After - 12

Yuhuuu update lagi😍😍😍

Yokkk jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya😘😘🤗

#Playlist: Jennifer Lopez ft Pitbull - On The Floor

Parcella memandangi indahnya pantai Jimbaran yang terbentang luas. Sebelum malam menyapa, Pexel mengajaknya menunggu sunset di sini. Parcella teringat kejadian di kantor Pexel. Seharusnya dia tidak cerita apa-apa, tapi apa daya ... nasi sudah menjadi bubur. Anehnya setelah dia cerita, Parcella merasa lebih baik.

"Pantainya indah, ya." Pexel membuka obrolan setelah diam cukup lama.

"Iya, Opa." Hanya itu yang keluar dari mulut Parcella.

Pexel melirik Parcella yang tengah memandangi pantai. Sifat ceria dan cerewetnya tidak lagi kelihatan seperti biasanya setelah menangis di kantornya.

"Kamu lebih suka sunset atau sunrise?" tanya Pexel.

"Aku lebih suka stargazing," jawab Parcella singkat.

"Berarti kita beda, ya. Saya suka lihat sunset. Warnanya cantik."

"Iya," respons Parcella singkat dan padat.

Kemudian, suasana menjadi hening. Hanya suara orang-orang yang memenuhi telinga mereka. Selama beberapa menit keduanya hanya diam memandangi indahnya pantai yang dipenuhi beberapa orang.

"Mantan istri saya nggak suka lihat sunset. Jadi kalau saya mau mandangin indahnya sunset lebih banyak sendirian atau ngajak Kertasia," ucap Pexel tiba-tiba.

Kali ini Parcella menoleh ke samping. Hanya sebentar sebelum dia kembali memandangi pantai. "Kenapa Opa cerai dari Megan?" tanyanya.

"Kamu percaya kalau saya pernah susah?"

"Nggak."

Pexel tertawa kecil selama beberapa saat sebelum akhirnya dia menjawab, "Saya serius. Saya pernah susah sampai buat makan aja nggak ada dan harus minjam uang sama kakak saya."

Parcella menoleh lagi. "Seriusan? Bukan acara tipu-tipu biar aku penasaran, kan?"

Pexel melihat Parcella yang juga sedang melihatnya sekarang. "Saya serius. Buat apa bohongin kamu. Ini cerita beneran. Kamu bisa tanya sama ayahnya Taro. Ayahnya Taro itu kakak saya. Dia yang kasih uang."

"Ah, masa, sih? Kok, Opa bisa punya helikopter dan jet pribadi? Gimana bisa punya banyak uang lagi?" Parcella sudah tidak tertarik menunggu sunset. Dia lebih tertarik mendengar cerita Pexel.

"Kamu mau denger ceritanya?"

"Maulah. Ceritain, Opa. Aku penasaran." Parcella memiringkan posisi duduknya hingga menghadap Pexel. "Jangan pakai jeda-jeda. Kepengin tahu."

"Senyum dulu baru saya cerita," pinta Pexel.

"Ih ... nggak bisa. Cerita dulu. Cepetan, Opa," desak Parcella tidak sabar.

Pexel terkekeh melihat wajah tidak sabar Parcella. Akhirnya, dia bisa melihat ekspresi Parcella yang lain meskipun bukan senyumnya. Setidaknya suasana tidak sesunyi sebelumnya.

"Opa! Cepetan!" Parcella menarik-narik ujung lengan kemeja Pexel.

"Sebentar. Saya mau menikmati wajah penasaran kamu dulu." Pexel senyam-senyum sendiri, berhasil membuat Parcella malu sendiri. Sejurus kemudian dia bersuara lagi, "Waktu itu saya pernah jatuh susah karena ditipu. Jadi ada teman saya ngajak investasi. Karena saya tergiur dengan hasilnya, jadi saya bersedia. Dulu karena saya nggak berpikir panjang dan percaya aja sama orang, saya setuju-setuju aja. Pada saat itu saya udah punya anak tiga karena nikah muda. Saya pikir akan lebih baik kalau saya ikut investasi itu."

"Terus?"

"Kamu nggak sabar, ya. Sabar, dong."

Parcella nyengir. "Maaf, maaf. Lanjut, Opa."

"Ternyata investasinya bodong. Teman saya cuma nipu dan orangnya kabur entah ke mana. Bukan cuma saya aja, tapi ada beberapa orang yang ditipu. Sebelumnya kakak saya udah bilang, jangan terlalu percaya sama orang dan menyerahkan seluruh uang cuma untuk satu hal. Tapi saya bandel makanya tetap dilakuin. Uang saya habis begitu aja. Bahkan uang simpanan untuk anak-anak juga habis. Saya sampai minjem uang sama kakak-kakak saya untuk makan. Terus saya mulai ambil pekerjaan yang lain untuk menghidupi keluarga saya. Di sini titik terburuk dalam hidup saya. Di saat terpuruk, Megan pergi gitu aja dari rumah. Dia bilang nggak bisa hidup sama saya lagi. Ya udah, saya urus anak-anak sendiri. Saya minta tolong Utama untuk urus adik-adiknya kalau saya kerja," lanjut Pexel. Setiap kali mengingat Megan pergi begitu saja rasanya sedih. Namun, dia tidak bisa menyalahkan Megan. Toh, ini salahnya.

