11. Penyerangan

Lelaki itu dibuat kalut. Dia mondar-mandir di depan mobil dua orang bawahan Aldi itu yang melihat kejadiannya, tetapi sialnya mereka tidak bertindak. "KATANYA KALIAN AKAN MENJAGANYA!"

"Tidak." Yang berkacamata menepis pukulan Wio yang terlayang padanya. "Dia beraksi tanpa kami ketahui."

"Lalu." Wio menatap nyalang. "bagaimana kau bisa tahu Nia diculik Dandi, huh?" Rahangnya mengeras. Dia jadi marah setelah mendengar detail kejadian dari pria-pria itu.

Wio lekas mengabari ke supir bahwa Nia hilang. Supir ikut bingung. Dia hendak menolong, tetapi harus segera berangkat. Wio memutuskan menurunkan barangnya dan barang Nia. Wio akan bertahan sejenak di masjid itu untuk berbicara dengan dua orang misterius itu.

Bus pun pergi meninggalkannya.

Dua orang itu pun mengenalkan diri, diketahui bahwa mereka adalah bawahan yang dikirim Aldi. Wio langsung menanyakan apa yang terjadi.

Mereka berdua sudah mengikuti bus sebelum merasakan ada mobil lain yang mengekor. Mobil itu berhenti saat bus juga berhenti. Dandi merupakan pengemudinya. Dia berbaur dengan warga sekitar, masuk ke bilik toilet perempuan yang sepi. Saat Nia masuk ke sana dan keluar, Dandi keluar dari bilik dan segera menyekap mulutnya. Nia mungkin sempat melawan, tetapi Dandi sepertinya lebih kuat.

Dandi menyeret Nia ke pintu belakang toilet. Dia memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Kalaupun ada, Dandi akan beralasan bahwa Nia mabuk perjalanan dan minta digendong.

Nia pun dimasukkan ke dalam mobil dan pergi saat Wio menunggu di dalam bus.

Wio mengerutkan dahi sepanjang cerita mereka. Mobil putih, Avanza, plat kadaluwarsa, merupakan ciri-ciri mobil yang dinaiki Dandi. Tetapi, Wio tidak melihat mobil itu berhenti di sekitar bus. Wio mungkin tidak melihat-lihat, tetapi dia yakin tidak ada mobil seperti itu.

Tak ada jawaban dari dua orang itu, membuat Wio meneguk ludah dan mengambil ponselnya. "Biar aku telepon Aldi, apa benar kalian berdua yang payah ini yang dia kirimkan."

Wio menekan nomor Aldi dan meneleponnya. Sambil menunggu diangkat, Wio menatap dua orang itu yang mulai bertingkah mencurigakan. Mereka berdua berhasil membuatnya memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan. Sekarang, Wio merasa itu adalah keputusan salah.

"Halo?" suara Aldi di seberang telepon.

"Aldi, apa kau mengirim dua bawahanmu untuk mengawasi Nia selama di Balikpapan?" tanya Wio.

"Sudah. Mereka sudah sampai Balikpapan malahan," jawab Aldi. "Aku bahkan mengirim satu orang untuk mengiringi kalian. Nanti dia akan menemanimu saat kembali ke Tenggarong."

Wio seketika berkeringat dingin. "Jadi, dua orang yang ada di depanku ini siapa?" gumamnya, menatap dua orang itu yang melepas kacamata dan bandananya.

"Wi? Wio? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Aldi, terdengar cemas.

Dua orang itu mendekat. Wio melihat sekitar, suasana sedang sepi, cuma orang yang iseng berlalu-lalang saja yang dapat mengetahui bahwa dirinya sedang dalam bahaya sekarang.

Wio berjalan mundur, terhenti karena tubuhnya menempel pada pagar beton masjid.

"Wio!" panggil Aldi, sedikit lebih keras.

"Aldi, aku butuh bantuan." Wio mematikan ponselnya, berlari menerobos dua orang itu, tetapi ditahan dan ditarik balik.

Wio segera mendapatkan pukulan di perut yang membuatnya mengerang dan membungkuk, memegangi perutnya. Rambutnya dijambak, kepalanya ditahan ke pagar beton. Tubuhnya dibalik, bagian depan menempel ke tembok. "Kau beruntung masih kami beri waktu untuk menelepon siapapun yang bernama Aldi itu," kata pria yang tadi berkacamata.

