26. Marsya Kembali

Angin sepoi mulai bertiup saat tiga pria itu keluar dari kediaman Albert. Langit menggelap sementara matahari semakin condong ke barat. Jeffry, Aldi, dan Wio memutuskan pamit untuk pulang ke tempatnya masing-masing.

"Aldi, aktifkan ponselmu malam ini. Jika ada sesuatu yang penting, aku akan meneleponmu secepatnya." Albert bersandar di tiang pintu. Aldi mengangguk sebagai respons.

Jeffry memperingatkan Wio. "Hanya kau dan Aldi yang tersisa. Jaga dirimu. Aldi sudah punya istri, dia pasti akan menemani istrinya."

"Kau tidak usah khawatir, Jeffry." Wio menatap yakin. Pandangan itu membuat Jeffry menghela napas. Setelah apa yang terjadi dengan mereka, Wio masih bersikap tenang untuk kembali ke rumah.

Akhirnya, mereka berpisah arah. Wio dan Aldi pergi ke mobil, Jeffry ke arah berlawanan, berjalan kaki. Dia akan pulang lagi ke lapasnya.

Albert sudah beranjak meninggalkan pintu. Phoska menatap ke perbukitan di sekitaran perumahan. Ia memerhatikan langit jingga dengan siluet bukit di depannya. Setelah puas, fia mulai menutup pintu rumah.

"ALDI! PAK ALDI!"

Phoska tak jadi menutup pintu. Ia menoleh ke sumber suara.

"Siapa yang berteriak?" Albert mendekati Phoska dengan wajah cemas. Teriakan tadi terdengar seperti seseorang yang panik.

Phoska menyipitkan mata. Wanita itu terkesiap. "Marsya."

"Hah?" Albert refleks ke luar rumah, tak peduli menyenggol Phoska yang kemudian meringis. Ia setengah berlari untuk menghampiri Marsya yang berada di tengah-tengah halaman parkir. Orang-orang di perumahan kecil itu ikut mengintip dari jendela, beberapa keluar dari rumah karena penasaran.

Aldi terlihat ingin mendekati Marsya, tetapi pemuda itu langsung berteriak lagi. "JANGAN! JANGAN DEKATI AKU!" Ia tampak tersengal, seperti habis berlari. Pakaiannya sudah tak berlengan dan kotor seakan dia baru saja bersembunyi di semak belukar yang basah. Terlihat kulitnya lecet dan celana jeans-nya sobek di lutut.

Albert sudah berada di samping Aldi. Melihat penampilan Marsya dari dekat membuatnya menyimpulkan kalau anak itu baru saja kabur dari penyekapannya entah bagaimana.

Jeffry berusaha mendekati Marsya. Tangan pemuda itu dililit kawat berduri. Jeffry dibuat meringis dan berniat melepaskannya.

"Jangan!" Marsya langsung meneriakinya. "Jangan dekati aku! Siapapun jangan dekati aku!" katanya sambil menangis. Air mata mengucur dengan deras di wajahnya yang lebam. Jeffry dan orang-orang yang mendengar hanya mengernyit bingung.

"Kenapa?" tanya Wio. Diperkirakan, jarak yang Marsya jaga berkisar sekitar empat sampai lima meter. "Kenapa kau terlihat jaga jarak seperti ini?"

"Wi, Wio. Syukurlah kau ada di sini." Bukannya menjawab, Marsya malah terlihat lega melihat lelaki berambut panjang itu. "Nia. Dia .... Kau harus segera menyelamatkannya," katanya, berusaha mengambil napas.

"Tenang dulu. Ambil napas dulu." Albert mencoba menenangkannya dari kejauhan.

Wio dibuat terbelalak. Selain karena ia tidak mengenal lelaki itu, dia tiba-tiba membahas Nia. "Apa maksudmu harus segera diselamatkan?"

Marsya berteriak frustasi. "Kenapa kau tidak mengerti, Bodoh!"

"Dia tidak akan mengerti kalau kau tidak tenang," sahut Jeffry. Marsya segera menoleh ke arahnya. Setelah mengamati beberapa detik, matanya berubah, menyiratkan kemarahan. "Hei, kau, mengakulah," suruhnya.

Jeffry mengernyit lagi. "Apa yang harus kuakui?" tanyanya.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Jeffry." Marsya tahu namanya, padahal Jeffry tak pernah menyebutkan namanya pada lelaki itu. Bertemu pun tak pernah.

Semua orang menatap ke arah Jeffry. Jeffry menggeleng, terkekeh sejenak, sebelum kembali mengerutkan dahi. "Serius."

Aldi menoleh pada Marsya. Anak buahnya itu tampak hendak menyampaikan sesuatu. Tatapannya pada Jeffry berbeda. Marsya terlihat hendak membeberkan sesuatu mengenai dia, tetapi ia memilih untuk menunduk, bergumam. "Tidak. Jangan," bisiknya. Marsya tampak seperti orang yang putus asa. Ia menatap Wio dengan tatap dalam. Wio dibuat bingung lagi oleh tingkahnya.

