1. Nia Akan Wisuda
Hari mulai beranjak siang saat orang-orang itu menaikkan buah sawit ke sebuah mobil pick-up hitam. Masih banyak buah sawit yang belum diantar, tapi senyum semangat mereka tidak pudar. Hari ini hasil panen sawit melimpah, mereka akan dapat banyak uang dari pemilik kebun apabila berhasil menjual semuanya ke perusahaan sawit.
"Pastikan tidak kepenuhan!" Salah satu dari mereka berinisiatif mengingatkan. Akan sangat sulit apabila mobil pick-up itu tak bisa bergerak karena kelebihan muatan.
"Kami tahu!" Terdengar sahutan. Seseorang yang tadi berseru, tersenyum, lalu menoleh ke dua pick-up lain yang menunggu untuk diisi juga. Dia lalu beranjak untuk menghampiri kursi supir.
Ia membuka pintu mobil, duduk di sana, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Rokok itu diisap dan asapnya dihembuskan ke udara. Lelaki itu kembali mengisap rokoknya sebelum diteriaki dari belakang. "Sudah!"
Ia melirik ke spion, lalu memegang setir dan menyalakan mobil. "Aku pergi dulu!" Tangannya dikeluarkan untuk dilambaikan.
"Oke!"
Lelaki itu pun menginjak gas dan mulai membawa bertumpuk-tumpuk buah sawit itu ke perusahaan sawit yang jaraknya beberapa kilometer dari kebun.
Debu-debu berterbangan saat ban mobil menjalani jalan setapak. Daun-daun melayang-layang gara-gara diterpa angin dari laju mobil.
Beberapa menit kemudian, lelaki itu pun sampai. Mobil segera dinaikkan ke jembatan timbang untuk diketahui berapa kilogram muatan sawit yang sudah dibawa. Petugas melihat hasilnya, lalu mencatat di kertas tugasnya.
Mobil baru diperbolehkan turun setelah petugas itu berhenti menulis. Mobil dimajukan, lalu diparkir. Orang-orang menganggur yang ditugaskan menurunkan buah sawit dari mobil pick-up, langsung mengambil tojok sawit dan mulai menurunkan isinya. Si supir keluar sejenak untuk menemui salah satu temannya yang baru saja beristirahat setelah menurunkan buah sawit milik kebun lain.
"Apa habar awak, Lana? (Apa kabarmu, Lana?)" sapanya.
"Baik-baik ja ni (Baik-baik saja ini)." Lelaki kecil dengan kulit belang meraih jabat tangan teman masa kecilnya. "Awak sendiri gekmana habarnya, Wio? (Kau sendiri bagaimana kabarnya, Wio?)"
Wio dengan rambutnya yang panjang sebahu, menghembuskan asap rokok ke Lana. "Aku kecanduan rokok," jawabnya sembari Lana mengipas-ipas udara untuk menghilangkan asapnya.
"Berapa banyak rokok yang kauhabiskan dalam sehari sampai-sampai berkata begitu?" Lana mengernyit.
"10 batang, atau lebih."
Lana terbelalak. "Ai! Jika aku tahu kau bakal secandu itu, tidak bakal kutawari rokok waktu itu," ujarnya, tersirat penyesalan.
"Aku berusaha untuk berhenti, kok, tenang saja." Wio mengisap rokoknya, lalu menghembuskan napasnya ke bawah. "Dan ini bukan salahmu, ini salahku yang selalu penasaran." Dia tersenyum.
Lana menghela napas. Dia pun menepuk-nepuk lengan Wio dan balas tersenyum.
"Bekerja di sini sepertinya melelahkan ya?" Wio menatap ke sekeliling. Banyak orang yang bekerja menurunkan buah sawit dari mobil-mobil pick-up yang terparkir. Mobil-mobil itu berasal dari kebun sawit yang berbeda-beda.
"Dari pagi sampai siang ini, tidak ada yang berhenti mengirimkan buah sawit. Tumben sekali, tapi ndi apa. Kami on the way mendapatkan uang banyak." Lana ikut menatap rekan-rekan kerjanya. Yang sudah selesai menurunkan buah sawit, akan beristirahat di sebuah mess. Beberapa rekannya terpantau sedang bercerita sambil minum kopi.
"Aku juga bakal dapat uang banyak karena hasil panen kebun bosku berlimpah," sahut Wio. "Aku berencana ke Tenggarong dengan uang-uang itu. Kau mau ikut?"
Lana menoleh dengan mata berbinar. Namun, sedetik kemudian, dia memasang raut sedih. "Sepertinya tidak bisa. Aku harus tinggal di sini. Mamak lagi sakit di rumah soalnya, harus dijaga."
Wio melebarkan mata. "Sakit kah mamakmu? Siapa yang jaga dia sekarang?"
"Ada, sepupu."
Wio ber-oh-ria.
