Si Gadis Rapuh
Perjalanan pulang mereka lalui dengan hening. Vina yang memang membenci keheningan akhirnya angkat suara.
"Gimana? Sukses gak lo panen padi?" sindir Vina.
Sashi hanya diam memandang keluar tanpa niat menyahuti ocehan tidak penting Vina. Vina mendengus, sepertinya basa-basinya tidak berlaku kali ini.
"Gue tau tiap kali lo menyepi begitu pasti ada yang lo pikirin atau mau tanding. Jadi mana yang lo hadapi kali ini?" tanya Vina serius.
"Tanding." jawab Sashi sambil memejamkan matanya.
"Kamu pucat Sas, pasti belum makan seharian. Kita mampir di rest area dulu ya." ucap Kafka sambil melirik ke kaca tengah dimana pantulan wajah Sashi terlihat.
Sashi hanya diam tidak menyahut. Kafka mulai menaikkan kecepatan agar cepat sampai di rest area terdekat.
Karena Sashi tidak ingin turun, akhirnya Kafka memesan makanan dan akan memakannya didalam mobil.
Kafka masuk dan duduk di bangku penumpang belakang samping Sashi.
"Aku pesanin kamu hot tea sama burger. Dimakan ya sayang." ucap Kafka lembut sambil mengusap kepala Sashi.
Sashi membuka mata dan menatap kearah makanan yang dibawa Kafka sebelum akhirnya mengambil dan mulai memakannya dalam diam.
Walau dia sama sekali tidak nafsu makan. Tapi dia akan tetap memakannya untuk menghargai Kafka dan berhenti membuatnya khawatir. Karena kekhawatiran Kafka padanya adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan.
Vina yang duduk di bangku depan hanya menatap sekilas dan mulai memakan burgernya sendiri. Berusaha untuk tidak ikut campur atau terpancing cemburu.
Usai makan, Kafka meminta Vina menggantikannya menyetir. Kafka tidak tega melihat wajah pucat Sashi. Vina hanya mengangguk dan memaklumi kekhawatiran yang Kafka rasakan.
Kafka menyandarkan kepala Sashi di bahunya, sambil mengusap lembut kepala Sashi. Vina hanya tersenyum kecil melihatnya.
"Kenapa? Enggak biasanya kamu sampai begini kalau mau tanding" tanya Kafka dengan nada lembut yang selalu membuat Sashi tenang.
"Lagi enggak bisa konsentrasi, jadinya aku butuh ketenangan." jawab Sashi lirih.
"Apa yang lagi kamu pikirin?"
Sashi tidak menjawab, dia malah semakin menyerukkan wajah di leher Kafka.
"Kamu tanding dimana memangnya?"
"Singapure,"
Kafka menegang untuk sesaat. Sampai dia ingat kalau Sashi ada dipelukannya. Kafka mencoba santai agar Sashi juga bisa tenang.
"Tremor lagi?" tanya Kafka sambil melihat jemari Sashi yang berada di pangkuan pemiliknya.
Sashi hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
"Gapapa, semua akan baik-baik aja. Percaya sama aku."
Sashi mengangkat kepalanya dan memutar tubuh menghadap Kafka.
Kafka bisa melihat mata Sashi yang mulai berkaca. Kafka merasakan sesak. Dia merasa tak berguna untuk Sashi. Padahal sudah 13 tahun berlalu tapi dia belum juga bisa menghilangkan air mata itu dengan sebab yang sama.
Singapura! mendengar negara itu ingin sekali Kafka melenyapkannya. Walaupun negara itu adalah negara kelahirannya dan Sashi. Bukan melenyapkan negaranya, tapi melenyapkan makhluk yang ada disana.
Bahkan jika membunuh diizinkan. Kafka berani menjamin detik itu juga ia akan menjadi pembunuh untuk sebuah keluarga bahagia di Singapura sana.
"Kangen bunda Ka," ucap Sashi dan setetes air mata meluncur indah di wajah cantiknya.
Kafka membawa Sashi kepelukan. Menenangkan Sashi dengan ucapan bahwa semua akan baik-baik saja. Walaupun Kafka tau, hidup Sashi selamanya tidak akan baik-baik saja jika ia terus seperti ini.
