After - 11

Yuhuuu update😍😍😍

Jangan lupa berikan vote dan komentar sebanyak-banyaknya😘😘😘🤗

Sinar matahari memenuhi ruang kamar melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Ada suara erangan dan desahan yang menggema. Suara tersebut berasal dari kamar Pexel. Decitan tempat tidur ikut terdengar seiring kegiatan panas yang semakin liar.

Semalam Parcella tidur di kamar Pexel karena takut mendengar suara petir yang bersahut-sahutan. Kamar yang ditempati Parcella terlalu besar sampai-sampai pikirannya melayang jauh membayangkan hantu. Akhirnya, pindah ke kamar Pexel menjadi jawaban.

Kegilaan lain pun dimulai setelah Parcella pindah kamar. Obrolan yang awalnya hanya sebatas santai dan ringan berubah menjadi kegiatan panas penuh gelora dan hasrat yang menggebu-gebu. Semalam Parcella bercinta dengan Pexel. Berulang kali sampai tubuhnya terasa hampir remuk karena mencoba beragam gaya.

Pagi ini mereka berdua melakukannya lagi. Kali ini menggunakan pengaman dan pil kontrasepsi. Mereka mengerang dan mendesah bersama sambil memanggil parau partner bercinta masing-masing. Kegiatan panas mereka pagi ini rasanya tak cukup hanya sebatas bermain di atas tempat tidur. Mereka berpindah tempat ke kamar mandi dan melanjutkannya di sana sebelum akhirnya membersihkan diri berdua.

Selesai mandi, Parcella keluar dari kamar lebih dahulu dan turun menuju ruang makan. Bagian pangkal pahanya terasa sakit karena bercinta berulang kali dengan kasar. Sungguh, Parcella merasa sudah gila karena membiarkan Pexel menggagahinya berulang kali.

"Gue kecanduan seks apa gimana, sih? Perasaan sama yang lain nggak begini." Parcella bermonolog sendiri sambil mengacak rambutnya frustrasi. Iya, dia tidak pernah mengulang kegiatan panas yang sama dengan orang yang sama. Jika sudah bercinta dengan A, dia akan bercinta dengan B di lain hari. Bercinta dengan orang yang sama hanya dilakukan Parcella kalau mereka berkencan. "Ya, Tuhan ... gue harus apa kalau ibu gue tahu?" Lagi, dia bermonolog sendiri tanpa henti.

Parcella tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir dan waswas kalau sampai ibunya tahu dia bercinta dengan Pexel. Sudah begitu mereka bukan hanya sekali melakukannya, tapi sudah berulang kali. Selain memikirkan ibunya, dia memikirkan kemungkinan terburuk lainnya. Seandainya dia hamil karena mereka tidak memakai alat kontrasepsi, bagaimana? Masa dia punya anak lebih dahulu daripada ibunya? Tidak, tidak. Parcella akan yakin semua tidak sampai sejauh itu. Bercinta berulang kali belum tentu hamil. Tergantung kesuburan.

"Good morning," sapa Pexel sembari mengusap kepala Parcella.

Parcella terlonjak kaget karena sejak tadi sedang melamun. "E-eh, iya. Pagi, Opa."

"Kamu lagi melamun, ya? Mikirin apa?" tanya Pexel.

"Bukan apa-apa." Parcella memaksakan senyum. "Hari ini Opa pergi ke kantor lagi?"

"Iya. Kamu mau ikut? Jangan nunggu di kedai kopi. Kamu bisa nunggu di ruangan saya," tanya Pexel.

"Nggak usah. Aku nunggu di sini aja," tolak Parcella.

"Kamu yakin nggak bosan nunggu di sini? Atau, mau keliling Bali? Saya suruh sopir antar kamu setelah drop saya di kantor."

Parcella menimbang-nimbang sebentar. Menit berikutnya dia mengangguk setuju. Tiba-tiba Pexel mendorong kartu yang diambil dari dompetnya. Parcella mengamati kartu tersebut.

"Kamu belanja pakai kartu ini aja. Beli apa pun bebas," jelas Pexel.

"Mau beli puluhan tas mahal boleh?"

"Boleh. Kenapa nggak boleh?"

"Emangnya nggak ada limitnya?"

"Nggak. Jadi mau kamu gunakan berapa pun nggak masalah."

"Berasa jadi sugar baby dibiayain segala," gumamnya pelan.

Pexel mendengar samar-samar Parcella menyebutkan 'sugar baby'. Dia menahan tawa. "Kamu bukan sugar baby, tapi calon istri saya."

