19. Perenungan (2)
Wio bersyukur dia membawa rokoknya saat terjun ke sungai. Dia lebih bersyukur saat tahu koreknya bisa berfungsi meski masih basah. Ia pun membakar sekotak rokok dan sampah-sampah mie instan sebagai media penghangat badan.
Wio dan Jeffry duduk di pondasi pylon, merasakan angin sungai berhembus, mendengarkan arus sungai dan riakannya. Wio menatap Jeffry yang menunduk. Suasana sedang temaram, tetapi Wio yakin matanya sembab.
Suara napas Jeffry terdengar. Terdengar gemetar. "Kau kedinginan, Jeffry?" Wio memberanikan diri untuk bertanya. "Lepas saja bajumu! Kau kedinginan karena baju itu."
"Aku baik-baik saja," jawab Jeffry, menggerak-gerakkan jarinya. Ia membuang napas tanpa alasan entah untuk yang keberapa kali. Wio menatap kasihan. Ingin merangkulnya, takut Jeffry salah paham. Ingin mendekatinya, takut Jeffry berpikir macam-macam.
Wio cuma memain-mainkan bungkus mie instan yang sudah terbakar setengah.
"Apapun itu, Jeffry, jangan bunuh dirimu sendiri," kata Wio, membuat atensi Jeffry akhirnya beralih. Dia memalingkan wajah, menatap lelaki yang tengah meniup-niup plastik bungkus mie instan yang terbakar. Wio balik menatap Jeffry. "Di lapas ataupun di sini, dan di manapun. Jangan bunuh dirimu sendiri."
Jeffry yang masih dongkol karena aksinya digagalkan, menyahut ketus. "Jangan atur aku! Ini hidupku, bukan hidupmu."
"Dan kita sama-sama hidup," sambung Wio. "Aku tahu betapa berartinya kehidupan."
"DAN AKU TAHU APA ARTINYA KEHILANGAN!" teriak Jeffry. Wio sontak diam. Dia terbelalak dengan Jeffry menatap marah. "Kau berkata demikian seakan-akan hidupku sedang baik-baik saja."
Wio membuang napas. Ia rasa tak ada yang salah dengan perkataannya. Dia hanya menegurnya baik-baik.
Dada Jeffry naik turun. Ingin rasanya memukul lelaki yang tidak tahu tempat untuk berbicara seperti tadi. Jeffry kembali memalingkan muka, menenangkan diri. Marah-marah pada Wio tak ada gunanya. Lelaki itu memiliki hidup yang baik-baik saja, mungkin hanya berkonflik dengan ayahnya.
Wio kembali bersua. "Aku juga sedih kehilangan mereka, Jeffry." Dia pun mengungkapkan perasaan hatinya. Bu Rasih, Linda, Shinta, dan Pak Ari adalah orang-orang yang pernah mengisi kehidupannya. Bu Rasih suka mengajaknya dan Linda untuk menjaga kebun kecil mereka. Wio dan Linda bermain kejar-kejaran sebelum beristirahat di pondok untuk makan dan kemudian tidur.
Pak Ari yang mengajari Wio bagaimana cara menggunakan senapan. Hewan pertama yang berhasil Wio tembak menggunakan senapan adalah seekor burung walet. Burung itu jatuh ke tanah, peluru itu mengenai sayapnya. Wio mengambilnya, menyerahkan pada Pak Ari. Pria tua itu merasa bahwa burung itu bisa sembuh dan belum layak untuk mati, maka dia mengobatinya dan memeliharanya sampai baikan. Burung itu pun dilepaskan.
Shinta adalah 'kakak' Linda yang posesif. Wio sering bermain dengan Linda, sering ditangkap juga oleh Shinta karena dikira Wio mau menyakitinya. Wio dan Shinta tidak pernah berbaikan dan sering dikenal sebagai musuh.
"Aku juga sedih mendengar Albeta disakiti." Wio paling dekat dengan Albeta pada masanya. Mereka sama-sama remaja nakal yang mesum, sudah beberapa kali menyewa gadis-gadis desa yang menjual tubuhnya. Setelah pulang, Jeffry akan memarahi mereka karena tidak melaksanakan perintah Kana.
"Mereka semua mengingatkanku pada Kana." Wio ingat. Dia dan ayahnya bertengkar hebat. Ibu berusaha melerai, tetapi tak bisa. Wio berakhir kabur dari rumah dan tidak pulang berhari-hari. Dia bermalam di sembarang tempat dan makan apa adanya, sebelum dipancing Kana untuk menemui dirinya lewat Linda. Linda menabrakkan diri kepada Wio, Wio menoleh dengan tatap tak suka, sebelum menyadari gadis yang menabraknya sangat cantik. Dia terpikat dan mengikutinya sampai mendadak termenung dan ia hilang kesadaran.
