2. Pertemuan

"Ih, sayang sekali Wursi sama Lana ndi bisa."

Nia dan Wio bercerita setelah selama kurang lebih enam bulan tidak berkomunikasi. Nia terdengar sedih mendengar dua temannya tidak bisa ikut Wio ke Tenggarong untuk menemuinya.

"Jadi, bagaimana? Tetap aku yang ke Tenggarong atau aku tunggu saja di Sentra?" tanya Wio, melalui telepon. "Aku tidak keberatan menunggumu ke sini, setidaknya selama itu kau tetap meneleponku."

Nia terdiam sejenak, lalu menyahut. "Aku mudik ke Sentra sepertinya nanti, habis wisuda. Itu pun kalau aku mudik. Siapa tahu aku langsung dapat penugasan oleh akademi. Penugasan itu tidak bisa memilih sendiri, dipilihkan oleh pihak sananya. Kurasa aku tidak bakal dapat penugasan ke Kalimantan Timur."

"Yah, jadi tidak bisa bertemu Wursi dan Lana dong." Wio jadi ikutan manyun.

Nia mengiakan.

Wio kemudian menyadari bahwa kemarin malam, Nia mengirim pesan padanya bahwa dia akan pulang hari ini. Sekarang, dia sudah di mana sampai bisa menelepon? "Kau di mana sekarang?"

"Bandara," jawab gadis itu. "Pesawatku akan lepas landas setengah jam lagi. Aku sengaja memilih jadwal malam biar pas datang, jalanan tidak ramai. Macet soalnya."

Wio mengangguk-angguk.

"Kau sedang apa? Apa tidak mengantuk meladeniku yang mengajakmu bicara sampai jam segini?" tanya Nia, merasa bersalah. Wio pasti sudah bekerja seharian, dia butuh istirahat, tetapi mereka bercerita sampai lupa waktu. Satu jam mereka habiskan untuk mengeluarkan pengalaman hidup.

"Tidak, malah senang." Wio tersenyum. "Kau pasti mengkhawatirkan pekerjaanku, 'kan? Kau merasa bersalah karena membuatku terjaga di waktu yang seharusnya aku tidur."

Nia diam.

"Aku tahu itu, Nia. Aku bisa membaca pikiranmu."

"Preketek bisa membaca pikiran! Kau saja yang tahu aku seorang yang bagaimana." Nia tidak terima. Wio terdengar tertawa lagi.

"Sudahlah, kau perlu istirahat." Gadis itu pun mengucapkan kata-kata penutup. "Besok pagi kukabari lagi, kalau aku tidak kelelahan. Telepon aku kapan saja, aku pasti bisa mengangkatnya," ujarnya.

"Kapan saja?" Seringaian keluar. "Pas mandi?"

"Wi, kau masih mesum rupanya."

"Hei, aku hanya bertanya. Katamu boleh kapan saja, ya sudah aku tanyakan, apakah juga boleh pas mandi." Wio mengelak.

Wio bisa merasakan Nia tersenyum di seberang telepon. "Kau bisa akhiri teleponnya, akan kutelepon besok kalau ada senggang."

"Baiklah, selamat malam, Wio. Satu kecupan untukmu, muach!"

"Kecupannya sudah sampai ke sini."

Nia terkekeh. "Sampai jumpa!" Telepon pun berakhir.

Wio tak sadar pipinya bersemu dari awal sampai akhir dia berbicara dengan Nia. Hatinya berdegup kencang, ia tidak sabar ingin bertemu dengannya. Maka, selama seminggu setelah Nia menelepon, Wio bekerja keras sampai upahnya keluar. Upah yang setengah diberikan untuk keluarganya dan setengah akan ia gunakan untuk menemui Nia.

Adik-adik Wio ingin ikut sebelum menyadari akan menjalani ujian semester. Mereka manyun, disemangati Wio yang bilang, "Nanti Kakak belikan oleh-oleh." Adik-adiknya senang sekali dan memeluknya.

Beberapa hari kemudian, Wio sudah bersiap untuk menumpang ke mobil pick-up tetangga. Kebetulan tetangga ingin pergi ke kota, jadi Wio menumpang. Ibu dan adik-adiknya Wio melambai-lambai padanya.

"Hei, Adam, jaga Ibu selama aku pergi!" pesan Wio pada anak kedua. Anak kedua dengan beda usia 3 tahun dari Wio itu mengangguk.

