12. A.R.A.K.

"Wio, bagaimana bisa ini terjadi? Kau 'kan menemani Nia, bagaimana anak itu bisa lepas dari pandanganmu?"

Wio terbangun jam 9 malam karena ponselnya berdering terus-menerus. Dia melihat nama yang tertera di layar: ibu Nia. Jantung Wio berdegup kencang. Wanita paruh baya itu masih menganggap Wio mesum. Bahkan, Nia yang ingin pulang ke Tenggarong dengan alasan menemuinya pun nyaris tidak diizinkan.

Wio kira dia bakal diomeli saat menyambut teleponnya, ternyata tangisan malah mengisi telepon selama hampir semenit.

"Ya Tuhan, Wio, Ibu takut sekali. Bapak Nia di sini sudah ke kantor polisi, dipanggil, disuruh kerja sama. Ibu sama Pira saja di rumah. Kami hanya bisa berdoa," kata ibunya, sesenggukan. "Ibu mau menyalahkanmu, tapi di sini Ibu juga yang salah." Dia terdengar menyeka air matanya. "Wio .... Aduh, Wio, Ibu takut sekali."

Wio cuma bisa diam, sesekali menenangkan wanita itu. Dia tidak tahu harus apa. Mengabarkan berita terbaru tentang Nia, masih belum ada. Lelaki itu berusaha untuk tidak menangis lagi. "Aku sangat minta maaf, Bu." Itu saja yang bisa dia katakan.

Ibu Nia menutup telepon beberapa saat kemudian. Wio meletakkan ponsel di atas meja dengan pandang berkaca-kaca. Dia mulai meneteskan air mata.

"Wio." Aldi memanggil, Wio segera menyeka matanya dan menoleh dengan wajah sendu. Aldi membawa nampan berisi dua gelas teh. Dia meletakkannya di atas meja. "Minumlah." Wio mengambilnya dengan hati-hati dan meneguknya sedikit, masih panas.

"Ada kabar terbaru dari Nia?" tanyanya. Ia harap ada kabar bagus.

"Kalau dari kepolisian sih belum ada," jawab Aldi. "Tapi, kalau dari timku, salah satunya ada yang melihat kejanggalan dari kasus ini."

Wio melebarkan mata. "Apa itu?"

Aldi pun menjelaskan. "Warga tidak menolongmu. Sepertinya mereka sudah diancam, kemungkinan terburuknya sudah disuap. Kenapa kami bisa bilang begitu? Warga sekitar memilih pura-pura tuli saat Nia berteriak di dalam toilet, berusaha meminta tolong, padahal toilet perempuan tidak kedap suara. Mereka tidak bereaksi saat Nia digendong dan dimasukkan ke dalam mobil. Bahkan, jika itu bukan Nia dan hanya seorang gadis yang mabuk perjalanan dan pingsan, seharusnya warga sekitar masjid merespons entah bertanya kenapa, atau merekam, lalu dimasukkan ke media sosial. Ini? Sama sekali tak ada."

Wio mendengarkan dengan seksama.

"Jika warga mau buka suara pun, mereka pasti akan mengatakan kebohongan. Bisa kau tebak kenapa kami mengambil kesimpulan begitu? Dua orang yang menyerangmu itu bisa kembali ke masjid dan kembali mengancam meskipun polisi ada di sana. Kalau mereka berani buka suara mengenai apa yang terjadi, lebih-lebih pada wartawan televisi yang sedang mengadakan live-streaming, mereka bisa mati karena pengakuannya viral," sambung Andi.

"Polisi melindungi rakyat. Polisi yang datang ke sana jumlahnya banyak. Kenapa mereka tak bisa melawan dua orang saja?" tanya Wio dengan alis tercuram.

"Tidak, dengarkan aku. Biarkan aku bertanya terlebih dahulu padamu," sahut Aldi. "Bagaimana ciri-ciri dua orang itu? Aku adalah mantan anggota G.A.N.J.A. Aku masih ingat sebagian besar anggotanya yang mendominasi kelompok."

Wio diam dengan mata memandang selidik. "Kau berusaha menjebakku, Aldi?"

Aldi terbelalak. "Kau tidak percaya padaku, Wio?"

"Penjahat tetaplah penjahat," jawab Wio. "Semua punya sifat jahatnya masing-masing, tetapi anggota G.A.N.J.A., sifat jahat mereka bertahan selamanya." Dia menatap sinis.