Setelah bangun, Wio sudah bersama Kana. Dia tertidur di pahanya. Kana tersenyum. "Kau sudah jadi anak asuhku, sekarang kabulkan apa yang kuminta padamu," katanya sambil mengelus rambut Wio. Wio melebarkan mata, langsung bangkit dan mundur, mengira Kana adalah orang jahat.
"Aku tahu siapa ayahmu. Percayalah, bersamaku, ibumu dan adik-adikmu akan aman." Kana masih tersenyum. "Sekarang, bantu aku."
Wio terhipnotis sejak pertama kali bertemu, jadi dia membantu Kana di semua kegiatannya. Mengedarkan sabu dan lain sebagainya, sebelum Wio merasa dia harus berhenti. Wio pun pulang ke rumah, melepas pekerjaannya, hidup bersama ibu dan adik-adiknya dan melindungi mereka dari Ayah. Meski begitu, Linda sering menampakkan diri dan mengirim kode bahwa dia rindu padanya.
Wio mendengkus. Memori-memori indah itu mengitari kepala, tak sadar membuat tersenyum, sekaligus menyayat hati karena orang-orang itu sudah meninggal. Satunya masih terbaring di rumah sakit. Wio menutup mata.
Jeffry masih menatapnya dengan tatap sebal. Sekarang, lelaki itu benar-benar diam. Suasana di pylon menjadi senggang.
"Aku juga sedih, kau tahu?" kata Wio. Api yang tadi membakar kotak rokok dan sampah mie instannya mulai meredup. Sebentar lagi akan padam.
Wio melihat Jeffry. Mereka pun bertatapan. Jeffry dengan tatap dongkolnya, Wio dengan tatap sendunya. Jeffry kembali memalingkan muka. Dia bersandar ke pilar jembatan dan menatap ke langit. "Sayangnya sedihmu tidak sesedih aku," sahutnya. Dada Jeffry sesak, dia menutup mata. Perlahan, air mata kembali turun dari ujung mata.
Api sudah padam. Wio bangkit dan duduk di samping Jeffry. Tangannya terangkat untuk mengelus bahu lelaki itu. Jeffry tak menolak, dia hanya menunduk dan mengusap air matanya. "Sialan, aku menangis lagi."
"Menangislah selagi bisa." Wio menepuk-nepuk.
Jeffry mengangkat kepalanya, lalu menoleh pada Wio. Dia menatapnya lekat-lekat. "Terima kasih sudah menyelamatkanku," ucapnya.
Wio mengangguk. "Lain kali, kalau mau mandi sungai, ajak aku. Aku sudah lama tidak mandi sungai."
Jeffry terkekeh.
Mereka pun duduk di pylon jembatan, bercerita tentang apa yang sudah terjadi pada mereka. Jeffry menanyakan kabar Lana dan Wursi, Wio mengatakan bahwa mereka baik-baik saja. Jeffry bercerita kalau selama di penjara, dia selalu terkenang dengan kejadian saat mereka berurusan dengan G.A.N.J.A. Membahas G.A.N.J.A., Jeffry baru sadar satu hal. "Bagaimana kabar Nia? Apa ada informasi terbaru dari kepolisian?"
"Masih belum ada." Wio berubah ekspresi. Dia menjadi sedih. "Kepolisian masih berusaha mencarinya."
"Sekarang, Andi bekerjasama dengan siapa kalau rekan-rekannya terbunuh semua?" Jeffry bertanya. "Dia punya rekan yang banyak sekali."
"Tuh! Suaminya teman Nia, dia mantan anggota G.A.N.J.A. Sekarang membantuku mengusut keberadaan Nia," sahut Wio.
Jeffry terkejut. "Kau bekerjasama dengan anggota G.A.N.J.A.?" tanyanya, lantang.
"Mantan anggota." Wio memperjelas. "Tenang saja. Dia baik. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Tapi, tenanglah, aku akan baik-baik saja."
Jeffry mendinginkan tatapan. "Aku ingin bertemu dengannya dan menanyakan banyak hal mengenai G.A.N.J.A. dan yang lainnya."
"Untuk apa?"
"Mencari kelemahan Andi, mungkin?" Jeffry menggeram. "Atau aku lampiaskan saja kemarahanku padanya."
"Kau sekali kesal, semuanya diamuk ya." Wio terkekeh.
"Ada yang lucu tentang itu?" Jeffry menatap tajam. Wio lantas menggeleng.
