13. Kabar Dari Albeta

Seperti biasa, lelaki itu kembali ke lapas untuk melapor tentang apa saja yang ia temukan hari itu. "Anda tahu Nia Daniatie?" tanya Jeffry pada sipir yang selalu mendata kehadirannya. Dia yang tadi berjalan bersama, mendadak berhenti. Jeffry menengok ke arahnya.

"Dia gadis yang diculik dan belum ditemukan sampai saat ini," jawab si sipir, menatap Jeffry, lalu menghampirinya dan mulai berbisik. "Kepolisian Samarinda dan Balikpapan sudah turun tangan untuk menangani kasus ini. Namun, apabila masih tidak ditemukan, kepolisian di seluruh Kalimantan Timur akan ikut andil untuk mencarinya."

"Bagaimana bisa? Memangnya Nia tidak akan ditemukan?" Jeffry mengernyit. Pura-pura mengernyit. Jeffry tahu bahwa Andi-lah alasannya. Dia serigala yang tidak akan melepas mangsanya apapun yang terjadi.

"Katanya, ada keterlibatan Andi di kasus ini, tapi entahlah. Kita tidak bisa tahu." Sipir pun mengendikkan bahu. "Aku harap gadis itu baik-baik saja. Kabarnya, orang tuanya kaget sekali. Aku kasihan pada mereka." Dia memasang wajah sedih.

Jeffry masuk kembali ke lapasnya yang sudah menjadi tempat tidurnya selama kurang lebih tiga tahun masa hukumannya. Setelah mengucapkan terima kasih pada si sipir yang bersedia mengantarnya, Jeffry melepas jaketnya, menggantungkannya ke bilik wc kecil di dalam penjara. Dia berbaring di atas kasur keras yang disediakan, ia memikirkan semua yang diketahuinya hari ini.

Di waktu yang bersamaan, Wio dan Aldi mendapatkan informasi dari kepolisian bahwa kasus Nia menemukan penerangan. Salah satu warga akhirnya mengaku karena lelah dipaksa bicara. Mereka bilang ada satu orang yang masuk ke toilet perempuan. Satunya lagi berjaga-jaga di depan toilet. Entah apa yang terjadi, tetapi dia sempat mendengar teriakan dan gedoran dari tempat itu. Baru saja hendak mencari tahu, yang menjaga toilet tadi menodongkan senjata api kepadanya.

Si warga baru saja akan berlari untuk mengadu sebelum kakinya membeku melihat seorang lelaki menggendong gadis yang sudah tak sadarkan diri. "Rambut si cewek pendek sekali. Pria yang lagi gendong dia kayak kaget gitu lihat saya, baru nanya ke temannya, 'Awak ndi ngapa-ngapain kah? (Kamu 'nggak ngapa-ngapain?)' Temannya, dari isyarat mata, ngelirik pisau di tangannya sambil nanya balik, 'Ndi lihat kah awak aku lagi megang apa ni?'" Itu keterangan warga yang jadi saksi.

Si saksi tersadar kakinya sudah bisa digerakkan, jadi dia berlari ke arah warung yang sedang buka. Dia mengadu tentang apa yang sudah ia temukan. Ia memang panik, mengundang perhatian beberapa orang yang sedang makan ataupun sedang memesan, tetapi ceritanya perihal ada yang tidak beres di toilet wanita ditanggapi tidak serius.

"Mungkin karena saya notabene-nya adalah tukang bohong di lingkungan itu, jadi mereka ndi mau dengarin saya. Padahal saat itu, saya mengatakan kebenaran," kata saksi, tersirat menyalahkan orang-orang di warung tempat ia mengadu saat itu. "Kalau mereka percaya, bisa segera dipanggilkan keamanan setempat biar diselidiki."

Sementara rekaman mengenai kesaksian warga yang melihat Nia dan dua orang yang menculiknya itu diputar, Aldi tampak mencorat-coret kertasnya. Anak-anak buahnya mendengarkan dengan seksama. Wio memasang sikap serius diduduknya.

Wartawan di rekaman itu menanyakan apa lagi yang dua orang itu lakukan. "Bagaimana ciri-ciri mereka?"

