10. Hilang
Satu hal yang Wio pikirkan saat ingin memulangkan Nia: meminta bantuan Aldi. Dia mungkin bisa menyuruh salah satu anak buahnya untuk menemani Nia kembali ke Balikpapan, memastikan dia aman untuk beberapa hari sementara Wio kembali ke Sentra.
Wio sebenarnya takut. Andi bisa saja mengincarnya. Bukankah dia yang menyelamatkan Nia saat dijatuhkan dari jembatan penyeberangan? Siapa tahu Andi ingin membalasnya.
Namun, Wio menggeleng kemudian. Apa konstribusinya pada kasus Andi? Kenal, baru kenal tiga tahun yang lalu. Dia tidak mengadu seperti Jeffry. Wio rasa dia akan baik-baik saja saat pulang ke Sentra sendiri.
Meski begitu, ia tetap harus waspada. Dia tak bisa menebak pikiran seseorang.
Setelah datang ke rumah, Wio meraih ponselnya dan meminta nomor Aldi pada Nia. Nia memberikannya setelah Wio memberi alasan bahwa dia ingin lebih mengenal pria itu. "Punya banyak teman itu bagus, bukan?"
Wio segera mengetik pesan padanya, menceritakan apa yang sudah ia dengar. Baru saja hendak mengirim, jempol Wio tertahan di udara. Dia baru kenal Aldi. Apakah Aldi bisa dipercaya?
Wio kembali berpikir, menyandarkan kepala di bagian atas sandaran sofa. Nia sedang sibuk mengemasi barangnya. Dia mungkin tampak tenang, tetapi lelaki itu bisa merasakan Nia sedikit ketakutan. Ia berencana memesan kursi bus sore nanti.
Sepertinya gadis itu memutuskan pulang secepatnya. Wio jadi sedih. Dia tak bisa berlama-lama dengan Nia.
Wio kembali menatap ponselnya, melihat pesan yang belum dikirim. Wio menutup mata, menghembuskan napas, menyakinkan diri bahwa Aldi orang baik-baik dan dia bisa membantunya. Lelaki itu pun menekan ikon 'kirim'.
Dia membuang napas.
Tak beberapa lama kemudian, ponselnya berbunyi. Aldi segera membalasnya. "Nahkan. Sudah kuduga dia diincar. Jadi, apa maumu? Aku mengirim anak buahku untuk menjaga Nia sejenak di Balikpapan, atau apa? Untuk menemanimu pulang ke kampung?"
Wio melirik Nia. Dia ingin memastikan gadis itu tidak mendekatinya saat ia mengirim pesan pada Aldi. Nia tidak boleh tahu kalau Aldi merupakan penyamar kepolisian yang memiliki banyak anak buah.
"Untuk menemani Nia saja," ketik Wio. "Aku bisa pulang sendiri."
Tidak ada balasan, dan Nia memanggil lelaki itu. "Sayang sekali kita tidak bisa lama-lama di sini. Ini jadi menakutkan saat Andi ternyata kabur karena mengincarku." Dia mengajak bicara.
Wio menyimpan ponselnya. "Sebenarnya bisa." Nia menoleh pada lelaki itu. "Selama empat--kurasa lima--hari ini, tidak ada yang aneh yang terjadi, bukan? Andi tidak bisa sembarangan muncul di kota ini. Keamanannya 'kan diperketat."
"Seperti kau tidak tahu saja Andi orangnya seperti apa." Nia mendengkus. "Dia bisa mengambinghitamkanku tiga tahun lalu, menyewa banyak orang untuk membuat kasus palsu, dan menyogok Jeffry. Itu artinya dia bisa menyamar untuk mencelakakanku."
"Sekarang." Wio memajukan badannya, menopang dengan siku menempel di paha. "bagaimana bisa kau yakin dia akan mencelakakanmu? Siapa tahu itu cuma gertakan."
"Kalau dia menggertak pun untuk apa, Wio?" tanya Nia. "Andi sepertinya bukan orang yang seperti itu."
Wio membuang napas. Nia menyibak poni rambutnya ke belakang.
"Gini amat berurusan dengan pengedar narkoba," katanya, memandang ke bawah. Ada sirat penyesalan dalam perkataannya. Wio segera bangkit dan duduk di sebelahnya. "Semua ini tidak disengaja, kau tahu?"
"Sengaja," sanggah Nia. "Seharusnya aku tidak berurusan dengan S.A.B.U. sejak awal." Gadis itu memikirkan masa lalu di mana ia pulang ke kampungnya, Sentra, dan malah berurusan dengan satu kelompok pengedar sabu. Nia terlalu penasaran, membuatnya disekap untuk diamankan oleh kelompok tersebut. Itu adalah kali pertamanya bertemu dengan Jeffry.