Aldi membuang napas. Wio mengalami sesuatu di masa lalu yang membuatnya susah percaya dengan orang lain, terlebih G.A.N.J.A. "Aku butuh keterangan itu sekarang, kumohon percaya aku," pintanya, memelas.

Wio masih menatap selidik pria itu sebelum menghela napas dan mengusap wajah. "Aku tidak akan memaafkanmu jika aku tahu kau tidak bisa dipercaya." Wio menatap ke atas, mengingat-ingat ciri-ciri dari dua orang yang menyakitinya. Dia jadi ngilu sendiri saat memikirkannya. "Satunya berbandana, satunya berkacamata. Yang berkacamata, mata sebelahnya hitam. Yang berbandana, mulutnya sobek. Ada luka bakar di leher yang berbandana."

Aldi tampak memikirkan anggota G.A.N.J.A. mana yang memiliki ciri-ciri fisik seperti itu.

"Tadi, aku sudah bilang ini ke polisi. Tapi, sepertinya tidak akan membuahkan hasil. Siapa tahu mereka menyamar lagi." Wio mengendikkan bahu. Dia pasrah.

Aldi mengambil ponselnya. Dia mengacak-acak foto di sana. Ia rasa pernah bertemu dengan salah satu dengan mereka, tetapi bukan dari G.A.N.J.A. Aldi pernah mengadakan perjalanan bisnis gelapnya di masa lalu, dia pernah bersama dengan orang seperti itu.

"Si mata hitam," gumamnya. Sementara dia sibuk dengan ponsel, Wio memperhatikannya. Lelaki itu menaruh tatap curiga. Dia memilih untuk meneguk tehnya daripada menghentikan kegiatannya yang entah mencari apa.

"Akhirnya!" Aldi mengeraskan suaranya. Dia segera menyodorkan ponselnya pada Wio. "Apa dia salah satu orang yang menyerangmu?" tanyanya. Wio meraih ponsel Aldi, melihat foto si empunya yang sedang saling rangkul. Mereka berfoto di atas bukit, latar fotonya pun perbukitan dan langit yang biru. Sepertinya berada di tempat wisata.

Wio memperbesar fotonya. Dia melebarkan mata. Mata hitam sebelahnya mencolok. Hanya saja, orang dengan mata hitam sebelah itu terlihat tambun. "Orangnya kurus."

"Kurus?" Aldi mengernyit. "Tidak mungkin kakak-beradik itu masuk di kelompok yang berbeda-beda," bisiknya.

"Apa? Kakak-beradik?" Wio yang mendengar sedikit, langsung mempertanyakannya. "Apa maksudmu?"

"Orang dengan mata hitam sebelah yang tambun itu bukan anggota G.A.N.J.A., tapi dia cikal bakal anggota A.R.A.K. Kudengar dia punya saudara di G.A.N.J.A., matanya sama, tapi mereka saling tidak menyukai," jawab Aldi.

"Katamu kau kenal beberapa anggota dominan di G.A.N.J.A." Wio mengernyit, kembali menatap curiga.

Aldi hanya bisa membuang napas. "Wio, G.A.N.J.A. itu banyak pembagiannya. Ada anggota nyata, ada anggota gaib." Aldi menekuk-nekuk jari tengah dan telunjuknya. "Mereka yang gaib pun ada yang dominan, ada yang tidak. Mereka cuma diajak kerja untuk pekerjaan yang memerlukan strategi bersih--jejak kasus hilang, tanpa menyuap saksi atau kepolisian untuk memalsukan pengakuan dan bukti."

"Aku sempat jadi anggota gaib. Harus kuakui kerja mereka rapi sekali." Aldi mengaku. "Saat aku memutuskan untuk berkhianat, anggota-anggota gaib ini yang berusaha mencelakakanku. Ah, aku jadi ingat masa lalu." Dia terkekeh sejenak. "Oke, kesimpulannya, aku tidak kenal orang yang menyerangmu karena kemungkinan dia adalah anggota gaib tidak dominan di G.A.N.J.A."

Wio mengangguk-angguk. "Mereka memang anggota gaib. Buktinya, kejahatan mereka bersih." Dia mendengkus.

"Bau bangkai selama apapun pasti bakal tercium juga," sahut Aldi, dengan kiasan. "Ada beberapa kasus dari anggota gaib yang mencuat ke permukaan. Itu karena ditangani orang-orang teliti di kepolisian. Jika bukan orang-orang teliti, kasus dari anggota gaib tidak akan ketahuan."

"Harapannya polisi-polisi yang menangani kasus Nia ini merupakan orang-orang yang teliti." Aldi mengambil cangkir di atas meja yang mulai mendingin, meneguknya sampai seperempat isi.