"Setelah gendong si cewek tadi, baru dimasukkan ke dalam mobil, saya 'kan masih di warung ya, berlindung. Dua orang itu ternyata menghampiri warung juga. Orang-orang pada banyak di sana, yang sudah salat lagi makan, anak-anak mau 'ngaji kebetulan juga lewat depan warung. Salah satu dari dua orang itu 'ngeluarkan pistol, terus ditembakkan ke satu ayam milik Pak RT. Ledakannya 'kan kedengaran tuh, semuanya pada noleh ke sumber suara, anak-anak ngaji langsung lari kucar-kacir. Terus, habis semuanya noleh ke dia, dia bilang, 'Kalian akan kami habisi malam ini juga jika berani buka mulut!'"

"Sempat tuh ada yang nanya-nanya dulu. Wong lagi makan malah ada acara tembak-tembakan, 'kan membingungkan toh?" Si saksi menjeda ucapannya karena menarik napas. "'Mau emas kah awak? Biniku ada banyak beemas ni, silakan ja kalau mau diambil.' Dikiranya perampok 'kan. Untung dia dekat aku, jadi kubilangi, 'Lain sida ndak becuri emas. Sida tu baru ja nganui kanak bini sampai tepingsan di WC masjid (Bukan mereka mau mencuri emas. Mereka itu baru saja berbuat sesuatu ke seorang gadis sampai gadisnya pingsan di WC masjid).'"

"Orang-orang jahat itu langsung menodongkan senjatanya ke saya sama orang lain, mengancam balik. 'Awas kalian habis ni ikut campur lagi!' Nah, setelah itu, mereka bertemu dengan seorang lelaki, rambutnya panjang sampai ke punggung. Itu yang mereka keroyok sampai pingsan. Kami baru berani mengurus anak malang itu setelah dua orang jahat itu pergi."

Aldi berhenti mencorat-coret. Dia bergumam, "Ada saksi yang banyak sekali, tapi cuma satu saksi yang tahu sebenarnya apa yang terjadi."

"Kalau pelakunya, yang mencolok itu, satunya matanya hitam, satunya lagi luka sobek di bibir. Itu saja yang bisa saya ingat-" Rekaman berhenti, karena memang itu yang diperbolehkan rekan Aldi di kepolisian untuk dibeberkan ke khalayak umum. Rekaman aslinya masih di tangan polisi dan berusaha diselidiki. Setidaknya, dari rekaman itu, mereka tahu bahwa sedikitnya ada satu orang yang menjadi saksi siapa yang menculik Nia kemarin hari.

Dari kesaksian itu sebenarnya sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa warga-warga saat Nia diculik dan Wio diserang itu sudah diancam untuk tidak buka suara. Namun, Aldi dan rekan-rekannya masih menyimpan ragu bahwa warga di sekitar sana disuap untuk tutup mulut. Bahkan, rekaman itu pun bisa jadi hasil suap.

"Sangat menyakinkan kalau kasus ini tidak disuap," kata salah satu rekan Aldi. "Tapi, tetap jadikan kemungkinan ini sebagai indikator nomor satu kenapa tidak ada yang menolong Nia maupun Wio saat mereka diserang."

"Aku penasaran siapa saksi yang lain." Aldi mengubah topik pembicaraan. "Orang yang mengira yang menculik Nia adalah perampok yang mau mencuri emas," jelasnya.

"Dia tidak mungkin mau buka suara, Pak," sahut rekannya yang lain. "Kalau buka suara, lokasinya bisa diketahui, terus dua orang yang menculik Nia bisa datang ke tempatnya dan mengancamnya kembali."

"Aku bukan mau dia buka suara." Aldi menggeleng. "Aku cuma penasaran."

Rekannya yang tadi menyahut, hanya mengangguk-angguk sambil ber-oh-ria.

"Cuma ini yang kepolisian dapatkan setelah 24 jam menganalisis TKP?" Wio terdengar kecewa. "Nia butuh bantuan secepatnya dan cuma ini yang bisa mereka lakukan?"

"Tidak bisa secepat itu, Wio." Lelaki itu segera menoleh pada Aldi. "Tim siber sudah melacak alamat ponsel Nia, juga tidak ditemukan. Dan orang-orang yang dijabarkan oleh saksi, bukan termasuk daftar kriminal--calon maupun mantan, bukan pula penduduk sana. Sepertinya orang baru."

Wio mendengkus.