Tapi Kafka selalu berjanji dalam hatinya. Bahwa ia akan selalu mengusahakan kebahagiaan untuk Sashi. Untuk ratu dihati dan di keluarganya itu.
Sashi sudah tertidur dalam pelukan hangat Kafka. Kafka mengeluarkan ponsel dan berniat menghubungi seseorang. Tapi kalimat Vina membuat gerakan tangannya berhenti di udara.
"Kita harus bawa Sashi ke psikiater Kaf, Sashi gak bisa kayak gini terus."
Suara gigi bergemelutuk membuat Vina tau kalau dia sudah salah bicara. Tapi dia tidak ingin berhenti. Sashi adalah sahabatnya, dan dia ingin yang terbaik untuk Sashi.
"Sashi.enggak.gila!" ucap Kafka menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Jangan bodoh Kaf, psikiater bukan cuma buat orang gila. Tapi orang yang depresi atau punya masalah juga bisa ke psikiater. Kali aja dengan ketemu psikolog Sashi bisa lebih baik."
"Enggak ada yang perlu ke psikiater. Sashi baik-baik aja, dia cuma tegang."
"Tegang setiap mau ke Singapura dan dengar negara itu disebut? Sashi sakit Kaf. Apa lo lupa setiap Sashi dengar nama itu dia akan histeris? Itu yang lo bilang engak sakit?" suara Vina mulai naik satu oktaf.
"Gue bilang Sashi enggak sakit! Itu artinya emang Sashi enggak sakit!"
"Bagian mana yang lo bilang enggak sakit dari Sashi? Masih untung dia cuma ngilang dan berakhir diam di pinggir jalan. Lo enhgak inget gimana histerisnya dia waktu papi lo enggak sengaja cerita tentang apa yang ada di Singapura?"
"Sashi cuma tegang! Dia sehat dan akan selalu sehat. Dan lo bukan orang yang berhak ikut campur urusan Sashi. Sashi itu hidup gue, jadi gue yang berhak nentuin Sashi harus apa, bukan lo." desis Kafka tajam.
Vina berusaha sekeras mungkin menahan air matanya.
"Terserah lo! Gue sayang sama Sashi. Sashi sahabat, sekaligus keluarga gue. Gue udah anggap Sashi adik gue. Makanya gue pengen yang terbaik buat Sashi." Tanpa terasa air mata Sashi mengalir.
Kafka tidak menjawab, dia memilih lanjut memainkan ponsel yang sempat tertunda.
"Hallo Pi, lagi dimana?" sapa Kafka saat panggilan ponselnya diterima oleh orang di seberang sana.
"_"
"Papi gimana sih? Kenapa Sashi bisa dapet undangan turnamen di Singapura?"
"_"
"Aku gak mau tau! Pokoknya ini yang terakhir Sashi ke Singapura atau denger nama negara itu."
"_"
"Sashi baik-baik aja. Dia sempat hilang seharian tadi."
"_"
"Iya. Olimpiade nanti aku yang nemenin Sashi. Tapi kita gak akan nginap. Kita akan berangkat di hari Sashi tanding dan pulang saat selesai. Selebihnya aku minta tolong papi yang urus."
"_"
"Iya,, nanti aku sampein ke Sashi. Pasti Sashi kangen sama papi juga."
Sambunganpun terputus. Kafka kembali memasukkan ponsel ke saku celananya.
"Lo capek gak Vin? Kalo capek gantian." tanya Kafka,
"Gapapa, dikit lagi juga sampai."
"Maaf tadi gue kebawa emosi."
"Gapapa Kaf, gue ngerti kok."
Kafka mengangguk walau belum tentu Vina melihatnya. Dia mengencangkan pelukan pada Sashi dan sesekali mencium rambut lembut Sashinya.
"Aku udah janji sama diri aku akan selalu memastikan kamu baik-baik aja. Aku akan selalu ada buat kamu sampai kapanpun." batin Kafka.
"Padahal udah sekian tahun berlalu tapi kenapa rasa ini masih sama untuk kamu Kaf?" batin Vina.
Jakarta, 25 November 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top