Wio kemudian menunjuk si tambun mata hitam sebelah di ponsel Aldi. "Jadi, siapa dia? Anggota A.R.A.K.?"

***

Seperti biasa, Jeffry menemui Albeta. Hari ini, dia menemani lelaki itu dari siang sampai sore. Sesi interogasi hanya berlangsung beberapa jam, saat pagi. Selesainya, Jeffry pulang ke lapas untuk menumpang makan, lalu ke rumah sakit untuk menjenguk rekannya.

Mereka tengah berbincang sebelum seorang perawat datang dan menepuk bahu Jeffry. "Ada tamu untuk Anda," katanya. "Dia di luar, tidak mau masuk ke dalam."

Jeffry segera menemuinya. Tak disangka, ternyata salah satu anggota A.R.A.K. yang kemarin mengirimkan inisialnya dan inisial rekannya ke kertas di dalam dompet Nia.

"Albert, kau rupanya." Jeffry menyapa ramah. Albert orang yang cukup berjasa. Albert dan teman-temannya yang menjamin kehidupan Jeffry dan rekan-rekannya selama berada di Tenggarong. Hanya saja, untuk melindungi, mereka tak bisa. Bukan polisi yang mereka takutkan, tetapi kelompok G.A.N.J.A. yang bisa sewaktu-waktu mengorbankan mereka untuk kebutuhan pribadi.

"Mana Phoska? Tumben sendirian," tanya Jeffry, menatap sekitar, memastikan tidak ada orang yang mencurigakan di sekitar mereka. "Dan tidak bahaya bicara di luar seperti ini? Bagaimana kalau ada para pengintai?"

"Para pengintai tidak akan tertarik dengan percakapan kita saat ini." Albert melepas kacamata hitamnya. "Aku membawa kabar buruk."

Wajah ramah Jeffry segera berganti menjadi wajah bingung. "Apa itu? Katakan padaku. Apakah mengenai G.A.N.J.A.?"

"Sepertinya iya." Albert membuang napas. "Nia berhasil diculik oleh mereka." Jeffry sontak terbelalak. "Kepolisian sudah turun tangan untuk mengungkap kasus ini."

"Kapan kejadiannya?" tanya Jeffry. Ada tatap penyesalan di matanya. "Padahal Wio sudah menemaninya."

"Aku tahu, tapi mereka pun menyerang Wio. Wio entah berada bersama siapa sekarang, tapi dia berhasil diselamatkan," sahut Albert.

Baru mau buka mulut untuk memaparkan informasi yang dia dapatkan dari hasil pengintaian rekan-rekannya, Albert melihat sesuatu di belakang Jeffry. Dia tampak terbelalak sebelum menormalkan pandang matanya. "Pengintai." Dia mengode.

Jeffry langsung membalik badan dan menemukan seorang dengan jas putih ala seorang dokter, tadinya dia mengintip, tetapi sekarang menyembunyikan diri.

"Bahkan dokter pun ada yang jadi pengintai." Jeffry berdecak dengan tatap malas.

Albert menengok ada CCTV yang terpasang di lorong. Sepertinya melihat siapa yang bersembunyi saat Jeffry menoleh. "Aku akan periksa CCTV dalam waktu dekat. Kau di sini saja, menemani Albeta. Jika para pengintai sudah sedekat ini, itu berarti bahaya ada di dekat kalian."

"Kau sendiri bagaimana, Albert?" Tersirat nada khawatir. "G.A.N.J.A. juga memusuhi kalian. Kau juga bisa dalam bahaya."

"Mau taruhan aku hidup atau mati saat bertemu denganmu di kesempatan selanjutnya?" Albert menyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja. "Biarkan aku dan Phoska beraksi. Kau jaga saja Albeta."

Jeffry mengangguk. "Hati-hati, Bung."

Alberta pun beranjak. Dia pergi entah ke mana. Tadi sempat menekan earphone di telinganya dan bercakap dengan seseorang. "Bantu aku membekuk orang yang terlihat mencurigakan di CCTV." Jeffry mengernyit. Satu kesan yang ia dapatkan setelah mendengarkan perkataan itu: Phoska, atau yang lain ada di ruangan tempat televisi-televisi kamera pengawas yang tersebar di rumah sakit berada.

Jeffry masuk ke dalam dan menemui Albeta yang penasaran. Jeffry memilih untuk tidak memberitahu apa yang sudah ia dengar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top