"Semoga mamakmu cepat sembuh ya." Wio melihat mobil pick-up-nya sudah kosong dari buah sawit. "Aku balik dulu. Aku harus mengambil buah sawit yang lain."
"Oke, hati-hati, Wio!" Lana melambaikan tangan dengan Wio yang masuk ke mobilnya, lalu mengklakson sebelum pergi meninggalkan perusahaan.
Wio kembali ke kebun, menunggu buah-buah sawit diangkat ke mobilnya. Sesekali membantu mengangkatnya, lalu mengantarkan ke perusahaan. Begitu terus sampai buah sawit hasil panennya sudah kosong, hanya menyisakan terpal biru milik pekerja yang beristirahat sejenak.
Wio mengembalikan mobil pick-up itu pada pemilik kebun dan menyerahkan kuncinya. "Nanti saya beri upahnya ya." Pemilik kebun yang merupakan pegawai negeri sipil di kantor desa itu menepuk-nepuk bahu Wio. "Terima kasih untuk hari ini."
Wio hanya mengangguk sambil tersenyum.
Wio pun berjalan pulang. Azan magrib sudah berkumandang saat dia sampai di rumah. Wio disambut adik-adiknya yang sudah siap di depan televisi. Ibu memasak di dapur, Wio memeluknya dari belakang dan ibunya balas memeluknya.
"Kerja berat ya hari ini?" tanya wanita paruh baya itu. Tangan keriputnya mengelus rambut Wio, lalu mengacak-acaknya. "Mandilah, nanti Mamak buatkan makan."
"Makasih, Mak." Wio mengambil tangan ibunya, lalu menempelkannya ke dahi. Dia segera ke kamarnya untuk mengambil baju ganti, lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah mandi, makan, dan membantu adik-adiknya mengerjakan PR yang baru ingat mereka kerjakan, Wio masuk ke kamarnya dan mengambil ponsel. Layarnya sedikit retak. Wio membuka beberapa aplikasi sebelum menyadari ada beberapa panggilan tak terjawab.
Dari teman masa kecilnya yang kini sedang memperjuangkan wisudanya.
Wio mencoba menelepon balik, tapi tidak diangkat. Wio pun mengecek pesan yang ditinggalkan. Gadis itu, meskipun lewat pesan, Wio dapat merasakan perasaan senangnya.
"Hai, Wio, bagaimana kabarmu? Sudah lama tidak berjumpa. Hei, coba tebak, besok aku pulang ke Kalimantan, lho! Tapi, tegaknya ndi sampai pulang ke desa. Aku dapat cuti sebentar dari kampus, sebulan sebelum wisudaku! Aku memutuskan untuk pulang, tapi mungkin cuma sampai di Balikpapan. Tapi, waktunya lama 'kan ya? Oke, aku akan pertimbangan untuk pulang ke desa, sekaligus mengantar Pira yang akan cuti sekolah."
Wisuda? Wio terbelalak. Gadis itu akan wisuda?
"Aku minta maaf belum mengabarimu. Aku sibuk sekali dengan ujian, tes, dan tugas akhir yang butuh waktu berbulan-bulan untuk selesai. Aku sudah melewati semuanya dan akan wisuda kemungkinan bulan depan. Saking sibuknya, aku baru sadar aku tidak memberitahumu. Bahkan, aku kaget kita terakhir kali berkomunikasi enam bulan yang lalu! Maafkan aku, Wio, tapi ini juga salahmu yang tidak bertanya-tanya. Hihihi."
Wio berdecak. Dia menyunggingkan senyum.
"Coba tebak kapan aku pulangnya? Besok! Tapi, besok sampai seminggu ke depannya, aku akan berdiam di Balikpapan karena Mamak-Bapakku sudah ada di sana. Nanti pas aku balik ke Jawa, mereka ikut aku untuk menghadiri wisuda."
"Mau bertemu di minggu kedua cutiku? Aku tidak keberatan menyewa satu kamar penginapan di Tenggarong agar aku, awak, Wursi, dan Lana bisa bercerita tentang apa yang sudah terjadi pada kita."
"Akan kuusahakan dua minggu kita bersama. Hei, hei, kudengar Arin akan menikah di Tenggarong dengan seorang pemilik toko roti. Ayo, kita hadiri acaranya! Sementara acaranya pas aku liburan."
"Wio, sepertinya kau sibuk sekali. Jangan lupa balas pesanku ya. Aku mencintaimu! Dan tidak ada satupun lelaki di Jawa yang membuatku jatuh cinta selain awak. Hehe, semangat kerjanya. Salam sayang dari Nia!"
Pipinya bersemu. Wio senang membaca pesan Nia, teman masa kecilnya. Wio dulu sempat mengira Nia melupakannya atau ada lelaki yang membuatnya jatuh cinta, ternyata tidak. Nia hanya sibuk, dan dia masih suka padanya. Wio ingin berteriak senang, tapi ditahan.
