2
"Kak Jihyo?"
Gadis itu mengalihkan pandang dari makan siangnya menuju Minho di seberang. Woojin sudah kembali dari cutinya, ditambah mereka mendapatkan Chaeyoung dan Dahyun sebagai personil tambahan. Masih dicari orang-orang yang rela digaji rendah untuk mendengar tumpahan hati mereka yang putus asa. Bukannya apa, hotline ini gratis dan dibiayai dari sumbangan-sumbangan ala kadar dari organisasi beserta sponsornya. Ada kalanya para aktivis kaya datang dan memberikan lebih banyak uang. Tapi lebih baik jika uang itu disimpan untuk kepentingan yang lebih mendesak.
Mungkin hanya orang-orang dengan hati terlalu besar seperti mereka lah yang rela duduk di sini. Minho tidak berhati sebesar itu, tapi sesuatu mengubahnya di suatu malam hingga ia mengiyakan ajakan kakak tingkatnya mengurus hotline ini setelah lulus. Ia hanyalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa baru lulus yang kehilangan arah setelah lepas dari pendidikan. Terombang-ambing tanpa tujuan, menjadikan ini sebagai tujuan sementaranya. Jihyo berbeda. Gadis itu terpanggil untuk bergerak dalam bidang kemanusiaan. Gadis itu seorang penolong, seorang malaikat yang rela mengulurkan tangannya menebar berkah di bumi. Jeongin juga, sekalipun ia masih mahasiswa magang, ia tengah merancang masa depannya yang gemerlap.
Berbeda dengan Minho.
"... tumben manggil Kak. Mau apa?"
Minho berdeham, "Ada telepon dari Jisung?"
Kening Jihyo berkerut saat ia mencoba mengingat-ngingat, "Enggak?" Dikatakannya dengan sebuah gelengan, "Coba tanya Jeongin."
"Jeonginnie?"
Jeongin yang baru saja hendak melangkah ke dalam bilik menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia berpikir, diam sebelum menggeleng pelan, "Enggak ada. Kenapa, Kak?"
Dahyun dan Chaeyoung baru bekerja hari ini, jelas mereka tidak mendengar. Jisung hanya akan menelpon di malam hari (dia yang bilang kalau di siang hari ia sibuk sekali) dan sekarang baru jam makan siang.
Jisung tidak menelpon selama hampir dua minggu. Pembicaraan terakhirnya adalah dengan Jihyo, tentang keinginan untuk menyerah (iya, Minho selalu bertanya pada siapapun tentang obrolan mereka dengan Jisung—Jihyo sampai menatapnya aneh dan berkata, "Kamu kayak orang kasmaran." Hei, dia hanya khawatir!). Setelah itu tidak ada telepon lagi hingga nyaris dua minggu. Mengingat isi obrolan Jihyo dengan Jisung, mau tak mau pikiran Minho merambat ke kemungkinan terburuk. Bahwa Jisung telah menyerah dan pergi (dan hatinya nyeri—berarti ia gagal menyelamatkan orang, bukankah begitu?).
Belum lagi berita tentang kecelakaan yang dialami J.One beberapa hari yang lalu. Sang penyanyi ditemukan kritis, tengah mengalami fase koma, dan sampai sekarang tidak diketahui lagi kabarnya. Mengingat saat ini begitu banyak berita artis yang terlibat kecelakaan, mungkin Korea Selatan harus memperketat aturannya tentang berkendara. Sebagaimana seorang penggemar, tentu saja pikirannya tak jenak memikirkan hidup mati snag idola.
Perasaannya tidak sedang tenang untuk bekerja. Yang mana akan berbahaya untuknya. Dimintanya izin untuk pulang lebih cepat dan untungnya, Jihyo mengerti dan mengizinkan.
.
.
.
Sudah dua minggu dan Jisung barulah menelpon di tengah malam. Minho yang tengah bertarung melawan kantuk di bilik (dan aroma ayam goreng camilan tengah malam Woojin tidak membantu sama sekali) langsung terbuka lebar matanya saat mendengar dering telepon. Tanpa membuang waktu, Minho langsung menggeser kursinya dan mengangkat telepon.
"Halo?"
"Terima kasih, Tuhan. Ini Minho."
Ia kenal suara ini. Ia sangat kenal suara putus asa ini.
"Jisung?"