Wio mengelus-elus bahu Nia. "Sudah, berhenti menyalahkan dirimu sendiri." Dia memeluk Nia.
Nia hanya diam. Dia tak membalas pelukan itu. Ia merasa bersalah. Seharusnya sejak awal, dia tidak berurusan dengan S.A.B.U. Nia tidak tahu akibatnya bisa berjangka panjang seperti ini. Buktinya, dia masih dalam ancaman setelah tujuh tahun berurusan dengan mereka.
"Sudah, bukan salahmu," bisik Wio.
Nia menghela napas, lalu mengangguk. Wio melepas pelukannya dan menangkup wajahnya, mencium dahinya. Nia perlahan menyunggingkan senyum dan meraih tangan Wio, memain-mainkan tangannya yang keras. Wio terkekeh. Dia berbaring, Nia di atasnya. Mereka memutuskan untuk kembali bercerita. Siapa tahu hari ini adalah hari terakhir mereka bisa sedekat itu dan mengisahkan banyak hal.
***
Matahari mulai beranjak ke barat saat Nia dan Wio keluar dari area stasiun bus, untuk menanyakan harga tiket dari Tenggarong ke Balikpapan. Untungnya ada rute pulang-balik. Wio membeli tiket yang itu.
Mereka mencari makan, lalu pulang ke rumah. Bibi mengabarkan bahwa dia masih belum bisa pulang. "Nanti kalau Nia sudah tidak mendiaminya, sembunyikan kuncinya di bawah alas kaki ya," pesannya saat Nia mengabari bahwa ia akan pulang.
Mereka berdua pulang ke rumah dan seperti biasa, kembali bercerita. Barang-barang sudah dibereskan. Setelah makan, Wio berbaring di paha Nia dan menceritakan kisahnya.
"Abah dan Mamak bertengkar hebat. Abah pergi dari rumah dengan motor bebeknya. Sampai sekarang entah ke mana. Aku harap dia sudah mati diam-diam karena diseruduk babi hutan."
"Heh, jangan begitu, Wio." Nia menepuk dahinya. "Dia bapakmu."
"Bapak apa seperti setan begitu?" Wio terkekeh. "Syukur dia pergi. Adam tak perlu membawa seorang biadab seperti itu di perpisahan SMA-nya."
"Adam? Oh, adikmu itu 'kan? Apa kabarnya sekarang?"
Wio menjawab pertanyaan Nia, mengatakan bahwa anak itu memilih untuk ikut jejaknya, menjadi distributor buah sawit. "Sudah kusarankan untuk kuliah karena dia anak yang pintar sekali, tapi dia menolaknya. Dia mau berbisnis, mau bekerja dulu denganku. Ya sudah, aku tak bisa memaksanya."
Nia mengangguk-angguk.
Percakapan beralih ke saat Nia kuliah di mana dia menceritakan banyak hal pada Wio. Dia sempat tertinggal dua semester karena sakit akibat kelelahan. Setiap ujian semester, Nia pasti demam tinggi, membuatnya terkadang rawat jalan, berbaring di kosnya dengan keadaan infus menempel di tangan.
"Syukurnya aku bisa mengatasinya." Nia tersenyum, menguncir rambut Wio yang terurai.
Wio menceritakan tentang Wursi dan Lana. "Mereka pekerja keras." Dia tersenyum. "Bapak Wursi sudah meninggal. Ibu Lana sedang sakit, dijaga sepupu Lana, karena Lana tidak bisa pulang dulu dari shif di perusahaan."
"Aku turut berduka." Nia memasang wajah sedih. "Aku sebenarnya ingin kita bertemu secara lengkap, melepas rindu. Aku jadi ingat saat kita berurusan dengan S.A.B.U., G.A.N.J.A. Kau lagi mesum-mesumnya pada saat itu." Gadis itu menjentik dahi Wio.
"Oh, kau suka saat aku mesum huh? Aku akan masuk ke kamar mandi saat kau mandi, Nia, tunggu saja." Wio menatap nakal.
"Kupukul kau." Nia mengepalkan tangannya.
Wio terkekeh serak. Dia memejamkan mata, bernapas ritmis.
Nia dan Wio menikmati malam itu dengan Nia menguncir rambut Wio dan Wio tertidur di paha Nia. Mereka kemudian tidur di atas sofa dengan Nia di atas Wio, Wio memeluk Nia.
Wio tidur tak terlalu lelap, jadi dia mendengar ada dering di ponselnya pertanda ada pesan masuk. Wio meraihnya di atas meja, mengucek mata. Pesannya dari Aldi. "Aku mengirim dua orang untuk keberangkatan kalian besok. Mereka akan mengawasi Nia selama tiga hari saja. Aku juga butuh mereka untuk membantuku."
