3. Rumit (Reinka)

Nama: Reinka
Jurusan:
1. Romance
2. Fantasi

❤❤❤

Di antara lentik jari telunjuk dan jari tengahnya terselip sebatang candu yang menjadi sumber asap beraroma menyengat nan khas. Lengan yang menjadi penopang terkulai tanpa daya di tepi meja marmer putih. Punggung sempit yang tampak ringkih itu menjadikan sandaran kursi taman yang sedang dia duduki sebagai tumpuan. Sepasang netra yang digelayuti lara—layu tanpa binar—menatap kosong pada area bermain anak-anak yang dulu sengaja dibuat untuk putra semata wayangnya.

Dahulu, halaman belakang ini adalah wahana bagi keluarga kecilnya untuk menghabiskan waktu bersama di kala senja hampir menyapa. Dia, suami, dan putranya.

Masih terngiang derai tawa bahagia Lucian kecil—putranya—saat berhasil meluncur dengan mulus dari papan perosotan. Terputar kembali kenangan kala kaki-kaki mungilnya dengan lincah berlari menghindar dari kejaran sang ayah. Namun, pada akhirnya karena terjatuh, kedua lutut Lucian menapak pada permukaan lantai area bermain dan bocah itu pun menangis. Dia bergegas hendak menolong, tetapi sang suami sudah mendahului, mengangkat si kecil dan mendudukkannya di bahu. Tangis Lucian seketika sirna dan berganti tawa bahagia.

Kini, semua itu hanyalah tinggal kenangan yang sangat menyesakkan dada karena tidak akan mungkin terulang. Lucian sudah bukan bocah kecil yang lucu dan menggemaskan. Sekarang dia adalah pemuda arogan, keras kepala, tidak banyak bicara, dan selalu bersikap dingin padanya.

Nyonya Trinyl tidak pernah menyangka bahwa, keputusan yang dia ambil waktu itu akan membuat dirinya kehilangan kasih sayang Lucian. Padahal sejatinya, apa pun yang dia perbuat adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan Lucian.

Dia pikir, menyiksa raga dengan sering bolak-balik Singapura-Indonesia akan membuatnya terlihat menjadi ibu yang baik dan penuh pengorbanan. Namun, nyatanya tidak.

Seandainya Nyonya Trinyl tahu bahwa pada akhirnya situasi akan menjadi rumit, seperti sekarang ini. Kemungkin, dia tidak akan ragu membawa Lucius—putra suaminya dengan istri pertama—ke Indonesia dan tinggal bersama. Namun waktu itu, hati yang masih dikuasai amarah—egois—tidak memberi izin untuk melakukannya. Sisi tergelap jiwanya tidak rela, juga tidak ingin mempertemukan Lucian dengan Lucius

Apa alasannya?

Dipikirkan kembali pun percuma karena memang tidak ada alasan konkret yang benar-benar bisa menjelaskan, untuk membelanya dari keegoisan. Yang masih dia ingat hingga sekarang hanyalah bahwa, dia tidak ingin putra kandungnya berdekatan dan bergaul dengan putra perempuan yang telah merenggut kebahagiaannya.

Bagai terperosok ke dalam lubang yang telah digalinya sendiri, Nyonya Trinyl kini hanya bisa menyesali diri.

Untuk menceritakan kebenarannya kepada Lucian terlalu sulit. Dulu dia selalu menunda-nunda dengan alasan belum siap dan sekarang, setelah Lucian mengetahui semua secara tidak sengaja, segalanya menjadi lebih buruk.

Putra semata wayangnya sudah tidak pulang selama empat hari. Gabriel—keponakannya— masih belum bisa menemukan di mana Lucian berada. Supir taksi langganan pun—berdusta—tidak bisa memberi informasi apa-apa.

Lucian juga tidak masuk kuliah, membuat Gabriel kesulitan melacak keberadaannya. Tidak terbesit sedikit pun pemikiran untuk bertanya kepada Reinka. Karena bagi Gabriel, Reinka tidak akan pernah mungkin menjadi alternatif untuk Lucian yang sangat tidak menyukai gadis itu.

------

Pangkal batang gulungan tembakau yang masih terselip di sela jari, kini hanya tinggal menyisakan abu melengkung yang siap tercampak ke rerumputan bila jari itu bergerak sedikit saja. Pada akhirnya, Nyonya Trinyl tidak sekali pun mengisap benda laknat yang berpotensi meracuni organ dalam tubuhnya tersebut.

Tiba-tiba bahu perempuan itu menjengit, serta-merta duduk tegak lalu menoleh ke belakang.