"Siap, Wio?" Si supir bertanya pada Wio. Wio melihat barang bawaannya, sudah lengkap. "Aku sudah siap," jawabnya. Supir tersenyum, lalu mulai menginjak gas dan mereka pun bergerak.

Wio, si supir, dan beberapa orang yang ikut menumpang untuk ke kota, mulai meninggalkan Sentra.

***

Cuaca sangat terik, membuat angin panas menerpa wajah dan debu-debu jalanan melekat ke kulit. Meski pick-up-nya sudah ditudungi dengan terpal, panasnya masih terasa, membuat Wio menutupi kepalanya dengan jaket yang dikenakan. Dia menatap jalanan yang sudah dilalui dengan pemandangan pohon-pohon di kiri, tebing tinggi di kanan.

Wio dan penumpang lainnya sudah akan sampai ke kota sebelum diberhentikan oleh razia setempat. Wio dan yang lain mulanya bingung kenapa mobil diberhentikan, sebelum supirnya bilang, "Ada razia. Turun dulu, ayo."

Mereka pun turun dari sana dan diperiksa KTP-nya.

Wio menyerahkan KTP-nya pada seorang polisi lalu lintas yang mengecek mereka. "Kenapa ada razia, Pak? Ini sedang tidak musim Natal-an," tanya Wio.

"Ada buronan negara yang kabur dari penjara di Samarinda. Katanya kabur ke wilayah perdalaman, mungkin bakal balik lagi ke Samarinda. Jadi, kami harus memeriksa semua penumpang yang melewati jalur ini," jawab Pak Polisi. "Jalur Tenggarong-Samarinda pun dijaga oleh beberapa polisi."

Wio membulatkan mulut. "Kapan kaburnya?"

"Dari tiga hari yang lalu. Harus cepat-cepat diketahui lokasinya biar bisa ditangkap. Takutnya malah mengedarkan narkoba secara besar-besaran lagi."

"Huh, narkoba?" Wio mengernyit.

Pak Polisi mendengkus. Dia membuka tasnya dan memberikan selembar kertas dengan sebuah wajah tercetak di sana. "Dia pengedar narkoba di Kalimantan Timur, yang paling susah ditangkap, sekali ditangkap malah bisa kabur."

Wio terbelalak. Gambar di atas kertas itu, dia mengenalnya.

Melihat perubahan mimik pada anak muda di depannya, Pak Polisi berseru. "Kau kenal dia?" tanyanya dengan pandang selidik. Wio langsung menetralkan pandangannya, lalu menatap Pak Polisi sambil menjawab, "Mukanya jelek."

Pak Polisi diam beberapa saat, lalu menarik kertas tersebut dan menyimpannya di dalam tas. "Hebat betul 'ngejeknya."

Wio hanya terkekeh, terkekeh aneh, seperti dipaksakan.

"Sudah, kembalilah ke pick-up-mu. Terima kasih kerja samanya." Pak Polisi menyerahkan KTP Wio dan mempersilakannya untuk pergi.

"Baik, Pak, terima kasih." Wio bergegas naik ke atas pick-up dengan barang-barang yang sudah dirapikan. Polisi-polisi tadi memeriksa barang-barang mereka dan hasilnya, mereka tidak membawa hal-hal mencurigakan. Si supir kembali melajukan mobilnya dan Wio melihat, ada banyak petugas kepolisian yang melakukan razia di jalur itu.

Wio meneguk ludah. Dia tidak menyangka pria itu akan kabur.

Wio harus membicarakan ini dengan Nia. Wio rasa dia masih mengingat gadis itu, gadis yang memenjarakannya. "Siapa tahu ia kabur karena mengincar Nia, bukan?" batinnya, sedikit gemetar.

***

Menunggu Nia tidak secepat itu. Wio sampai saat hari mulai menjelang sore dan Nia baru mengabarkan dia baru setengah perjalanan dari Balikpapan ke Tenggarong. "Kau saja dulu yang pesan penginapannya, nanti aku menyusul," kata Nia saat menelepon.

Wio pun mencari penginapan yang diinginkan Nia dan dia menemukannya. Wio segera memesan satu kamar dengan dua kasur. Resepsionis lekas bertanya kenapa memilih kamar seperti itu, karena Wio datang sendiri.

"Nanti ada teman yang mau menyusul," jawabnya.

Resepsionis pun mengangguk, lalu menanyakan, "Berapa malam?"

Wio menjawab satu malam. Dia belum bertanya pada Nia berapa malam yang dia inginkan menginap ke penginapan tersebut. Nanti akan Wio tanyakan dan setelah ia tahu, dia akan menambah jumlah malamnya.

