22. Bubar

"Kudengar Wio dipanggil lagi oleh kepolisian Balikpapan."

Menurut Wio, semuanya mulai jadi menyeramkan. Fariz akhir-akhir ini tiba-tiba akrab dengannya seakan mereka sudah berteman sekian lama. Fariz menatap Wio. "Yakin mau membawanya lagi untuk menemui teman Anda, Pak?"

"Benarkah?" Mereka sedang menikmati sarapan, tidak lengkap. Beberapa sudah makan terlebih dahulu dan memutuskan untuk keluar, mencari udara segar. "Kenapa aku tidak mendapat laporannya?" tanya Aldi, memandang heran.

"Sudah terkirim ke e-mail. Coba cek lagi."

Aldi pun mengambil ponselnya dan mengecek e-mail. Benar, sudah terkirim satu laporan dari kepolisian Balikpapan kalau Wio dipanggil lagi untuk memaparkan keterangan saksi. Namun, Aldi bingung keterangan saksi mana lagi yang harus Wio bicarakan.

"Aku melaporkan kegiatan Wio setiap harinya dari jam 12 malam sampai ke jam 12 malamnya lagi. Jika mereka mau meminta keterangan Wio ngapain saja selama bersamaku, kurasa ini tidak etis," sahut Aldi. "Keterangan: meminta kesaksian Wio mengenai kasus Nia. Ini tidak spesifik, malah terlihat mencurigakan." Aldi menatap Fariz. "Kau tahu ini dari mana, Fariz?"

Fariz diam sejenak. Dia tampak meneguk ludah.

"Bukankah Bapak sendiri yang menginginkan kami semua untuk mengakses akun e-mail itu?" Dia balik bertanya. Wio dibuat melongo. Perasaannya tidak ada orang yang akan membiarkan akun e-mail-nya digunakan oleh banyak orang.

Aldi pun dibuat diam. Dia membuang napas. "Apakah itu benar, Rado?" tanyanya pada rekannya yang lain yang juga bersama mereka, yang kulitnya lebih gelap.

Rado cuma mengangguk, dia membenarkan apa yang Fariz katakan. "Dia benar, Pak."

"Wow." Aldi terkekeh sejenak. "Pasalnya aku meragukan laporan ini."

Suasana ruang makan jadi berubah. Aldi menatap selidik Fariz, Fariz melempar tatap tak suka. Sepertinya Aldi mencurigainya dan Fariz tak terima dituduh.

Wio memperhatikan mereka berdua. Mereka saling pandang lama sekali, sekitar semenit. Itu pun karena Rado memutuskan untuk berdeham agar tatapan mereka berhenti.

"Aku akan telepon sendiri kepolisian Samarinda untuk mengonfirmasi surat ini." Aldi lantas meletakkan alat makannya. Dia berdiri dan meraih ponselnya, mengetik pesan, lalu menelepon kala mendapat balasan dari seseorang.

"Um, mohon maaf, Pak Aldi. Kami belum mengirim perintah interogasi apapun kepada Wio. Kesaksiannya tempo hari masih cukup untuk dijadikan bahan bukti. Kami mungkin akan memanggilnya dua hari lagi, cuma buat memastikan kalau kesaksiannya tidak berubah," jawab seseorang di seberang telepon. Aldi pun dibuat terbelalak olehnya.

"Jadi, surat yang dikirim ke saya itu—"

Klik!

Retina mata mengecil, Aldi menoleh ke sumber suara. Revolver tengah tertuju padanya, Fariz yang memegangnya. Wio di belakang, berusaha melepaskan diri dari dekapan Rado. Mulutnya disekap  kuat sekali sampai-sampai berteriak pun tak dapat.

"Pak?" panggil penelepon. Aldi meneguk ludah. Ia bingung apakah mau meminta tolong ke orang yang dia telepon untuk mencarikan bantuan, atau tutup saja teleponnya dan melawan sendirian. Pasalnya, tangan kosong melawan senjata itu tidak adil.

"Kau curang ya, Fariz." Aldi tersenyum, berusaha tetap terlihat tenang. Dia bisa bayangkan penelepon mengernyit akan perkataannya yang terdengar. "Siapa yang akan menyangka kau akan melakukan ini."

Fariz membalas senyumnya. "Lagipula, aku lelah menjadi anak buahmu."

"Aku tahu kau tidak hanya sekedar lelah." Aldi pun mengubah tatapannya. Tatap marah penuh kebencian. Giginya bergemetak.

"Pak? Ya sudah saya tutup saja, sepertinya sengaja dia tinggal. Huft!" Penelepon pun memutuskan untuk mengakhiri telepon secara sepihak dan Aldi pun meletakkan ponselnya di atas laci yang dekat dengannya.