"Lucian." Matanya menatap sendu. Sesaat lalu dia seperti mendengar suara Lucian memanggil. Namun, ternyata tidak ada siapa pun di sana dan tidak mungkin ada. Karena di belakangnya adalah tembok pembatas dengan rumah tetangga.

Paras ayu Nyonya Trinyl terlihat semakin murung, kaca-kaca di pelupuk matanya bergetar siap hancur kapan pun.

_Aku ingin menjadi, seperti ayah._

Suara Lucian kecil yang sebenarnya hanya berasal dari ruang memorinya, membuat Nyonya Trinyl kembali tersentak dan segera berpaling pada area bermain. Samar-samar kilasan bayang-bayang masa lalu yang terurai dari tempatnya tersimpan, kembali hadir laksana film yang diputar ulang.

Lucian yang masih kecil sangat mengidolakan sang ayah. Setiap kali selalu mengatakan 'aku ingin seperti ayah' atau 'aku akan menggantikan ayah'.

Tidak sanggup menahan pedih yang begitu menyiksa, kaca-kaca di mata itu pun pada akhirnya pecah berantakan dan terburai ke pipi.

"Semua ini salahmu. Andai saja kamu menolak perjodohan kita, aku dan Lucian tidak akan pernah mengalami semua ini."

Nyonya Trinyl menangis tersedu sembari menunduk dalam; bahunya berguncang, air mata berderai jatuh ke pangkuan, jemari saling meremas gemas hingga rasanya ingin menghancurkan tulang-tulang. Kemarahan dan sakit hatinya terhadap sang suami tidak kunjung pudar, meskipun orang yang bersangkutan telah lama meninggal.

Pergi mencari perlindungan ke alam baka bagai pengecut bangsat dan membiarkan mereka yang masih hidup menanggung lara akibat ulahnya.

------

Sore telah berganti senja. Piringan sang surya telah menghilang sempurna di balik cakrawala, hanya menyisakan semburat jingga di sepanjang garis horison nun jauh di sana. Tidak peduli pada sang pekat yang perlahan mendekap, Nyonya Trinyl tetap bertahan di tempat dan terus menumpahkan air mata.

Lara di hati semakin terasa mengoyak jiwa saat kenyataan pahit menghantam kesadarannya.

Nyonya Trinyl selalu berharap, Lucian yang akan menjadi penerus ayahnya. Namun, kenyataan sungguh jauh dari harapan. Karena yang mewarisi jiwa pebisnis sang ayah bukan Lucian, melainkan Lucius.

Putra sulung suaminya itu telah banyak membantu dalam mengembangkan perusahaan. Padahal dia belum lulus kuliah, sekarang masih berada di tingkat akhir masa pendidikannya.

Empat hari yang lalu, bertepatan dengan perginya Lucian dari rumah, Lucius menelepon untuk mengabarkan bahwa dia telah berhasil memenangkan tender. Bahkan di saat perasaannya sedang kacau balau pun, Nyonya Trinyl tidak bisa mencegah dirinya untuk merasa bangga.

Rasa iri pun tak urung menyelimuti nuraninya.

Kenapa bukan Lucian? Mereka saudara sedarah, tetapi kenapa sangat berbeda?

--------

Gabriel telah salah menduga. Lucian dan Reinka memang selalu terlihat tidak akur, pertengkaran mereka tidak pernah main-main dan membuat siapa pun yang melihat akan berasumsi bahwa keduanya adalah musuh bebuyutan.

Akan tetapi, lihatlah apa yang sedang mereka lakukan sekarang.

Pemuda yang sudah membuat ibunya menangis itu terlihat sangat nyaman berbaring di sofa, dengan kepala berbantalkan paha si gadis yang telah diklaim banyak orang sebagai musuhnya.

Jemari lentik Reinka memainkan helaian rambut Lucian. "Kamu tidak khawatir pada ibumu?"

Lucian meraih tangan Reinka, memberinya satu kecupan lalu berkata, "Mengkhawatirkan Wonder Woman hanya buang-buang energi."

"Tetapi, Wonder Woman itu rela menguras energi dan pikiran untukmu."

Senyum Lucian seketika sirna. "Aku mohon jangan merusak suasana."

"Baiklah kalau itu mau kamu." Reinka tersenyum teduh. Perlahan menarik tangan yang digenggam Lucian.

"Mau ke mana?" Lucian bangun dari baring. "Kamu marah?"

"Huh? Aku marah?" Reinka menunjuk hidungnya. "Kenapa mesti marah? Memangnya aku ini siapa?"