Aldi mencerna maksud dari tatapannya, sedangkan Albert menoleh pada Jeffry. Ia menoleh bergantian kepada lelaki itu dan Marsya.

"Aku minta maaf," ucap Marsya setelah keheningan mengambil alih selama sepuluh detik. "Pak, aku minta maaf jika selama ini kerjaku tidak memuaskan."

Aldi langsung tahu bahwa perkataan itu tertuju padanya, jadi ia langsung menyahut. "Tidak ada yang tidak memuaskan darimu, Marsya. Kau selalu bekerja dengan baik." Aldi perlahan menghampirinya. Marsya tak terlihat melarangnya lagi. Ia menghela napas dan cepat-cepat mendekati anak buahnya.

"Jangan!"

Semua mata tertuju ke sumber suara. Phoska terbelalak setelah memperhatikan sesuatu di atas perbukitan. Dia tampak gemetar, ia berusaha menyampaikan sesuatu--alasan kenapa dia melarang Aldi untuk mendekati Marsya.

Saat Aldi sedang menoleh kepadanya, itu adalah momen yang tepat bagi seorang penembak misterius di atas bukit. Dia langsung mengatur titik darat pelurunya selama Aldi tak berkutik.

"Menembak di belakang kepala adalah hal yang bagus," pikir si penembak. Aldi akan dipastikan tewas. Setelah pria itu mati di tangannya, tembakan selanjutnya akan dilayangkan kepada Marsya. Dengan begitu, tim Aldi, para pengkhianat G.A.N.J.A. dinyatakan gugur hari itu.

Dor!

Ledakan peluru terdengar. Aldi langsung menoleh ke sumber suara. Baru saja menengok bukit, Marsya mendorongnya. Ia menabrakkan kepalanya ke tubuh pria itu. Posisi bungkuknya membuat badan selamat dari peluru, dan Aldi terjatuh ke depan, mencium aspal parkiran.

Semua orang terbelalak. Wio langsung berlindung di samping mobil, Albert melihat ke bukit dengan posisi setengah jongkok, Jeffry menatap ke arah yang sama. Ada seseorang di sana yang samar-samar tengah membidik Aldi.

Dor!

Kali ini, peluru mengenai targetnya. Marsya terhuyung menerima tembakan di punggung. Ia berusaha untuk tetap berdiri, berusaha mengatakan pada Aldi yang terduduk dan melebarkan mata. Mulutnya sudah akan mengeluarkan suara sebelum peluru kembali melesat dan kini menembus kepala. Marsya terdiam sejenak sebelum tubuhnya ambruk di samping Aldi.

Aldi kaget. Darahnya seakan berhenti. Wio, Albert, Jeffry, dan Phoska terdiam dengan mata nyaris keluar dari tempatnya.

Bau anyir darah langsung deras keluar dari lubang kepala Marsya. Aldi berusaha menghampirinya. Namun, Albert meraih lengan bajunya, menahannya. Pria itu takut penembak misterius itu masih di atas bukit dan menjadikan Marsya pancingan agar dia bisa menembak Aldi juga.

"Lepaskan!" Meskipun sudah ditahan, Aldi berhasil melepaskan diri dengan cara memberontak. Ia menghampiri anak buahnya, terduduk di depannya, meraih badannya. Albert sudah berkeringat dingin takut pria itu ditembak. Namun, tak terdengar ledakan peluru, penembak misterius itu pun sudah bangkit seakan tugasnya sudah selesai.

Aldi mengangkat kepala Marsya. Kehidupan di matanya sudah hilang. Darah mengalir deras dari luka di kepala dan badannya. Tubuh lelaki itu berangsur pucat. Dia pergi. Kali ini benar-benar pergi.

Aldi diam. Ia merasakan darah Marsya tergenang di sekitarnya. Dia tak peduli dengan bau besi yang kuat yang menguar, mengisi penghidu. Bibir Aldi gemetar, ia menggeleng. Satu-satunya rekannya yang tersisa, rekan yang kemarin siang diberitakan digagahi oleh lelaki bejat di luar sana, rekan yang ia tunggu kepulangannya dengan selamat, sudah berakhir di tangan entah siapa.

Pria itu menunduk. Tak menunggu lama baginya untuk terisak.

Tak ada tembakan lagi, artinya suasana sudah membaik. Albert langsung menelepon ambulans, memberitahu ada yang terbunuh di alamat yang kemudian ia sebutkan. Ambulans dan kepolisian pun datang. Paramedis membawa jasad Marsya untuk diautopsi, kepolisian menyelidiki halaman parkir tempat lelaki itu ditembak sampai mati.

Saking tidak kuatnya menggerakkan diri, Aldi meminta untuk diseret dan disandarkan ke mobilnya. Ia gemetar. Mata sembabnya menyiratkan frustasi. Wio dan Phoska berusaha menenangkannya meskipun itu tidak akan berhasil dalam waktu dekat.

