16. Pengintai

Albert mengetahui bahwa Aldi ada di Tenggarong, maka dia memutuskan untuk membuat janji temu. Aldi setuju setelah Isya, mereka bertemu di sebuah kapal mesin yang dijadikan warung makan.

Phoska tak hadir. Albert memerintahkannya untuk memantau CCTV rumah sakit lapas. Dia juga sedang meretas chip lokasi Jeffry yang ditanam di dalam tubuh lelaki itu.

Albert dan Aldi pun bertemu, lalu berpelukan, sebagaimana kawan lama pada umumnya. Mereka duduk di meja yang sudah dipesan, menikmati hidangan yang sudah disediakan. Setelah perut kenyang, mereka mulai membicarakan segala hal yang sudah ditemukan.

"Pembantaian, Nia diculik, Wio disakiti, Marsya hilang, Albeta dicelakai, Dandi bunuh diri." Albert merunut segala kejadian yang sudah terjadi. "Ini terjadi bahkan kurang dari sebulan. Andi bekerjanya cepat sekali."

"Dia memang tipikal buru-buru," sahut Aldi. "Jika saja tak bisa menyuap, kasus-kasusnya pasti mencuat."

"Tapi, harus kuakui kinerja G.A.N.J.A. memang sebagus itu." Aldi menatap Albert, memandang selidik. Apakah pria tambun itu sedang sarkas atau tidak. "Sayang sekali, konsumtif." Albert melirik Aldi. Aldi membuang napas. Dia menyeruput es kopi susunya dan berdehem sejenak.

"Entah di mana dia sekarang, siapa yang ia gunakan," katanya kemudian.

Mereka diam sejenak. Albert mengutak-atik ponselnya, mencari foto-foto yang ia dapatkan dari Phoska, kemudian menunjukkan pada Aldi. "Lihat apa yang kami temukan!"

Aldi menoleh, meraih ponsel itu. Dia melihat foto dari rekaman CCTV. Ada seseorang di sana, berpakaiannya layaknya dokter. Mungkin memang dokter. Dia berperilaku aneh, terkesan mengintip orang. "Dia yang mengintip kami saat aku menemui Jeffry," jelas pemilik ponsel. "Para pengintai."

"Siapa namanya?" tanya Aldi.

"Ilham."

Ilham merupakan seorang dokter bedah di rumah sakit yang sama tempat Albeta dirawat. Biasanya dipanggil untuk kegiatan forensik yang melibatkan mayat atau tahanan yang penyakit dalamnya kambuh. Ilham bukan siapa-siapa, dia cuma seorang dokter biasa. Namun, setelah ditelusuri, dia punya hubungan dengan Dandi. Hubungan menguntungkan. Dokter bedah itu sedang melakukan penelitian dengan daun ganja, Dandi-lah yang menjualkannya padanya.

Dandi dan dia sudah seperti teman. Sebelum dipenjara, Dandi dan Ilham sering berkomunikasi, lewat ponsel maupun saat bertransaksi.

Semuanya mulai berubah kala Dandi mulai meminta balasan. Dia ingin Ilham untuk mengintai musuh-musuhnya yang masuk ke rumah sakit tahanan. Dandi meminta itu atas perintah Andi. Setelah Ilham mengabari apa yang terjadi pada musuh-musuhnya, Andi akan mengirim seseorang untuk melukainya. Ilham baru menyadari pengintaiannya ini merugikan pasien saat banyak dari intaiannya yang ditemukan tersakiti di ruangannya oleh seorang yang gaib.

Ilham pun membicarakan ini dengan Dandi. "Kau menyuruhku mengintai musuh-musuhmu agar kau bisa menyakiti mereka?" tanyanya.

"Bukan aku yang melakukannya, melainkan bosku. Aku hanya bisa mengikuti perintah," jawab Dandi, sekenanya.

"Dandi, kau temanku, pasien-pasien itu pun temanku. Aku harus memastikan mereka mendapat hal yang seharusnya mereka dapatkan, meskipun mereka seorang tahanan sekalipun." Ilham berusaha menerangkan bahwa perbuatan Dandi bukan perbuatan yang baik.

"Aku melapor pada atasanku bagaimana kondisi mereka, lewat dirimu, dan aku akan diberi uang. Kau juga, mengobati mereka, mengecek mereka, kau diberi uang." Dandi tidak memedulikan.

"Kau cuma tahu uang, Dandi." Ilham putus asa.