Lucian paham betul pada karakter kekasihnya. Berbicara sarkas dengan senyum terkembang bukanlah usahanya untuk menahan diri atau menyembunyikan maksud hati yang sesungguhnya, melainkan justru ingin menegaskan emosinya.

Lucian menatap menantang. "Aku akan pulang kalau memang itu yang kamu mau. Aku sudah pernah bilang, akan melakukan apa pun bila kamu yang meminta."

Reinka terkekeh sarkas. "Kalau begitu lebih baik jangan pulang." Tanpa basa-basi lagi segera berdiri.

"Rein, jangan membuat aku bingung." Lucian gusar, tanpa sadar mencengkeram pergelangan kekasihnya cukup erat lalu berdiri. Perbedaan tinggi badan yang cukup jauh, membuat Reinka harus mendongak. "Kamu menyuruhku pulang dan saat aku sudah setuju, kamu malah melarang."

Dengan senyum yang tak luntur, Reinka terlihat sangat tenang dan santai. Beda dari Lucian yang mudah sekali meledak.

"Orang yang hendak kamu temui itu adalah ibu kamu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan aku. Apa gunanya kamu pulang bila sebenarnya hati tak ingin. Lebih baik tetap di sini sampai mendapat alasan yang tepat untuk pulang."

"Kamu tahu betul kenapa aku menjadi seperti ini. Aku datang kemari karena aku pikir kamu adalah orang yang tepat, yang bisa memahami aku—"

"Kamu datang pada orang yang tepat, jangan ragukan itu. Karena aku paham betul bagaimana rasanya berada dalam posisimu."

Nada suaranya yang terdengar biasa saja, seperti sedang mengobrol santai tanpa melibatkan emosi, semakin membuat Lucian gusar.

"Kamu tidak akan paham—"

"Menurutmu, bagian mana yang tidak aku pahami? Ibu lebih menyayangi anak tiri dibanding anak kandung? Jangan lupa, aku juga mengalami itu. Ditinggal pergi dan dititipkan pada orang lain? Aku juga mengalaminya. Setidaknya kamu masih lebih beruntung karena ibumu tidak menitipkan kamu di panti asuhan—"

"Cukup Rein! Aku mohon jangan dilanjutkan. Baiklah aku minta maaf dan tolong beri aku waktu untuk berpikir—"

"Kalau begitu, izinkan aku mengatakan sesuatu. Aku janji ini yang terakhir." Reinka tetap terlihat tenang meski sebenarnya hati pedih luar biasa.

Lucian mengangguk. "Katakan saja."

Reinka meraih kedua tangan Lucian lalu menggengnya erat, matanya yang teduh menatap lekat. "Cobalah untuk berada dalam posisi ibumu. Pikirkan apa yang kira-kira dia pikirkan saat nekat mengambil keputusan itu. Cobalah untuk memahaminya meski tanpa penjelasan.

Lucian, seorang ibu rela mengorbankan banyak hal demi kebaikan anak-anaknya. Berpikir jauh ke depan, merancang kehidupan sempurna untuk buah hatinya. Dan ketika kenyataan tidak sesuai harapan, semua yang dia usahan berujung pada kegagalan, ibu akan menjadi orang yang paling menderita karena dia juga harus menanggung semua konsekuensinya. Dan yang paling menyakitkan adalah dibenci oleh anak yang dia cintai melebihi dirinya sendiri."

Lucian terkesiap, kata-kata Reinka bagai anak panah yang menancap tepat sasaran. "Jadi, kamu sudah memaafkan ibumu?"

Reinka mengangguk kecil. "Lebih tepat dikatakan kalau ibu yang memaafkan aku karena selama ini telah salah paham padanya."

Dahi Lucian mengernyit. "Maksudnya?"

"Ibu menitipkan aku di panti asuhan karena ingin menjauhkan aku dari suaminya yang ternyata seorang maniak ...." Reinka tersenyum hambar. "Sudahlah, aku tidak mau mengingatnya lagi."

Ketegaran Reinka akhirnya runtuh, telaga kecilnya beriak. Lucian merengkuh sang kekasih ke dalam pelukan hangat. "Maaf," bisiknya.

"Aku hanya tidak ingin, kamu akan menyesalinya suatu saat nanti. Saat di mana kamu mengetahui kebenarannya."

"Rein."

"Hem."

"Beri aku waktu."

"Sudah aku berikan."

Lucian terkekeh ringan. "Terima kasih."

"Aku tunggu kabar gembiranya."

"Dan saat itu datang, kamu harus siap menjadi Nyonya Lucian."

"Aku tidak janji."

Tawa renyah keduanya mengudara, atmosfer berat pun akhirnya sirna.

TAMAT

Pfff ... apa ini? Astaga! 🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top