"Kau menang, Kawan." Aldi mengangkat tangannya, menyerahkan diri. "Tapi, aku tidak semenyerah itu saat kalah." Dia berbohong. Aldi dengan cekatan meraih revolver di tangan Fariz dan balik mengarahkannya. Tak disangka, Fariz mengeluarkan sebilah pisau lipat dan melesatkan ke wajah Aldi. Aldi gegabah, pisau itu pun menyayat pipinya.

Dor!

Aldi menembak dengan terburu-buru, sehingga tembakannya meleset dan Fariz maju untuk menikamnya. Aldi cepat-cepat melemparkan diri ke kiri untuk menghindari tikamannya.

"Kau tidak akan bisa mengetahui informasi apapun mengenai kasus Nia, Aldi!" teriak Fariz. Aldi dibuat terbelalak. Ia benar-benar tidak menyangka ada pengkhianat di kelompoknya. "Lagipula, tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya meskipun kalian tahu lokasinya."

"Kau bajingan, Fariz!" Aldi berlari dan menyerudukkan diri ke lelaki itu. Fariz berhasil jatuh, Aldi berusaha melayangkan pukulan ke wajahnya. Namun, dia lengah kalau Fariz masih memegang pisau lipatnya.

Alhasil, benda itu pun mengenai pinggangnya. Fariz berhasil menancapkannya. Aldi terkesiap, Fariz tersenyum penuh kemenangan. "Kena kau!"

Dor!

Sebuah peluru melesat ke kaki Fariz, membuat lelaki itu berteriak kesakitan dan menjatuhkan Aldi dari atasnya. Aldi memegangi pinggangnya, pisau lipat masih tertusuk di sana. Ia meringis berusaha menahan sakit.

Fariz memegangi kakinya yang mulai mengeluarkan darah. Ia menatap ke arah asal peluru. Dia menatap tak percaya Wio dengan revolver di tangannya. Rado sudah terbaring kesakitan di bawahnya dan dia menginjaknya.

"Sejak kapan kau—"

Dor!

Fariz terkesiap.

"Kau berkhianat kepada orang yang benar," sindir Wio, menodongkan senjata, membuat Fariz bungkam tak percaya. "Kau kira aku selemah itu? Tidak, Kawan."

Dia kembali menginjak Rado. Rado berteriak kesakitan.

"Menyerahlah, Fariz!" Fariz menoleh pada Aldi yang berusaha menahan kesakitannya. Dia bangkit dan menodongkan senjata padanya. "Aku tidak akan melaporkanmu, tapi hentikan semua ini!"

Fariz menggeram. Ia terjebak. Dia tak mau menyerah.

"Menyerah!" Wio memaksanya.

"Ndi usah teriak-teriak, Anjing." Aldi melotot garang, kemudian terkekeh. "Garang juga," pujinya. Wio tak peduli.

Fariz membuang napas. Ia pun membaringkan dirinya ke lantai marmer. "Kalian menang," katanya, lelah. Aldi menyunggingkan senyum, Wio menurunkan senjatanya.

Setelah itu, Wio membantu Aldi untuk bangkit. Pisau masih menancap, tapi Aldi mengaku dia baik-baik saja. Mereka berdua membangkitkan Fariz, mendudukkannya ke atas kursi makan, mengikatnya dengan dua handuk yang disambung dengan cara diikat. Wio menepuk-nepuk pipi Rado, membangunkannya yang berusaha pingsan karena kesakitan, tapi tak bisa. "Nah, revolver. Maaf, dua peluruku kupakai." Wio pun melempar revolver itu pada empunya.

Aldi mengobati dirinya sendiri sebelum menginterogasi Fariz kenapa mereka melakukan ini. Sekaligus memastikan ada berapa banyak orang yang berkhianat di kelompok.

***

Aldi memutuskan untuk menyuruh rekan-rekannya yang lain pulang. Dia mengumpulkan mereka dalam ruang kerjanya. Aldi menatap mereka, satu-persatu, dengan tatap serius.

"Katakan kepadaku, siapa lagi yang melenceng selain Rado dan Fariz?" Rekan-rekannya baru menyadari bahwa dua orang itu tak ada di antara mereka. Mereka baru saja hendak menanyakan itu, sebelum Aldi langsung menyambung perkataanya. "Rado dan Fariz sudah aku keluarkan dari kelompok. Mereka sudah melakukan yang tidak-tidak."

Rekan-rekannya yang berdiri di depannya pun, semuanya meneguk ludah.