"Berarti Megan nggak mau nemenin Opa pas lagi susah. Gitu amat," komentar Parcella. "Pantesan sekarang hidup tenang-tenang aja. Orang nikahnya juga sama Christian Palmer. Pinter juga cari kehidupan yang lebih mewah."

"Saya bisa mengerti alasan dia pergi. Lagi pula salah saya karena menghabiskan uang untuk hal yang nggak pasti, bukan salah Megan. Dia hanya ingin yang terbaik untuk hidupnya. Saya juga nggak menjanjikan kehidupan yang kurang menyenangkan. Jadi lebih baik dia pergi supaya dapat bertemu dengan seseorang yang jauh lebih baik. Dan dua bulan kemudian dia menikah dengan Christian setelah kami bercerai." Pexel menarik senyum.

Parcella memang melihat senyum Pexel, tapi mata pria itu menunjukkan kesedihan yang tertahan. Dia tahu seberapa berat menjadi single parent. Pexel pasti bersusah payah mengurus anak-anaknya dalam keterpurukan itu sendirian.

"Kenapa Opa minjem uang sama kakak-kakak? Emangnya mereka nggak kasih uang secara cuma-cuma? Orang tua Opa gimana? Mereka diam aja lihat anaknya jatuh susah?" tanya Parcella.

Pexel menjawab, "Saya nggak mau menyusahkan orang tua dan bilang sama kakak-kakak saya untuk merahasiakan kebodohan saya. Alasan saya nggak mau dikasih secara cuma-cuma karena nggak mau. Kalau saya pinjam, saya bisa ganti uangnya biarpun dicicil."

Parcella manggut-manggut. Dia mengerti. Pexel seperti ibunya. Ibunya tidak pernah menceritakan apa-apa kepada saudaranya saat susah ataupun diperlakukan kasar oleh ayahnya. Ibunya tidak mau membuat keluarga kepikiran.

Ibunya pernah mengatakan, "Mama nggak mau bilang sama orang tua dan saudara tentang sifat ayahmu karena Mama pikir kalau sudah menikah, hidup udah masing-masing. Mama udah cukup tahu langkah apa yang harus diambil ketimbang ngadu sana-sini. Mungkin orang gampang bilang, "Kenapa nggak ngadu sama orang tua dan saudara sekalian?" Apa semudah itu? Kita mana tahu kehidupan orang. Kalau Mama mengadu siapa tahu kehidupan saudara Mama lebih berat. Mama juga nggak mau bikin orang tua kepikiran. Takut mereka jadi sakit."

Sekiranya kata-kata itu yang Parcella tanamkan dalam dirinya saat kuliah sampai bekerja. Ketika dia mengalami hari yang sulit, Parcella akan mengatakan baik-baik saja dan mencari cara untuk membuatnya lebih baik. Dia tidak ingin ibunya kepikiran. Parcella sudah melihat betapa sulitnya sang ibu melewati hidup, membesarkan kelima anaknya sendirian, jadi Parcella tidak ingin menambah beban pikiran. Setidaknya, Parcella hanya menceritakan kesulitan-kesulitan umum saja untuk memberi tahu bahwa dia memang masih bisa melewati masa-masa itu.

"Tapi untungnya ada Airlangga. Saya mulai bangkit pelan-pelan sampai akhirnya bisa sestabil sekarang." Pexel menambahkan sambil tersenyum lebar.

"Congrats, Opa! Tetap semangat dan jangan menyerah." Parcella mengacungkan ibu jarinya sambil ikut tersenyum.

"Akhirnya, kamu senyum juga."

"Iya, makasih atas cerita menyentuh hati dari Opa. Semoga setelah ini Opa bisa lebih bahagia."

"Kalau saya maunya bahagia sama kamu gimana?"

"Ah, elah ... tahu, ah." Parcella bangun dari tempat duduknya. Belum melangkah sama sekali, Pexel menarik pergelangan tangannya sampai terduduk di pangkuan pria itu. "Opa!" pekiknya kesal.

Pexel melingkarkan tangannya di pinggang ramping Parcella, menatapnya dengan menyelipi senyuman kecil di wajah. Parcella menunjukkan wajah tidak suka dan terkesan ingin memukulnya. Dia justru senang karena ekspresi seperti itu yang menjadi kesukaannya.

"Opa selalu punya cara untuk meluk-meluk, ya. Kesenangan dalam setiap kesempatan," cibir Parcella.

"Kalau kamu nggak suka tinggal bangun. Berarti kamu suka, kan?"