"Pada dasarnya semua orang butuh uang, dan kau, Ilham, kita memang teman, tapi bukan berarti Andi tak segan melayangkan peluru ke kepalamu. Jadi, diamlah. Aku melakukan ini demimu."

Ilham yang sebenarnya tidak mau ikut campur pada masalah Dandi dan pasien-pasiennya, hanya bisa menghela napas dan memilih meneruskan 'pekerjaan kedua'-nya. Sampailah pada saat dia bekerja untuk memantau Albeta yang masuk rumah sakit karena tertembak tiga peluru.

Dandi saat itu sedang buron. Dia cuma menitipkan surat tak berpengirim yang diletakkan di atas meja resepsionis. Resepsionis memanggilnya, Ilham tahu bahwa itu adalah surat dari Dandi.

Dandi lekas menyuruhnya untuk mengawasi Albeta. Ilham melakukannya sampai dirinya kepergok oleh seorang wanita. Dia baru saja menguping pembicaraan Jeffry dan Albert dan akan pulang ke tempat kerjanya sebelum tiba-tiba seseorang di belakangnya melayangkan tangan ke lehernya.

Dalam sekali tebasan, Ilham tak sadarkan diri setelah kesakitan. Dia baru bangun saat sudah dalam keadaan terikat di rooftop rumah sakit.

Wanita itu--Phoska, dan Albert berdiri di depannya, menatap sinis. "Apa yang kaulakukan, Bajingan?" Itu salam pembuka Albert. "Kenapa kau menguntitku dan Jeffry?"

"A-Aku bisa jelaskan," jawab Ilham, gagap. "Kalian salah sangka. Niatku baik, kok. Albeta adalah pasienku dan aku tidak ingin dia direncanakan yang bukan-bukan oleh kakaknya--sepertinya--dan teman kakaknya."

Albert mengangguk-angguk. "Kau mengira aku orang jahat? Kau melindungi pasienmu. Patut diacungi jempol." Dia bertepuk tangan.

Namun, hal itu bukannya membuat tersemu, malah membuat Ilham meneguk ludah. Pasalnya, Phoska melotot ke arahnya. Wanita itu seakan tahu bahwa Ilham tengah berbohong.

"Kalau begitu, sebagai dokter yang baik pada pasien, jelaskan hubunganmu dengan Dandi sekarang juga!" suruh Albert dengan nada datar. Mukanya dingin. Ilham menutup mulutnya rapat-rapat.

Dandi pernah bilang padanya untuk tidak memberitahu siapapun apapun yang ia perintahkan. Ilham sudah diancam dan dia tak berani.

Tak mendapat apa yang diinginkan, lawan bicaranya meraih pistol dari sarungnya yang terikat di celana dan membuang percuma satu peluru ke udara, membuktikan bahwa pistol itu punya amunisi.

Dor! Ilham kaget mendengar ledakannya.

Albert mengarahkan moncong pistol ke Ilham. "Ini masih siang buta ya, jangan membuatku emosi." Dia memperingatkan. Netranya mengancam di balik kacamatanya.

Ilham dibuat dilema. Jika dia memberitahu apa yang sebenarnya terjadi, ia akan dibunuh Dandi. Jika tidak memberitahu, dia juga akan terbunuh. Maju kena, mundur kena.

Ilham menarik napas, kemudian membuangnya. Dia menatap penuh harap. "Aku takut mati, jadi kumohon, setelah kau tahu ini, lindungi aku dari Dandi."

Phoska menyalakan perekam suara di ponsel. Ilham rasa itu adalah kode bahwa ia sudah dipersilakan untuk bicara. Ilham pun mulai menceritakan semuanya.

Dandi menemuinya di rumahnya. Dia bilang hendak membunuh Albeta, entah kapan, tetapi dalam waktu dekat. Ia ingin Ilham untuk mengawasi lelaki itu, kapan dia tidak dijenguk, kapan dia tidak diawasi. Ilham bilang itu terlalu beresiko karena Albeta sudah diberi perlindungan hukum. Jika Jeffry sudah selesai menjenguk, maka akan digantikan oleh keamanan rumah sakit yang diperintah oleh kepolisian daerah. Secara harfiah, Albeta bukan pasiennya. Namun, jika ada apa-apa, Ilham yakin dirinya akan terpakai untuk mengobati lelaki itu.

"Ilham, ini untuk yang terakhir kali, kumohon padamu." Dandi memelas. "Setelah ini, aku tidak akan memintamu untuk mengawasi yang lain. Lagipula, cuma Albeta sasaran terakhirku. Aku harus berhasil menyakitinya, atau membunuhnya, untuk membalaskan dendamku."

