21. Pengkhianat di Tim Kawan

Mobil itu akhirnya berhenti di depan rumah. Wio turun, Aldi menurunkan jendela mobil. "Hati-hati di rumah. Aku sama Arin dulu." Dia mengedip sambil tersenyum.

Wio mengangguk. "Hati-hati," ucapnya.

Aldi menaikkan kaca mobil dan mulai melaju memecah jalan. Wio berbalik dan masuk ke rumah. Dia melihat rekan-rekan Aldi di dalam sana, beraktivitas seperti biasanya.

"Bagaimana?" Salah seorang dari mereka, seumuran Wio, bertanya. "Apa kalian mendapatkan informasi penting dari temannya Pak Aldi?" Namanya Fariz. Sepertinya rekan Aldi yang paling muda dan paling kecil.

Wio diam sejenak. Pertanyaan itu membuatnya memikirkan imbauan Jeffry sebelum mereka semua pulang dari rumah Albert.

"Apapun pertanyaan mengenai pertemuanmu dengan Albert hari ini, jangan dijawab!" suruh Jeffry.

Wio saat itu cuma mengernyit. "Kenapa?"

Jeffry menepuk jidatnya. "Kita sedang saling mencurigai saat ini, kau tahu?" tanyanya, balik. "Albert mencurigai Aldi dan rekan-rekannya. Phoska malah mencurigaimu." Wio terbelalak. "Kau tidak tahu itu?"

Mereka tengah berada di dapur. Suasana sepi, pembantu Albert sedang keluar untuk membeli bahan makanan. Mereka hanya akan dilihat oleh kamera CCTV yang terpasang di pojok atas ruangan.

"Bu Phoska mencurigaiku untuk apa?" tanya Wio. "Aku tidak melakukan sesuatu yang salah."

"Cuma satu hal yang bisa aku perkirakan," jawab Jeffry. "Phoska merasa kau tidak memaparkan kesaksian yang sebenarnya."

Mata dibuat semakin melebar. Dia kemudian menggeram tak suka. "Cih, wanita itu. Aku sudah benar-benar mengatakan apa yang sudah terjadi hari itu."

Jeffry cuma mengendikkan bahu. "Sudah kubilang kita saling mencurigai saat ini. Meskipun kau membela bahwa kesaksianmu benar, Phoska tidak akan secepat itu untuk menyingkirkan keraguannya."

Wio memalingkan kepala. Dia mencibir Phoska, setengah berbisik.

"Dan aku mencurigai Aldi," kata Jeffry. "Apa kau memiliki kecurigaan yang sama denganku, Wio?"

Wio berpikir sejenak, lalu menggeleng.

Jeffry membuang napas. "Jaga dirimu kalau begitu." Dia menepuk-nepuk bahu Wio, kemudian berlalu untuk masuk terlebih dahulu ke dalam ruang kerja Albert. Wio berdiri di dapur untuk beberapa menit, menyandarkan diri pada meja kompor. Ia mencerna semuanya. Dia membuang napas karena semua itu memusingkannya.

"Wio?" panggil Fariz. Wio pun tersadar. Dia jadi merenung karena pertanyaannya.

Wio langsung bersikap tenang seperti biasanya. "Sayang sekali, hanya Pak Aldi yang tahu itu. Aku tidak ikut dengannya untuk bertemu temannya. Aku menunggu di luar rumah sambil merokok." Dia menunjukkan kotak rokoknya.

Fariz memasang wajah sedih sesaat sebelum tersenyum. "Baiklah. Aku akan tanyakan sendiri pada Pak Aldi nanti," ujarnya, manyun, lalu pamit pergi. Wio tersenyum sejenak padanya sebelum mendatarkan wajah. Dia menyipitkan mata. Sepertinya Fariz-lah orang yang dimaksud Jeffry.

Jeffry beberapa jam yang lalu bilang, "Orang pertama yang menanyakan tentang pertemuan Aldi dan Albert, bisa jadi adalah anggota Aldi yang berkhianat. Biasanya, yang paling muda, atau yang paling ramah di antara lainnya."

Wio saat itu mengerutkan dahi. "Bagaimana kau tahu itu? Kau saja belum pernah bertemu dengannya."

"Ya, aku memang belum pernah bertemu dengannya, tapi aku tahu cara berpikir seperti kriminal." Jeffry menyeringai. "Dan seorang pengkhianat akan berperilaku baik sekali, memanipulasi rekan-rekannya dengan itu. Kemudian, jika dia sudah mendapatkan apa yang ingin ia dapatkan, dia akan membongkar siapa dirinya pada semuanya."

Wio mendengarkan dengan seksama.

"Dengarkan aku, Wio. Aku berkata begini agar kau tahu bagaimana membedakan orang jahat dan orang baik. Kau harus tahu siapa mereka sejak awal bertemu," sambung Jeffry.

"Rasanya seperti suudzan," sahut Wio, pelan.