Albert mendekati Jeffry. Tanpa basa-basi, ia langsung bertanya, "Apa maksud Marsya?"

Jeffry segera menolah dan mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"

"Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan," sahut Albert. Ia mulai merasa ada yang tidak beres pada lelaki itu.

"Aku serius!" Jeffry menatap bingung. "Aku tidak mengerti tentang apa yang lelaki itu katakan."

Albert memejamkan mata. "Jeffry, tatapan Marsya kepadamu tidak sama seperti yang lain--tatapan bahwa ia tahu sesuatu yang kami tidak tahu tentang dirimu," ujarnya. "Katakan padaku sebelum aku memaksamu dengan cara keras."

"Aku bersumpah atas nama Tuhan, Albert, aku tidak tahu kenapa dia menatapku seperti itu." Jeffry tetap di pendiriannya. "Aku tidak melakukan apa-apa. Aku serius!"

Albert diam. Ia mengatap lelaki itu lekat-lekat. Dia berusaha membaca bahasa tubuhnya. Albert berusaha menyakinkan diri bahwa tatapan Marsya tadi hanya main-main, tetapi kemudian ia merasa itu sebuah isyarat yang memang ingin Marsya katakan. Marsya tahu sesuatu tentang Jeffry.

"Albert!" panggil Phoska. "Ke sini! Aldi mau bicara padamu," suruh wanita itu.

Albert menoleh sekilas, lalu kembali menatap Jeffry. Ia pun beranjak, mendekati Aldi.

Aldi langsung meraih tangannya, memintanya agar dilindungi. "Seseorang mengincarku. Amankan aku, tolong." Albert segera menyanggupi dan mengeluarkan ponselnya, menelepon beberapa rekannya untuk melakukan penjagaan kepada Aldi setelah dia pulang nanti.

Tanpa dipinta pun, Albert memang akan mengirim beberapa orang lain untuk menjaga Aldi dan Wio. Dia sempat menawarkan agar lelaki itu bermalam saja di rumahnya untuk beberapa hari. Namun, Wio tak mau. Dia memilih untuk tetap bersama Aldi terlebih setelah kejadian hari ini.

Albert mengabulkan keinginannya. Aldi juga butuh seseorang untuk menjaganya.

Sore itu berakhir dengan kejadian menggenaskan yang terjadi di depan mata semua orang. Kepolisian sudah memeriksa para saksi dan mendengarkan kisah mereka, termasuk Aldi, Wio, dan yang lainnya. Phoska langsung memaparkan bahwa ia melihat ada seseorang di atas bukit di dekat perumahan. Kepolisian langsung ke tempat yang ditunjuk dan menyelidikinya. Mereka menemukan bekas ban mobil di pinggir jalan. Artinya, ada seseorang yang sudah berhenti di sana.

Semua orang kemudian kembali ke kediamannya. Kepolisian masih menyelidiki TKP. Mereka berjanji akan segera memaparkan apapun yang mereka temukan kepada Albert dan Aldi selaku saksi utama.

Beberapa jam kemudian, ada kabar dari tim forensik yang memeriksa Marsya. Mereka memaparkan bahwa lelaki itu sudah menerima kekerasan seksual dua hari kemarin. Hal ini selaras dengan video yang dikirimkan kepada Albert.

Mereka menemukan bahwa lelaki itu sudah dipukul berkali-kali dalam kurun waktu seminggu sebelum penembakan itu terjadi. Ada luka di punggungnya, dipercaya merupakan luka dari rokok yang dibakar, kemudian disudut. Tim forensik menyimpulkan bahwa Marsya sudah disiksa oleh sekelompok orang.

Mereka juga menemukan satu hal yang kemudian diberikan kepada kepolisian. Sebuah surat. Surat itu ditulis untuk Wio.

Kepolisian menanyakan Wio kepada Albert, Albert langsung menelepon lelaki itu, mengabari bahwa kepolisian mencarinya. Wio langsung datang memenuhi panggilan tersebut. Sekali lagi, lelaki itu diinterogasi, tetapi oleh kepolisian Tenggarong. Mereka menunjukkan lelaki itu surat yang ditemukan tim forensik.

Wio dipersilakan membacanya. Dia membuka lipatan suratnya, membacanya dalam hati. Lama-kelamaan, ekspresi lelaki itu berubah. Ia tampak terbelalak. Kepolisian langsung menanyakan apa maksud dari surat itu. Wio yang baru habis membaca, menjawab lirih. "Nia."

Surat itu berhubungan dengan Nia, orang yang kini masih dicari. Maka, kepolisian Tenggarong pun segera mengabari kepolisian Samarinda bahwa mereka menemukan satu petunjuk kecil tentang kasus Nia. Sejak hari itu, mereka pun resmi bekerjasama.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top