"Sketsa wajahnya sudah digambar, sudah disebarkan juga ke media televisi dan media sosial. Semoga saja ada yang kenal." Aldi menyodorkan ponselnya. Wio meraihnya dan melihat sketsa orang-orang yang kemarin menyerangnya. Wio lekas menutup mata dan menyerahkan ponsel setelah melihat sketsa-sketsa itu selama beberapa detik. Dia masih merasakan perasaan takut saat melihat wajah mereka.

"Mari berdoa semoga semuanya membuahkan hasil yang diinginkan," kata Aldi, menatap rekan-rekannya. "Dan mari bekerja lagi. Andi dan Dandi belum muncul akhir-akhir ini. Kepolisian beranggapan mereka berdua ikut andil. Kurasa kita perlu menemui Jeffry untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi di pembantaian hari itu."

***

Keesokan harinya, Wio ikut Aldi kembali ke Tenggarong untuk menemui Jeffry. Beberapa rekan Aldi ikut, beberapa tinggal untuk terus memantau kabar dari kepolisian, sekaligus menunggu perintah instansi yang selanjutnya. Katanya mereka akan dipakai untuk menyelidiki kasus Nia ini berhubung ada Wio di antara mereka. Namun, hanya akan terjadi jika memang benar Andi dan Dandi terlibat pada kasus itu. Jika tidak terbukti, maka akan ditugaskan penyamar lain.

Aldi pulang sekaligus mengunjungi istrinya, alias Arin, dan menumpangkan Wio di markasnya di Tenggarong untuk sementara. Nyawa lelaki itu sepertinya belum baik-baik saja.

Mereka datang di Tenggarong saat matahari tepat di atas kepala. Aldi segera melesatkan mobil ke lapas dan mencari Jeffry. Ditanya siapa mereka oleh petugas, Aldi dan rekan-rekannya langsung menunjukkan kartu identitas khusus yang dikeluarkan dari instansi. Mereka langsung diberi informasi bahwa Jeffry ada di rumah sakit. Wio langsung beranggapan bahwa lelaki itu menjenguk Albeta.

Wio, Aldi dan rekan-rekannya segera bergegas di rumah sakit dan terkejut melihat ada beberapa mobil polisi terparkir kusut di depan pintu masuk. Mereka turun dari mobil dan segera menghampiri resepsionis untuk menanyakan seorang pasien bernama Albeta. Resepsionis langsung memasang wajah sedih. "Dia sedang tidak bisa dikunjungi. Sesuatu yang parah terjadi padanya dua jam yang lalu."

Aldi dan yang lainnya saling pandang. "Apa yang terjadi dengannya?"

"Seseorang nyaris menyayat lehernya. Untung berhasil digagalkan. Tapi, dia kehilangan cukup banyak darah dan stok darah yang sesuai dengan golongan darahnya sedang kosong. Jadi, dia sempat kritis karena penanganannya terhambat. Sekarang sudah baikan, tapi dia tidak boleh dijenguk siapapun," jelas petugas resepsionis.

Aldi dan Wio terbelalak. Mereka tidak menyangka akan ada kejadian begini di rumah sakit. Aldi langsung berpikir kalau kejadian itu berhubungan dengan Andi dan Dandi. "Kalau boleh tahu, ini terjadi di lantai berapa ya? Tidak, saya tidak bermaksud mau menjenguk, cuma mau melihat-lihat saja."

"Mohon maaf, Pak. Saya tidak bisa beritahu. Polisi sedang menyelidiki lantai tersebut sekarang. Mereka sudah berpesan untuk tidak membiarkan siapapun kecuali orang yang benar-benar berkepentingan mengunjungi lantai di mana Albeta dirawat. Katanya untuk menjaga keamanan TKP," jawab resepsionis, tegas.

Aldi hanya bisa mendengkus kesal dan berterima kasih sebelum mengajak Wio ke ruang tunggu. "Aku tidak tahu apakah Jeffry sudah dibawa ke kepolisian untuk diinterogasi lagi atau tidak mengenai hal ini. Tapi, ayo, tunggu di sini selagi aku mengirim pesan pada temanku. Apakah dia ikut mengurus kasus ini? Kalau iya." Aldi mengetik pesan di ponselnya. "aku ingin mengetahui informasinya."

Wio cuma menatapnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top