"Mengakulah. Fariz sudah memberitahuku siapa saja di antara kalian yang berkhianat. Mengaku atau aku yang membuat kalian mengaku." Terbersit ancaman. Orang-orang di depannya semakin dibuat ketakutan.

"Jangan bilang kalian semuanya." Aldi pura-pura melebarkan mata. Wio berdecak, memutar bola matanya. Lelaki itu terkesan mendramatisir keadaan.

Seseorang menangkat tangan. Aldi mempersilakannya berbicara. "Pak, jujur saja, kami semua tahu apa yang direncanakan Fariz dan Rado. Kami berusaha untuk tidak mengikuti perintahnya untuk menjerumuskan Bapak dan Wio, tapi sepertinya kami gagal," katanya.

"Kalau kalian tahu, kenapa tidak bilang kepadaku? Aku punya backing-an kepolisian. Aku bisa menjamin keamanan kalian semua," sahut Aldi, tanpa pikir panjang. Mukanya sudah mau marah lagi, tapi ia tahan. Aldi menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi sambil memijit pelipis. "Persetan kalian semua. Kalian membohongiku rupanya."

Rekan-rekan Aldi hanya menunduk, merasa bersalah, atau cuma pura-pura bersalah--pemikiran Wio.

"Pergi!" Satu kata terucap. "Pergi sebelum aku bangkit dari dudukku," perintah Aldi, menatap tajam rekan-rekannya.

Mereka semua terbelalak. Mereka menggeleng-geleng. "Pak, kami janji tidak akan mengulangi—"

"Ah, hah!" Aldi memotong perkataannya. "Sekali berkhianat tetaplah pengkhianat. Pergi! Aku bisa mencari yang lain."

Sebagian rekannya memasang wajah tak mau, sisanya bermimik tak suka. "Kapan lagi Anda mendapatkan rekan yang loyal pada Anda?"

"Kau kira rekanku cuma kalian?" Mata Wio langsung melebar mendengar perkataan Aldi. Pria itu punya anak buah berapa banyak lagi? "Dan rekan-rekan yang kausebut loyal itu tidak terbukti hari ini, termasuk kau." Seisi ruangan jadi terdiam.

Orang-orang dengan mimik tak suka itu langsung berbalik dan keluar dari ruangan. Yang lain dengan berat hati menyusulnya. Satu rekan terakhir yang tertinggal menghampiri Aldi yang memilih menatap lantai marmer daripada kepergian rekan-rekannya.

Dia memberikan sebuah flashdisk. Aldi melihatnya, tapi tak mau meraihnya. Jadi, Wio-lah yang menyambutnya. "Apa ini?"

"Semua yang kami temukan di kasus ini. Mungkin berguna untuk Pak Aldi dan rekan barunya," jawab pemberi flashdisk itu, sedikit satir. Wio mengangguk dengan sedikit tersinggung. Ia mengucapkan terima kasih, mewakilkan Aldi. Rekannya pamit pergi dengan membungkukkan badan.

"Untuk apa kauambil itu?" tanya Aldi.

Wio menoleh padanya, kemudian memandang flashdisk putih di tangannya. "Siapa tahu perkataannya benar."

Aldi membuang napas. "Jika mereka merupakan pembohong yang handal, perkataan mereka cuma bualan."

"Aku mementingkan semua hal, Pak," sahut Wio. "Setidaknya untuk hal kecil yang sepertinya kauanggap tak penting ini." Dia menunjukkan flashdisk-nya.

Aldi menghela napas. "Terserahlah."

Pria itu bangkit dari duduknya dan keluar dari ruang kerjanya, meninggalkan Wio yang menatap lekat-lekat benda kecil di tangannya. Dia masih meragukan perkataan rekan Aldi yang memberinya itu. Namun, apa salahnya mencoba untuk percaya lagi? Wio pun mengantonginya.

Pada siang itu, rumah menjadi sepi. Rekan-rekan Aldi yang jumlahnya tujuh orang itu sudah pergi meninggalkan rumah beserta barang-barangnya. Hanya ada Wio dan Aldi di rumah itu untuk malam ini.

"Kau tidak ketakutan jika kutinggal sendirian di rumah, Wio?" tanya Aldi, bersiap untuk ke rumahnya, menemani Arin lagi.

Wio mengangguk, menyakinkan. "Aku bukan penakut."

Maka, malam itu adalah malam pertama Wio sendirian di rumah. Malam itu pula dia mengecek flashdisk di komputer yang sudah tak terpakai.

Dia mengecek file yang sudah terkumpul. Sedikit kaget karena jumlahnya puluhan. Sepertinya banyak bukti yang disembunyikan. Sebagian sudah diketahui Albert dan Phoska--mengenai ke mana Marsya menghilang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top