"Jangan biarkan emosi menguasai dirimu, Jeffry," kata Wio. "Sebaiknya kau tidak menyerang anggota G.A.N.J.A. itu. Aku yakin kau malah bisa dapat banyak informasi. Jika dia mati, kau akan kehilangan sumber kelemahan Andi."
Jeffry mengerang putus asa. "Baiklah, baiklah. Sialan," umpatnya. Setelah itu, terdengar bunyi seseorang yang menapak di trotoar. Dia naik ke atas beton pembatas dan menempelkan ujung toa ke mulutnya. "Jeffry, kaukah itu?"
Wio melebarkan mata. Jeffry berdecak. "Polisi."
Polisi pun berhasil membawa Jeffry dan Wio pulang. Mereka dijemput menggunakan perahu mesin. Jeffry kembali ke lapas, Wio dipulangkan ke markas Aldi.
Wio kembali ke rumah, ditanya sudah ke mana saja. Aldi sudah pulang dari tadi, mukanya merah karena mengkhawatirkan Wio. "Tadi jalan-jalan sebentar." Wio terkekeh sambil menggaruk kepalanya.
"Apanya sebentar?" jawab Aldi, ketus. "Kau pergi selama dua jam, anjing! Buat khawatir saja!" Dia sampai memaki. "Bagaimana kalau kau diserang lagi?"
Wio membuang napas. Aldi ada benarnya, tetapi Wio rasa dirinya aman-aman saja. "Buktinya aku masih hidup setelah sampai ke sini, bukan?"
Aldi mengusap wajahnya. Dia berkacak pinggang. "Sudah. Ayo, tidur, semuanya," ajaknya, menyerah. Wio pun masuk ke kamarnya dan tidur di sana bersama beberapa rekan Aldi. Wio terjaga beberapa menit untuk memikirkan perkataan Jeffry saat mereka diantar pulang pakai mobil polisi. Jeffry duduk di sebelahnya, mengatakan sesuatu yang membuat kepikiran.
"Bagaimana kalau rekanmu itu ternyata bekerjasama dengan Andi?" tanyanya saat itu. Wio meneguk ludah. Jika itu benar terjadi, selama ini ia sudah berada di kandang predator. Akan sangat menyeramkan kalau ternyata Aldi bekerjasama dengan Andi.
Wio membuang napas. Ia tak boleh berburuk sangka. Aldi sudah membantu banyak, menjamin keselamatannya. Apakah ini yang dinamakan terima kasih, dengan cara berburuk sangka kepada penyelamatnya?
Namun, perkataan Jeffry bisa ada benarnya. Wio harus waspada. Meskipun Aldi bisa dipenjara, tapi dia punya hubungan dengan Andi. Jadi, dia harus hati-hati mulai sekarang.
Wio pun menutup matanya untuk tidur. Ia harap hari esok lebih baik, dan ada kabar terbaru dari gadis kesayangannya.
***
Wio dan Jeffry berjanji untuk bertemu di sebuah tempat sepi. Wio akan membawa Aldi untuk diperkenalkan kepada Jeffry, Jeffry akan membawa Albert dan Phoska untuk dikenalkan pada Wio. Mereka pun akhirnya bertemu. Aldi dan Albert terbelalak. "Lho, kamu?" Mereka saling tunjuk sebelum tertawa.
Wio dan Jeffry terbelalak. Albert dan Aldi saling kenal rupanya. Phoska hanya memasang mimik datar.
"Kau selama ini membantu Jeffry? Siapa sangka." Aldi menyodorkan tangannya pada Jeffry. Ia tidak ingat kapan G.A.N.J.A. menceritakan lelaki dingin yang merupakan musuh Andi itu. "Senang bisa bertemu denganmu, Jeffry."
Jeffry, yang masih memiliki kecurigaan pada Aldi, memilih untuk tak membalas jabat tangannya.
"Jadi, apa yang ingin kita lakukan di sini?" tanya Phoska, mengalihkan perhatian mereka semua. "Kenapa kau mengumpulkan kami semua di sini?" tanyanya pada Jeffry.
"Aku rasa Aldi, Albert, dan kau memiliki informasi penting untuk diberitahu mengenai kasus Nia, atau mengenai Andi. Kurasa ada baiknya kita mengurusnya bersama-sama," jawab Jeffry, memaparkan alasannya.
"Kerja sama, huh?" Aldi menyeringai.
"Berhenti tersenyum, Bajingan! Aku serius." Jeffry menatap sebal.
Kemudian, Albert menawarkan kediamannya sebagai tempat mereka berbagi informasi. Mereka akan berkumpul setiap hari di sana dan menganalisis informasi yang didapatkan. Siapa tahu ada hal lain yang Andi tinggalkan yang tidak terdeteksi kepolisian.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top