Minggu kedua Nia cuti .... Bisa dipertimbangkan. Tapi, apakah Wursi dan Lana bisa? Sebagai pekerja di sebuah perusahaan pengolah buah sawit, tentunya mengambil cuti banyak bisa didenda. Wursi bekerja di perusahaan yang berbeda dengan Lana, peraturan cutinya lebih ketat. Bahkan untuk pulang ke rumah saja, Wursi harus berpikir terlebih dahulu apakah dia bisa berangkat dari rumah ke perusahaan tepat waktu atau tidak.
Keesokan paginya, saat mengantar buah sawit lagi, Wio menanyakan apakah Lana bisa menemaninya ke Tenggarong pada minggu kedua Nia cuti. Lana langsung menggeleng. "Tidak, aku tidak boleh cuti di tanggal segitu. Aku dapat jadwal jaga di perusahaan, bahkan tidak bisa pulang ke rumah. Maaf ya, Wio."
Wio mendengkus.
Setelah selesai bekerja, Wio memutuskan untuk mengunjungi mess Wursi yang jaraknya lebih jauh dari perusahan tempat Lana bekerja. Wio harus melewati jembatan penyeberangan untuk menemuinya. Setelah sampai di sana, jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Wio mungkin akan terlambat mengembalikan mobil pemilik kebun.
Wursi senang bukan kepalang bertemu Wio. Dia tidak ingat kapan terakhir kali bertemu dengannya karena sibuk bekerja. "Apa maksud kedatanganmu?" tanyanya, bersemangat.
"Kau punya kegiatan di minggu kedua bulan depan? Nia sudah pulang dari Jawa, pada waktu itu dia akan ke Tenggarong. Dia ingin bertemu denganmu, Lana, dan aku," jawab Wio.
Mimik Wursi seketika berubah. "Aduh, kau tahu sendiri meminta cuti seminggu itu sama saja pelanggaran. Aku pernah didenda cuma karena ikut acara mendoakan ayahku yang meninggal. Ndi bisa ya, Wio. Mungkin lain kali."
Wio kembali mendengkus.
Jadi, apa hanya dia yang akan pergi ke Tenggarong untuk menemui Nia? Nia akan sangat sedih karena teman-teman lelakinya, teman-teman masa kecil dan teman satu gank-nya saat sekolah dasar, tidak bisa hadir secara lengkap untuk menyambutnya.
Wio berhasil mengembalikan mobil pemilik kebun, hanya terlambat setengah jam. "Kamu ke mana saja baru pulang jam segini?" tanya pemilik kebun setelah Wio menyalami tangannya.
"Tadi mobilnya sempat mogok, jadi saya perbaiki." Berbohong. Tetapi, mobil pick-up itu memang mobil tua, jadi wajar saja pakai alasan mogok, meski tidak sebenarnya.
Pemilik kebun mengangguk-angguk.
Wio kembali ke rumah dan mandi, lalu makan dan masuk ke kamarnya. Dia kembali membuka ponsel dan melihat Nia kembali mengirimkan pesan. Hanya tulisan; "Aku rindu padamu. Ayo, jawab pesanku."
Wio tersenyum, lalu mulai mengetikkan kata-kata. "Kau akan pulang? KAU AKAN WISUDA? Hei, kabar bahagia macam apa ini? Aku jadi menangis." Lelaki itu sedikit mendramatisir. "Tidak, aku tidak menangis. Tapi, selamat ya atas wisudanya! Aku senang sekali setelah membaca pesanmu."
"Aku juga minta maaf tidak mengirim pesan padamu selama kurang lebih enam bulan ini. Aku jarang buka HP, sibuk kerja, pun terkadang kutinggal. Tapi, tenang saja, hatiku masih untukmu, Nia. Aku serius." Wio mengetiknya sambil terkekeh.
"Hem, minggu kedua? Aku bisa minta cuti sama Bapak Pemilik Kebun, tapi Lana dan Wursi mungkin tidak bisa. Mereka tidak diperbolehkan cuti pada saat itu. Sepertinya hanya kita berdua yang akan menghadiri acara pernikahan Arin, hanya kita berdua yang menceritakan apa saja yang sudah dialami setelah berpisah tiga tahun yang lalu karena fokus ke kehidupan masing-masing."
"Aku minta maaf. Sepertinya agak lain ya cuma awak dan aku. Awak bisa menggagalkan rencananya, tak apa. Aku tunggu awak mudik ke Sentra saja."
Tepat setelah pesan-pesan itu terkirim, tak lama kemudian, Nia menelepon Wio. Wio terbelalak. Dengan tangan gemetar, dia menerima telepon tersebut dan terdengarlah suara gadis yang selama ini dirindukannya.
"Cengeng banget dapat kabar orang wisuda, malah nangis," canda Nia, lalu tergelak di seberang telepon.
"Anjing!" maki Wio, tak terima, kemudian ikut tertawa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top