Wio membayar biayanya dan diantar ke kamar yang dipesan.

Wio beristirahat sejenak sebelum bangkit dari tidur untuk membeli makan siang. Dia belum makan. Wio keluar dari penginapan dan makan di sebuah kedai makan pinggir jalan. Ia makan sendirian.

Setelah pulang, Nia kembali menelepon, "Wi, aku agak terlambat. Jalur Tenggarong-Samarinda razia, antriannya banyak."

"Aku akan sabar menunggu, Nia," jawab Wio. Nia lekas mematikan telepon dan Wio memutuskan untuk tidur sejenak.

Wio baru saja menikmati mimpi sampai dia terlihat gelisah dan mulai bercucuran keringat. Kipas angin sudah disetel ke mode paling deras, tapi ia tetap bergerak-gerak seperti cacing kepanasan.

Wio memimpikan kejadian bertahun-tahun silam yang sempat membuatnya banyak kehilangan darah. Dia mendadak merasakan pukulan, tembakan peluru yang bersarang dalam tubuh, kemudian air mata Nia yang jatuh ke wajahnya. Teriakannya saat berusaha dihilangkan nyawanya. Wio baru bisa bangun saat ponselnya berdering pertanda panggilan masuk.

Wio tak segera menjawabnya. Dia mencerna mimpinya. Itu adalah kilasan momen hidupnya yang paling mengerikan. Wio sudah berkali-kali nyaris saling bunuh dengan ayahnya, tetapi itu sama sekali tidak mengerikan ketimbang mimpinya yang barusan.

Lelaki itu kemudian sadar bahwa ia terlalu lama membiarkan ponselnya berdering. Dia mengangkat teleponnya, suara Nia pun terdengar. "Kau di penginapan X, 'kan? Aku ada di luar."

Mata Wio berbinar. Dia segera memakai jaket untuk menyembunyikan badan basah keringatnya. Wio ke luar dan berlari kecil menuruni tangga. Wio sudah berada di teras penginapan, melihat seorang gadis dengan rambutnya yang sudah dipotong pendek.

Gadis itu menoleh karena mendengar derap kaki di belakangnya. Dia melebarkan mata melihat Wio yang tersengal-sengal.

Gadis itu segera berlari ke arahnya, lalu melompat ke pelukannya. Wio sempat terhuyung ke belakang sebelum menyeimbangkan diri, dia menatapnya yang kemudian melepaskan pelukan dan tersenyum. "Hai, Wio." Itu Nia.

Wio melebarkan mata. Dia segera memeluk Nia dan Nia tertawa membalas pelukannya. Wio membenamkan wajahnya ke bahu gadis itu. "Kau memotong pendek rambutmu," katanya sambil melepaskan pelukan.

"Prosedur akademi," jawab Nia. "Lagipula, rambut panjang memberatkan kepalaku."

Wio mengangguk-angguk. "Ayo, kau pasti sudah kelelahan." Lelaki itu menyambar koper dan kertas plastik dari tangan Nia dan masuk ke penginapan.

"Aku bisa membawanya sendiri sebenarnya, tapi terima kasih." Nia mengekori dan dia segera ke meja resepsionis untuk mengonfimasi kedatangannya.

Resepsionis menatap Nia dan Wio bergantian, lalu menyipitkan mata. "Pasangan suami-istri?"

Nia dan Wio saling tatap, lalu menggeleng. "Tidak, tapi kami berjanji tidak akan macam-macam." Nia menyakinkan.

Resepsionis menghela napas. "Itu sebenarnya melanggar peraturan," katanya.

"Jadi, apakah kami harus memesan dua kamar berbeda?" tanya Wio, dengan mimik bersalah. Dia yang memesankan kamar soalnya.

"Seharusnya begitu."

"Ya sudah, pindah kamar saja," usul Nia. "Dua kamar, bersebelahan."

Resepsionis melihat data pengunjung dan nomor kamar. "Ada, mau pindah ke sana?"

Nia mengangguk.

Maka Wio pun membereskan barang-barang di kamar lamanya untuk dipindahkan ke kamar baru. Dia dan Nia bersebelahan, sayangnya temboknya kedap suara. Mereka harus mengirim pesan atau menelepon apabila ingin berkomunikasi.

Nia pamit untuk tidur sebentar karena badannya pegal sekali. Setelah dia bangun, Nia pergi ke kamar Wio dan mengajaknya makan cemilan yang ia beli. Mereka mulai bercerita sambil memakan makanan itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top