"Maaf, aku baru bisa menelpon. Ada banyak hal yang terjadi." Suara Jisung masih sesenggukan. Tenggorokannya tampak tercekik. Samar-samar di belakang ia dapat mendengar suara bip bip bip samar (namun ia tidak mau berspekulasi macam-macam), "Dan aku merasa seperti sampah."
Tengah malam kemudian dihabiskan dengan cerita dari Jisung (mungkin lebih tepat jika disebut sebagai curahan hati). Seperti biasa, Minho mendengarkan tiap kata. Jisung tampak kepayahan saat berbicara, entah apa yang terjadi di belakang sana, Minho jelas cemas. Tapi dibiarkannya karena ia tahu, Jisung masih ingin menumpahkan teriakan-teriakan di kepalanya, bisikan-bisikan iblis yang menggelayutinya. Benar, memang. Iblis itu terus berbisik, berbisik, dan berbisik hingga Jisung menyerah.
"Jadi aku mulai mencobanya. Aku mencoba bunuh diri dan lihatlah aku sekarang." Jisung tertawa pahit, "Aku menyesal kenapa aku gagal."
"Kau tahu, Jisung? Aku percaya jika semua orang punya maksud dan tujuan atas hidupnya." Minho mulai berkata. Nadanya dibuat sehalus dan selembut mungkin, "Maksudku, kau mungkin tidak tahu, tetapi mungkin bagi orang lain kau sangat berarti. Mungkin kau adalah mentarinya orang lain. Mungkin ada banyak di luar sana yang sangat, sangat menyayangimu. You are matters and valid."
Jisung tertawa di seberang. Tawanya getir.
"Valid, ya?"
.
.
.
"Boleh aku minta nomormu?"
Adalah pertanyaan yang terlontar dari bibir Jisung di suatu hari. Minho mengangkat alis keheranan. Kondisi Jisung sudah membaik seiring waktu, katanya ia sudah dapat beraktivitas seperti biasa. Katanya juga ia mulai bertemu dengan teman-temannya agar pikirannya lebih tenang. Permintaan itu tercetus begitu saja saat Jisung tahu bahwa yang mengangkat teleponnya adalah Minho. Tercetus dengan nada ringan tanpa suara isak.
Dan entah mengapa, Minho merasa bahwa ia pernah mendengar suara asli Jisung di suatu tempat—bukan melalui telepon hotline, di tempat lain, di okasi lain.
Tapi di mana dan kapan?
"Kenapa?"
"Kupikir—" Jisung berdeham, "—aku ingin mengenalmu lebih dalam. Dan aku butuh teman cerita. Boleh?"
Awalnya ragu, tetapi setelah berpikir panjang Minho menjawab, " ... baiklah."
Minho menyebutkan nomornya melalui telepon. Jihyo pasti akan ribut jika tahu apa yang ia lakukan (katanya, memberikan informasi pribadi operator melalui hotline itu melanggar kode etik), tapi apa salahnya? Toh ia juga menolong orang di sini, ia berusaha untuk mencegah Jisung bunuh diri. Dipikirnya jika ia mengetahui kontak Jisung atau sebaliknya, ia lebih mudah memantau Jisung. Ia akan lebih mudah menjaga Jisung dan menguatkannya agar tidak menyerah.
"Biar aku yang chat kamu duluan, oke?"
.
.
.
Jisung mengirimkan chat tepat saat Minho selesai makan malam. Hanya chat singkat dengan tulisan, 'Ini Jisung. Simpan nomorku, ya.' Minho belum sempat membalas saat sesuatu menyedot perhatiannya. Foto profil Jisung dari aplikasi chat.
Ia kenal dengan wajah itu. Bukankah itu wajah J.One?
Jarinya langsung dengan sigap membuka profil Jisung, dan jantung Minho seakan berhenti saat mengetahuinya. Han Jisung. Dari Seoul. Status terakhirnya tentang bersiap menghadapi rekaman. Tangan Minho gemetar setelahnya, masih gemetar saat ia mengetik balasan. Bagaimana tidak, yang selama ini menelpon dan mengeluh ia ingin mati adalah idolanya. Idolanya yang selama ini menguatkannya dan memberikannya semangat untuk terus berjuang.
Bagaimana hatinya tidak hancur?
[ J.One itu kamu? ]
Tidak sampai lima menit, Minho menerima balasannya.
[ Iya. Jangan bilang siapapun. Aku percaya sama Minho. ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top