Kenapa Cerpen Koran?

Sejujurnya saya benci cerpen koran. Saya menyamakan koran dan cerpen di dalamnya seperti orang tua lusuh yang ketinggalan jaman. Terjebak pada sastra yang memusingkan, dan memetingkan ego pengetahuan agar terlihat pandai di depan pembaca awam. Semakin sulit diksi yang dipakai, semakin bermutulah ia. Jangan lupa untuk mengangkat isu faktual, tambahkan bumbu, dan giring opini publik setelah membaca berita korupsi dan pembunuhan berantai.

Bagi saya, cerpen koran tak ubahnya artikel berita yang difiksikan.

Namun, sejak bergabung dengan Dimensi Kata, saya terpaksa harus menyukainya. Setiap minggu, grup tersebut rutin mengambil cerpen koran pilihan untuk dibantai berjamaah. Setiap pertanyaan yang terlontak dari pembawa cerpen unik-unik, misal: apa yang membuatmu betah pada cerpen ini? Bagaimana pembukaannya? Apa kelebihan cerpen berikut? Apakah gelar, jumlah buku yang diterbitkan, dan pangkat penulis berpengaruh pada dimuatnya cerpen ini? Kenapa bisa diterima redaktur? Apa kesan-pesanmu? Apa kekurangannya? Bagaimana karakterisasinya? Apakah endingnya sudah menutup? Tambahkan sendiri sisanya! Kapan saya dapat jodoh? //lha

Pertanyaan terakhir selalu berkutat pada takdir pembawa cerpen yang tidak bisa menentukan gender sendiri, bingung milih kopi atau susu, perihal hutang warung yang belum tuntas, dan curhat terselubung (jadi buka kartu).

Anyway, saya yang masih remaja kinyis-kinyis harus berkutat pada bacaan orang tua, dan melek sastra. Dulu, bisa membuat tulisan yang mengaduk emosi pembaca sudah luar biasa. Namun, di cerpen koran, menyisipkan opini, mengubah perspektif, dan membuat pembaca pusing tujuh keliling adalah hal yang biasa. Membaca cerpen koran rasanya seperti merangkai kepingan puzzle untuk mendapatkan konklusinya. Syukur-syukur tidak tersesat di tengah jalan. Seringnya kebingungan dan keterpanaan menyaru jadi satu: terpesona pada gaya pencerita si penulis, sekaligus bingung pada konfliknya yang implisit.

Acapkali saya merasa: apa-apaan sih cerpen ini? Dalam cerpen Lucas, Rio Johan tidak mengangkat isu faktual negeri ini. Hanya cerita seorang remaja, yang cinta mati pada kakaknya, dan dendam kesumat pada ibunya yang jahat. Di cerpen Eustasius, member Dimensi Kata menebak-nebak profesi tokoh utama yang tampak paham fisika dan menjadikannya rumus untuk lompat bunuh diri atau tidak. Yang menyebalkan, tidak ada resolusi yang jelas, seolah akhir cerita diserahkan begitu saja pada pembaca yang sudah urut kening, saking implisitnya apakah ini tentang Veronica, Lenin, atau ketercampuradukan itu sendiri?

Lambat laun, saking terbiasanya membaca cerpen koran minimal seminggu sekali: saya jadi belajar banyak. Mulai dari tekhnik menulis, cara membungkus karakter dalam durasi yang singkat, penggambaran latar, deskripsi minimalis, sampai menjalankan cerita dengan tempo dan keteraturan yang konstan. Saya jadi suka cerpen koran dan memfavoritkan beberapa sebagai pegangan. Malah, saya berandai-andai bisa seperti Sandi Firly, yang membawa kebudayaan lokal kalimantan ke kancah nasional (baru dia doang yang saya notis keberadaannya). Tetapi, kemampuan saya masih dangkal pun berkeruh. Jadi, yang bisa saya lakukan sekarang untuk mengejar hanya menulis, membaca, dan mengapresiasi.

Seperti jargon Kemudian.com yang menjadi rumah pertama, dan selalu rumah di mana pun member angkatan saya waktu itu menulis sampai sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top