"Tidak mengapa." Wio mengetik balasan. "Cukup pastikan dia aman-aman saja."
Wio menutup ponselnya. Dia membuang napas. Meskipun sudah meminta bantuan, dia masih takut Nia kenapa-napa. Tidak ada yang tahu kapan bahaya akan datang.
Keesokan harinya, Nia dan Wio berjalan sendiri ke halte bus yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Bibi. Mereka berdua sampai saat bus itu mulai mengangkut penumpang. Nia dan Wio berlari-lari kecil untuk masuk ke sana.
Mereka duduk sesuai nomor dari tiket bus yang mereka beli. Bersebelahan, syukurnya. Nia duduk di dekat jendela, memandangi rumah-rumah yang berlalu cepat. Bus menaiki jembatan penyeberangan, mereka mulai meninggalkan Tenggarong.
Nia sudah mengabari orang tuanya kalau dia kembali lebih cepat. Kemungkinan tiba saat siang atau sore nanti.
"Bagaimana kalau kau menginap, Wio? Kalau pulang-balik, kau bisa datang malam," kata Nia, khawatir.
"Terima kasih, Nia, tapi aku mau langsung pulang saja." Wio tersenyum. "Kau pasti menanyakan itu takut aku diapa-apakan 'kan?"
Nia mengangguk pelan.
"Aku akan baik-baik saja. Tenanglah." Wio kembali mengelus kepala gadis itu. Nia segera menyandarkan kepalanya ke bahu lelaki itu.
"Aku akan sangat merindukanmu," ucapnya.
"Aku juga." Wio mengecup pucuk kepalanya.
Mereka terdiam, menikmati perjalanan dengan keadaan bus yang ramai oleh penumpang yang beraneka ragam. Suara bising mesin terdengar menganggu. Melewati perjalanan menanjak, menurun, berbelok ke kanan, kiri, sebelum tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12 siang di mana bus berhenti untuk beristirahat sejenak. Mereka berhenti di sebuah masjid di desa terpencil.
Nia memutuskan untuk turun dan menggunakan toilet yang ada di masjid. Wio mengekorinya. Wio selesai membuang hajat saat azan Zuhur berkumandang.
Dia masuk ke dalam bus, tidak menemukan Nia di kursinya. Wio rasa Nia masih di dalam toilet, atau sedang berbaur dengan penumpang lain yang membeli dagangan yang ada di samping masjid. Wio duduk di kursinya, meneguk air mineralnya, menyimpannya, dan memeriksa ponsel, apakah ada pesan atau panggilan yang tak terjawab.
Penumpang-penumpang lain mulai masuk ke dalam bus. Mereka duduk di tempatnya masing-masing dengan Wio yang terkadang menengok. Apakah Nia sudah masuk atau belum.
Sampai bus mulai terisi penuh dan supir sudah masuk dan mulai menyalakan mesin bis. "Sudah lengkap?" tanyanya, setengah berteriak. Wio melebarkan mata. Nia belum masuk dari tadi. "Pak, satu orang belum!" Lelaki itu segera menyahut. Wio bangkit dari duduknya, berjalan cepat ke pintu keluar. "Tunggu sebentar, biar saya cari." Wio menelepon Nia, ingin memberitahu bahwa busnya akan berangkat. Lelaki itu berlari, berkeliling masjid, bertanya pada warga sekitar apakah melihat Nia atau tidak. Semuanya menggeleng. Wio jadi cemas dan kembali menelepon Nia, tidak diangkat.
Wio bahkan nekat ke toilet perempuan, mengagetkan anak-anak perempuan yang sedang ber-wudhu untuk siap-siap mengaji di masjid.
Tak peduli, dia memeriksa semua biliknya, tetap tak ada Nia. Perasaan Wio mulai campur-aduk. Nia akan selalu mengabari jika dia ada urusan sejenak.
Wio keluar dari bilik toilet perempuan, bertanya pada supir bus apakah gadis yang ia maksud sudah masuk ke dalam bis. Supir menggeleng dengan muka kesal karena Wio memperlama waktu perjalanan mereka, sekaligus memasang mimik khawatir karena salah satu penumpangnya tidak ditemukan. Wio jadi panik.
Wio kembali berkeliling dengan kaki melangkah cepat sebelum dia menemukan dua lelaki yang mencegatnya. Satunya berbandana, satunya berkacamata hitam. "Mencari Nia?" tanya yang berkacamata hitam. Wio tak kenal siapa mereka, tetapi, sepertinya mereka tahu sesuatu mengenai ke mana perginya gadis itu.
Wio mengangguk.
Pria itu mengambil sesuatu di dalam saku bajunya, sebuah ponsel yang retak. "Aku minta maaf jika ini adalah kabar buruk, tapi Dandi sudah menculiknya."
Wio terkejut. "A-Apa?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top