"SIAPA KALIAN? KALIAN KE MANAKAN NIA?" tanya Wio, berteriak. Mulutnya berusaha diikat dengan bandana, dia memberontak, tetapi tak bisa. Wio ingin menggunakan kakinya untuk melawan, tetapi belakang lututnya ditendang, membuat lelaki itu berteriak kesakitan, mulutnya terbuka lebar, dan dia berhasil disumpal.

"Nia baik-baik saja dengan Dandi," bisik salah satu dari mereka. Yang lain, mengikat tangan Wio dengan bandana yang lainnya.

Wio berusaha melepaskan diri.

"Diamlah, Bajingan!" Tendangan di belakang lutut terasa lagi, Wio berteriak tertahan. Dia kemudian jatuh berlutut dengan muka kesakitan.

"Dengar!" Rambutnya kembali dijambak. Wio mendongak ke atas. Wajah yang tadi berkacamata kini terlihat di atas wajahnya, menyeringai seram. "Anggap saja ini pelajaran. Jangan ikut campur! Ini adalah urusan Nia dan Andi."

Wio menyadari bahwa mereka adalah rekan-rekan Andi.

"Jika kau ikut campur, kau bisa dapat lebih dari ini," sambungnya. "Jadi, diamlah. Lagipula, dia bukan siapa-siapamu, bukan?" Pria itu kemudian tertawa.

Wio menggeram. Dia memberontak kembali, berusaha melepaskan diri untuk memukul pria itu.

Namun, malah dia yang dipukul, kali ini sangat keras. Wio terjatuh ke samping, ia kemudian ditendang. Wio hanya bisa mengerang akibat kesakitan. Lelaki itu menjadi lemas. Mereka menendangnya sampai Wio tak dapat mengerang lagi.

Dua pria itu pun meninggalkannya dan menatap penuh ancaman warga-warga yang menonton mereka dari tadi. Dua orang itu pun pergi, membawa barang-barang Wio dan Nia ke dalam mobil, lalu melaju entah ke mana. Warga menghampiri Wio yang pingsan karena kesakitan. Dia dibaringkan di dalam masjid, luka-lukanya diobati.

Mereka hendak menolong pemuda itu dari tadi jika saja tidak diancam dengan senjata api. Senjata itu dipastikan berisi karena saat ditembakkan ke seekor ibu ayam yang sedang berjalan dengan anak-anaknya, ibu ayam itu mati seketika. Tidak ada warga yang mau ambil resiko, jadi mereka menunggu Wio selesai dipukuli, orang-orang jahat itu pergi, baru mereka menghampiri dan mengobatinya.

Sekitar dua jam kemudian, Aldi datang dengan mobilnya. Dia bersama beberapa anak buahnya. Aldi bertanya panik pada warga di sekitar masjid. "Apa kalian melihat pemuda berambut panjang yang-"

"Anu, tadi dikeroyok dua orang. Itu, lagi diobati di dalam masjid." Aldi langsung masuk ke dalam bangunan itu setelah mendapatkan informasi dari seorang paruh baya. Wio belum sadar dari pingsannya. Aldi meminta warga untuk menyerahkannya. "Aku kenal dia. Biar aku yang merawatnya, terima kasih untuk bantuannya."

Wio pun dibopong, dimasukkan ke dalam mobil. Aldi menyetir mobil, kembali ke Samarinda. Di tengah perjalanan, Wio tersadar. Baru sedetik membuka mata, dia meraung kesakitan. "ALDI, NIA DICULIK!" teriaknya saat mengetahui dirinya di dalam mobil Aldi.

"Tenang dulu, hei!" Setengah anak-anak buah Aldi yang ikut untuk kembali ke Samarinda berusaha menenangkan lelaki itu. Setengah yang lain tinggal di masjid karena disuruh untuk mencari sesuatu yang mencurigakan, dan keberadaan salah satu rekan mereka yang mendadak menghilang.

Mobil Aldi memasuki sebuah perumahan dan mereka berhenti di depan sebuah rumah minimalis bertingkat dua. Anak-anak buah Aldi keluar dan membopong Wio untuk berjalan. Aldi membuka kunci rumah dan memasukkan Wio ke sana.

Aldi langsung mengunci rumah setelah mereka semua masuk. Wio masih panik saat itu.

Aldi berusaha menenangkannya. Wio tak henti-hentinya bercerocos. Pria itu langsung menangkup wajah lelaki itu, menatapnya. Wio langsung berhenti bercerita dengan panik. Sebagai gantinya, dia menangis.

