun, memukul seorang gadis pakai besi, Jeffry tak mampu melakukannya, terlebih itu adalah Nia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top