Ilham dibuat bingung. Dia tidak mau berurusan dengan aparat negara jika ia ketahuan menguntit pasien. Terlebih dia dengar, kakaknya yang bernama Jeffry itu sekali sentimental, semua diamuknya. Ini pun mengorbankan reputasinya sebagai dokter. Jika ia dituntut, dia bisa kehilangan pekerjaan.

"Ini yang terakhir, aku janji." Dandi menunjukkan jari kelingkingnya.

Ilham pun membuang napas. "Janji kalau ini yang terakhir." Pria itu sudah lelah berurusan dengan Dandi. Ia harap maksudnya yang terakhir itu benar-benar yang terakhir.

Sejak hari itu, Ilham pun mengintai Albeta dan Jeffry, mengintai siapa saja orang yang mereka temui. Dia melaporkannya pada Dandi. Dandi terlihat menyusun sebuah rencana lewat laporan-laporan itu, tetapi Ilham tak tahu apa.

Ilham mengakhiri pengakuannya. Dia harap Albert dan Phoska mengerti. "Aku tidak mau terlibat. Ini sangat mengorbankan reputasiku. Kumohon, jangan adukan aku." Dia bersujud di kaki Albert.

Albert menoleh pada Phoska. Phoska mengangguk. Rekamannya sudah cukup. Albert pun berjongkok dan meraih tubuh Ilham, menegakkannya, melepas tali di tubuhnya. "Sudah. Kami sangat berterima kasih atas informasi yang kauberikan. Sekarang, kau boleh pergi."

Ilham melebarkan mata. Ia kira urusannya akan sulit.

"Aku tahu apa pikiranmu sekarang." Ilham terkesiap. "Tapi, kami tidak seperti Dandi. Lagipula, aku rasa kau jujur, jadi ndi boleh disakiti untuk dipaksa buka mulut." Albert tersenyum ramah. Dia menepuk-nepuk bahu Ilham. "Pergilah, dan jangan beritahu apapun mengenai pertemuan kita kepada siapapun, termasuk rekan gelapmu itu."

Ilham segera pergi dan dia menuruni tangga darurat dengan perasaan campur aduk. Senang ada, takut ada. Dia takut Dandi tahu bahwa dirinya jujur kepada orang lain. Ia bisa dilukai kalau itu ketahuan.

Hingga datang hari di mana Ilham dapat kabar bahwa ada yang bunuh diri di kamar Albeta. Dia kaget setengah mati saat tahu itu adalah Dandi.

Dandi benar bahwa Albeta adalah orang terakhir yang ia sakiti.

Ilham tak dapat bicara seharian itu. Dia syok. Ia tak menyangka Dandi mengucapkan kebenaran.

Albert dan Phoska kembali menemuinya, menanyakan apakah Dandi ada bertemu dengannya sebelum dia mengakhiri nyawanya sendiri. Ilham menggeleng.

Albert dan Phoska pun menarik kesimpulan bahwa Dandi tidak membeberkan pada siapapun perihal dirinya yang hendak mengakhiri hidup. Setelah kejadian itu, perjumpaan tiga orang ini berhenti.

Aldi mendengarkan cerita Andi dari awal sampai akhir dengan kening terkadang mencuram, dahi terkadang berkerut, dan mata melebar.

"Aku rasa Dandi bunuh diri karena tertekan, Aldi." Albert menyampaikan hasil hipotesisnya. "Tiga rekannya di penjara Samarinda 'kan semuanya bunuh diri. Andi tak punya orang untuk disalahgunakan, jadi dia menggunakan Dandi untuk kepentingannya sendiri."

Aldi tampak diam dan berpikir, sebelum menyambung percakapan itu. "Aku malah merasa ini adalah permintaan Andi sendiri."

Albert mengernyit.

"Andi ingin rekan-rekannya mati dengan cara membunuh diri mereka sendiri, dan sebelumnya, pria itu sudah memberitahu sesuatu yang penting kepada mereka. Hal itu berusaha ia sampaikan lewat teka-teki di mana rekan-rekannya mati dan cuma orang-orang tertentu yang mengerti maknanya. Dandi sepertinya adalah kepingan puzzle terakhirnya."

Aldi menoleh pada Albert, menatap serius. "Kematian mereka inilah yang akan mengantarkan kita pada jawaban kenapa S.A.B.U. dibantai, Nia diculik, dan Albeta disakiti."

Albert meneguk ludah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top