"Ada baiknya suudzan daripada kau menyesal di kemudian hari," sahut lawan bicaranya. "Jangan berharap banyak, terlebih pada Aldi. Kau dengar sendiri 'kan bahwa rekan-rekannya malah tidak menemukan sesuatu yang penting? Malah A.R.A.K. yang menemukannya."

Wio mengangguk-angguk. "Kau benar."

Percakapan itulah yang membayangi pikiran Wio. Selama bersama rekan-rekan Aldi, Fariz-lah yang ramah di antara semuanya. Dia supel, suka menyapa, dan bercerita mengenai apa yang ia temukan hari itu. Saat Wio tak dapat tidur, Fariz yang bangun dan menemaninya di ruang tamu, membicarakan beberapa hal sebelum kantuk menyerang.

Secara bersamaan, Wio menyangkal. Siapa tahu Fariz malah dikambinghitamkan. Fariz bertanya begitu untuk memberitahu seseorang di kelompok Aldi--si pengkhianat yang sebenarnya. Lelaki muda itu cuma disuruh mencari informasi.

Wio menggeleng. Dia kembali membuang napas.

Lelaki itu memutuskan untuk mandi setelah melihat jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Setelah mandi, Wio melihat ponselnya. Lagi-lagi pesan dari Ibu Nia yang dengan setia mengabarinya tentang perkembangan kasus Nia oleh kepolisian Balikpapan.

Wio membaca pesan itu, sebelum melebarkan mata. Tadinya berbaring santai di ranjang, kembali duduk dengan muka kaget. Saking kagetnya, lelaki itu dibuat pucat pasi.

Ibu Nia mengabari apa yang ditemukan kepolisian Balikpapan saat sedang memeriksa TKP tempat Nia diketahui diculik. Mereka menemukan hal yang mengejutkan.

Saksi hari itu, yang ada di rekaman suara yang Aldi pinta dari temannya di kepolisian, dikabarkan meninggal dunia. Orang-orang yang mengenalnya bilang kalau dia meninggal karena serangan jantung. Namun, dokter yang memeriksa bilang bahwa orang tua itu tak memiliki riwayat penyakit jantung.

"Kepolisian menganggap pengakuan orang-orang itu adalah palsu. Soalnya medis mengatakan bahwa saksi di masjid itu tidak punya penyakit jantung atau sejenisnya. Mereka rasa ada unsur ancaman lagi," kata ibu Nia lewat ketikan.

Wio mulai berpikir. Apakah Ruslan dan Hadi kembali melancarkan ancaman? Sejak kapan mereka beraksi lagi?

Wio harus segera memberitahu Aldi tentang ini. Ia segera meneruskan pesan itu ke nomor Aldi. Dia harap bakal dibaca secepatnya, jadi Aldi tahu tindakan apa yang diambil untuk melanjutkan penyelidikan.

Namun, baru saja akan meneruskan, jempol Wio berhenti di atas layar ponsel. Dia kembali memikirkan satu hal.

Rekan-rekan Aldi, dan Aldi sendiri merupakan mata-mata kepolisian sekaligus peretas. Jika Jeffry dan Albert bilang ada pengkhianat di kelompoknya, itu berarti mereka bisa saja meretas ponsel Aldi untuk mengetahui informasi apa yang sudah dia dapatkan.

Informasi ini adalah informasi penting. Wio memutuskan untuk membicarakan hal itu secara langsung setelah Aldi pulang lagi ke markas.

Jaga-jaga, Wio mengarsipkan pesan tersebut dan mengubah sandi ponselnya. Rekan-rekan Aldi semuanya tengah satu rumah dengannya. Mereka pasti akan mengambil ponselnya jika tak dapat menemukan informasi di ponsel Aldi.

Di waktu bersamaan, ibu Nia sedang menangani ponselnya yang mati, tak dapat dihidupkan. Entah apa yang terjadi, tetapi Pira--adik Nia--merasa ada yang tidak beres pada ponsel ibunya. Ponselnya akhirnya hidup setelah beberapa waktu. Pira tak sengaja mengecek galeri. Dia menemukan sebuah foto yang ibunya sendiri tidak tahu kapan dijepret.

Itu adalah foto Nia di sebuah koran lokal. Fotonya saat masih berambut panjang, memakai pakaian penjara. Foto yang dipublikasikan oleh kepolisian Tenggarong atas kasus yang menjeratnya tiga tahun yang lalu: pengedaran ganja.

Kasus itu adalah kasus yang cukup menggegerkan, terlebih untuk keluarga Nia. Orang tua Nia dicemooh karena telah membesarkan seorang pengedar di keluarganya. Pira diejek di sekolah karena kakaknya seorang pengedar. Padahal, itu kasus palsu.

Syukurlah, kasus itu menemukan titik terang dan Nia, Wio, Wursi, dan Lana yang dicap sebagai pelaku pengedaran ganja itu resmi ditetapkan sebagai kambing hitam. Mereka tidak bersalah atas apapun. Andi-lah yang bersalah, Jeffry-lah yang mengatakan kebenarannya.