Wio didudukkan perlahan-lahan ke atas sebuah sofa tunggal. Aldi menyuruh anak buahnya untuk mengambilkan air putih.

"Tegak apa ni? (Bagaimana ini?) Apa yang harus aku katakan pada orang tuanya? Aku bisa dimarahi habis-habisan," ujarnya, sesenggukan. Sementara anak buahnya berusaha membuat lelaki itu tenang, Aldi berdiri dan berpikir. Wio benar kalau Nia akan dicelakai di perjalanannya antara Samarinda ke Balikpapan. Namun, itu jika dia sendirian. Kenapa serangan tetap dilakukan saat Wio menemaninya.

Wio perlahan-lahan tenang, tetapi masih sesenggukan dan ketakutan. Dia takut memberitahu orang tua Nia.

"Aldi, bantu aku melapor ke kepolisian. Aku ... mau kepolisian saja yang bilang ke orang tua Nia," pintanya dengan napas tersengal.

Aldi mengangguk. Tidak ada cara lain untuk menenangkan Wio. Sepertinya dengan melapor, dia akan jadi sedikit baikan.

Maka setelah Wio tidak sepanik tadi, Aldi mengantar Wio ke kantor polisi. Aldi juga menemani Wio untuk melapor. Kepolisian langsung memproses laporan tersebut dan berjanji akan bekerja secara cepat. Benar saja, dua jam setelahnya, laporan tersebut diterima dan pencarian mulai dilakukan.

Kepolisianlah yang menelepon orang tua Nia. Mereka meminta nomor ponselnya yang disimpan Wio.

Orang tua Nia langsung syok dan panik di Balikpapan. Mereka langsung menangis dan meminta kepolisian untuk segera bertindak dan mencari anaknya.

Wio pun ditahan. Dia harus diinterogasi mengenai kasus ini.

Aldi menunggunya sampai sore mulai beranjak malam. Wio keluar dari ruangan interogasi. Polisi yang mengiringinya bilang pada Aldi bahwa Wio bukan satu-satunya saksi. "Warga sekitar tidak membantu, itu aneh. Kami akan menyelidikinya secepat mungkin."

Aldi mengangguk. Dia berterima kasih.

Setelah itu, Wio diperbolehkan pulang. Lelaki itu sudah sembab. Aldi baru tahu Wio sesedih itu saat kehilangan Nia.

Aldi ingin mengorek informasi dari Wio, tetapi melihatnya kelelahan membuat Aldi membatalkan niatnya. Di jalan pun mereka lebih banyak diam. Setelah sampai di rumah, Wio duduk di atas sofa dan meneguk air putih yang sudah tersedia di atas meja.

"Aku akan berusaha untuk membantumu, Wio," kata Aldi. Wio hanya mengangguk kecil. Lelaki itu terlihat menyerah.

Tanpa disadari Aldi, Wio tertidur duduk di atas sofa. Aldi bangkit, membaringkannya. Pria itu mengambilkan Wio selimut, membentangkannya di atas badannya. Aldi melihat wajah lelaki itu yang lebam di beberapa bagian. Lelaki itu sepertinya juga diserang, dan melawan, tetapi gagal.

Aldi menemui anak-anak buahnya. Mereka membicarakan yang sudah terjadi hari itu.

"Warga-warga tidak membantu Wio saat dia diserang." Salah satu dari mereka memaparkan temuan mereka. "Mereka seperti ... diancam."

"Andi punya banyak anak buah, kita salah satunya--mantannya. Kurasa yang menculik bukan Andi."

"Tentu saja bukan," sahut yang lain. "Andi mungkin hanya menyuruh."

Aldi mendengarkan pendapat-pendapat mereka. Dia berusaha berpikir, apa yang sebenarnya Andi rencanakan? Dia tidak pernah berpikir akan secepat ini rencananya terlaksana. Aldi kira anak-anak buah Andi tidak akan menyerang Nia karena Wio menemaninya. Ternyata salah.

"Oh, ya, Marsya hilang." Perdebatan mulut di dalam ruangan itu berhenti saat mereka mendengar kabar itu. Aldi semakin stres dibuatnya.

Marsya adalah lelaki yang ia tugaskan untuk menemani Wio pulang dari Balikpapan setelah mengantar Nia. Kini, dia ikut hilang bersama Nia. Itu artinya, anak buah Andi berhasil melacak keberadaannya dan menangkapnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top