Parcella baru sadar. Benar juga yang dikatakan Pexel. Kenapa tidak bangun dari tadi? Begitu Parcella akan bangun, Pexel malah memeluknya. Pexel meletakkan dagunya di pundak Parcella layaknya tempat bersandar.

"Giliran mau bangun malah dipeluk. Gimana mau bangun!" omel Parcella.

"Sebentar aja. Makasih udah mau dengerin curhatan saya yang nggak penting. Saya harap kamu juga akan selalu menceritakan apa pun kepada saya. Mama kamu khawatir. Seandainya nggak mau cerita sama Mama kamu, lebih baik cerita sama saya," bisik Pexel.

Parcella merasakan sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan saat Pexel memeluk dan mengatakan kalimat itu. Suara Pexel terasa begitu menenangkan.

Akhirnya, Parcella balas memeluk. Sambil tersenyum tipis, Parcella berkata, "Iya. Nanti aku cerita sama Opa. Makasih juga mau mendengarkan, Opa."

Mereka diam cukup lama dalam pelukan masing-masing. Matahari terbenam terlihat. Hanya Pexel saja yang menikmati sunset itu, sedangkan Parcella memunggungi pemandangan indah itu dan tidak melepas pelukan sama sekali.

👄👄👄

Pexel keluar dari kamar setelah memastikan Parcella tidur nyenyak. Mereka tidak melakukan kegiatan panas seperti kemarin malam. Hal ini karena Parcella sudah jatuh terlelap saat pulang. Parcella kelihatan lelah setelah sepanjang acara makan malam menceritakan pengalamannya kuliah di luar negeri dan bertemu dengan teman-temannya. Pexel menyukai obrolan ringan mereka dan mengetahui hal-hal kecil tentang Parcella.

Dia mengambil ponsel dari dalam saku celana. Pexel segera menghubungi nomor asisten pribadinya. Walau sudah malam, asisten pribadinya masih terjaga karena terbiasa tidur pagi.

"Halo, selamat malam, Pak Pexel," jawab laki-laki di seberang sana.

"Dado, tolong bantu saya cari tahu tentang Lusi Evaria. Cari tahu tentang mantan suaminya," titah Pexel tanpa basa-basi.

"Lusi Evaria? Bukannya itu menantu Bapak?" Suara Dado terdengar seperti orang bingung.

"Iya, betul. Cari tahu yang saya minta. Sekalian carikan sepuluh pengawal pribadi terbaik yang menguasai banyak ilmu beladiri."

"Bodyguard, Pak? Sepuluh? Untuk Bapak?" tanya Dado.

"Bukan. Kalau udah ketemu, kamu suruh jagain keempat anak kembar Lusi secara diam-diam. Jangan ikuti mereka secara terang-terangan karena nanti dicurigai. Kasih mereka masing-masing dua dua pengawal pribadi. Saya mau pengawalnya dicampur. Laki-laki dan perempuan."

"Baik, Pak. Kalau masing-masing dua, sisa dua lagi gimana, Pak?"

"Kirim ke Bali. Saya butuh. Ikuti saya secara diam-diam juga. Jangan lupa yang saya bilang sama kamu. Besok udah harus ada datanya," tegas Pexel.

"Baik, Pak. Siap laksanakan. Besok saya akan mengabari Bapak mengenai pengawal dan data yang diminta."

"Oke. Saya tutup teleponnya."

Pexel menutup telepon. Dia ingin tahu seperti apa mantan suami Lusi. Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga seandainya manusia itu mengusik kehidupan rumah tangga Lusi dan putranya.

"Opa?" Panggilan dari belakang sana membuat Pexel tersentak.

"Ya?" Pexel berbalik badan, menemukan Parcella mengucek mata.

"Kenapa belum tidur?"

"Ini mau tidur." Pexel berjalan mendekati Parcella. Perempuan itu memeluk lengannya begitu tiba di depannya. "Kamu nggak mau tidur sendirian? Apa kangen saya peluk?"

"Both. Ayo, tidur."

Pexel menuruti Parcella dan beranjak kembali menuju kamar bersama-sama. Parcella memeluk Pexel begitu mereka sudah merebahkan tubuh di atas tempat tidur.

"Mau diempok-empok," gumam Parcella dengan mata tertutup.

Pexel terkekeh. Tanpa pikir panjang Pexel segera menurutinya. Pexel menepuk-nepuk pelan punggung Parcella sampai terlelap seperti sebelumnya.

"Have a nice dream, Parcella."

Tepukan pelan di punggung Parcella berakhir dan digantikan dengan kecupan di kening perempuan itu. Sejurus kemudian Pexel memejamkan mata.

Mereka berdua jatuh terlelap dan tidur saling berpelukan.

👄👄👄

Jangan lupa vote dan komen kalian😘🤗❤

Jangan lupa baca A Night Before You tentang Eugene di lapaknya Kak Lyan ya! lyanchan 🤗❤

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Salam dari Parcella😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top