Ibu Nia tidak pernah memotret koran, jadi dia menggeleng saat Pira bertanya, "Ibu kapan memotret Kak Nia dengan pakaian penjaranya? Di koran lagi."

Saat itulah Pira mulai merasa ada yang tidak beres. Seseorang sudah memasukkan foto Nia sebagai tahanan itu ke galeri ponsel saat ponselnya mati. Bagaimana caranya, Pira tak bisa menjawab.

Sepertinya siapapun itu, dia ingin mengingatkan Pira dan ibunya bahwa Nia jadi tahanan karena berurusan dengan pengedar narkotika. Pira rasa, Nia kembali berurusan dengan mereka.

***

"Dek Pira, seberapa penasaranpun kamu, jangan coba-coba menyelidiki narkotika ya," pesan Nia di suatu malam saat Pira akhirnya tidur bersama kakaknya setelah sekian lama.

Pira mendongak, mengernyit. "Kenapa?"

"Resikonya besar," jawab Nia. "Nanti jadi Kakak kayak tiga tahun lalu. Dipenjara." Gadis itu terkekeh sejenak.

Pira pun mengangguk-angguk. "Lagipula, narkotika tidak menarik. Lebih baik menyelidiki cybercrime," komentarnya.

Sebagai anggapan, Nia mengelus-elus kepala adiknya sampai adiknya tak sadar menutup mata, tertidur. Nia tersenyum melihatnya terlelap. Ia memutuskan untuk tidur sambil memeluknya.

***

Aldi kembali ke markas keesokan paginya. Baru saja masuk rumah, rekan-rekannya langsung meneriakinya. "Pak, kami menemukan hal mengejutkan!" Aldi cepat-cepat menghampiri mereka.

Rekan-rekan Aldi mendapatkan informasi bahwa saksi yang kemarin mereka dengarkan rekaman suaranya, diberitahukan sudah meninggal dunia karena serangan jantung. Aldi kaget.

"Ini bukan intinya," kata rekannya yang mengutak-atik komputer. "Pihak medis mengatakan bahwa dia tak memiliki riwayat penyakit jantung. Dia tidak meninggal karena serangan jantung."

"Anda tahu, Pak?" Fariz mengambil alih perbincangan. "Kepolisian Balikpapan bilang bahwa mereka rasa ini adalah ancaman, ancaman mengenai kenapa saksi itu meninggal. Bukan karena serangan jantung, 'kan? Artinya karena hal yang lain yang disembunyikan."

Aldi tampak memikirkan perkataannya.

"Apa dua pengancam tempo hari kembali ke TKP dan membunuh si saksi atas perintah Andi?" gumamnya, mengelus dagu. Rekan-rekannya diam. Mereka tidak bisa menjawabnya.

"Hanya tersisa satu saksi lagi," kata Fariz. "Bapak yang diberitahu saksi pertama."

Ada dua saksi, saksi pertama sempat memberitahu kepada orang lain bahwa dua orang yang mengancam mereka di warung makan sudah melakukan sesuatu yang tidak baik pada seorang gadis. Dia juga memberitahu bahwa dua orang itu memaksa mereka untuk diam.

"Apa kabar bapak itu sekarang?" tanya Aldi.

"Masih baik-baik saja." Yang tadi mengutak-atik komputer, memeriksa CCTV rumah orang yang dimaksud. Si Bapak masih baik-baik saja di rumah, tengah sarapan dengan istri dan dua anak perempuannya di ruang makan.

"Awasi dia! Di rumah, di kantor, atau di manapun. Lacak keberadaannya!" suruh Aldi. "Bukan hal sulit untuk dua pengancam itu memburu si Bapak dan melakukan sesuatu yang jahat."

Rekan-rekan Aldi mengangguk.

Aldi kemudian menoleh pada Wio. Dia mengernyit melihat Wio pucat melihat ke arah Fariz.

Wio kaget setelah bertanya pada Fariz. "Kapan kematian saksi itu?" Fariz menjawab, "Tadi pagi." Wio terdiam sampai pucat karena ibu Nia mengabarkan bahwa si saksi sudah meninggal sejak tadi malam. Apakah mereka kembali ketinggalan informasi?

Aldi segera menghampiri Wio. Wio langsung menormalkan wajah kagetnya, berusaha membuat wajahnya tidak sepucat tadi. Aldi langsung mengajaknya untuk berbincang dua mata. Dia merasa bahwa Wio memiliki suatu informasi yang membuatnya terdiam setelah tahu si saksi meninggal.

Namun, respons Wio membuatnya bingung. Lelaki itu malah menggeleng tak mau. Dia memilih untuk ke luar dan duduk di kursi teras, menghisap rokok dengan muka gelisah. Aldi dibuat penasaran.

Wio mulai berpikir kalau Jeffry benar. Ada pengkhianat yang sedang bersamanya sekarang. Ia tak mau membicarakan apapun dengan Aldi mengingat dirinya masih di rumahnya, masih bersama rekan-rekannya. Wio akan membicarakan semuanya di tempat sepi, kalau bisa bersama Albert, Phoska, dan juga Jeffry.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top