Parcella terbatuk-batuk saat meneguk jus jeruk. Dia menyeka dagunya yang basah akibat tersedak saat minum.

"Opa masih kekeuh mau menikah sama aku? Aku nggak mau menikah. Berkomitmen bukan gaya aku dalam berhubungan. Lebih baik Opa cari perempuan yang bersedia diajak nikah dan serius," tegas Parcella.

"Kenapa kamu nggak mau nikah? Pasti ada alasan, kan?" tanya Pexel sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

Parcella menjawab, dengan serius tentunya, "Menikah itu merepotkan. Memahami diri sendiri aja repot, gimana memahami orang lain? Belum lagi harus mengurus pasangan. Urus diri sendiri aja setengah mati. Intinya aku nggak mau. Aku lebih suka main-main. Aku mau hidup bebas tanpa dikekang siapa pun."

"Saya nggak akan mengekang kamu seandainya kita menikah. You can do everything you want. Saya bukan tipikal yang senang melarang pasangan."

"Nggak. Pokoknya Opa nggak akan bisa mengerti. Intinya menikah bukan tujuan hidup aku. Titik." Parcella mengambil toasted bread yang ada di atas meja dan melumurinya dengan selai cokelat sebelum dia lahap.

"Saya lebih suka pakai koma," canda Pexel.

"Bodo. Nggak lucu," cibir Parcella.

Pexel tertawa tanpa suara menikmati wajah cemberut Parcella. Sepertinya hari ini akan lebih baik dari kemarin. Parcella mulai membuat dia gila karena tak bisa berhenti memikirkannya.

"Omong-omong, lusa Mama sama Papa udah pulang. Kita pulang juga ka―" Parcella menggantung kalimatnya setelah menyadari ponselnya bergetar di atas meja makan. "Siapa, sih, ganggu aja?" gerutunya sambil mengambil ponselnya.

Parcella membuka pesan masuk dari kakaknya, Za. Dalam hitungan detik raut wajah Parcella berubah. Ketakutan menjadi hal yang pertama Pexel lihat. Tangan Parcella gemetar dan perlahan ponselnya terlepas dari genggaman.

"Parcella? Kenapa?" tanya Pexel.

Tak ada jawaban. Parcella bergeming. Penasaran dengan apa yang dibaca Parcella, dia bangun dari tempat duduknya dan mengambil ponsel Parcella.

Kak Za: Cel! Gawat! Bokap udah keluar dari penjara. Lo hati-hati ya. Jangan sampai ketemu dia.

Pexel mengamati Parcella cukup lama. Tangan Parcella masih gemetaran. Dia baru tahu ayahnya Parcella masih hidup. Yang dia tahu ayahnya Parcella telah tiada―setidaknya itu yang dikatakan Lusi padanya―entah berbohong atau ada hal yang disembunyikan.

"Parcella?" Pexel menyentuh pundak Parcella.

Parcella tidak menjawab dan langsung bangun dari tempat duduknya. Seperti orang linglung yang tidak tahu ingin melakukan apa, Parcella hanya berdiri dengan wajah panik.

"Parcella?" panggil Pexel lagi. "Are you okay?"

Parcella tidak menjawab Pexel dan beranjak pergi dari sana. Belum terlalu jauh, tiba-tiba Parcella berhenti.

"Hey, are you okay?" Pexel menghampiri Parcella dan berdiri di depannya. Pexel memegang lengan Parcella supaya tidak pergi begitu saja. "What's wrong?"

Parcella menggeleng.

"Jangan bohong."

"Nggak kok, Opa." Parcella mulai memaksakan senyum. "Aku mau ikut Opa ke kantor. Aku ganti baju dulu, ya." Dia melepaskan tangan Pexel dari lengannya dan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Pexel menahan tangan Parcella sebelum perempuan itu melangkah semakin jauh. Tindakannya ini berhasil memaksa Parcella menoleh padanya.

"Kenapa, Opa?"

Pexel memandangi Parcella cukup lama. Kemudian, dia maju selangkah dan mengusap kepala Parcella.

"Kalau ada sesuatu yang ingin diceritakan, kamu bisa cerita sama saya. Anggap aja saya teman cerita kamu."

Parcella mengangguk sambil tersenyum tipis. Setelah itu Parcella melepaskan tangan Pexel.

Walau Parcella sudah tersenyum, tapi Pexel tetap khawatir. Senyum yang ditunjukkan perempuan itu bukan senyum yang tulus dan terlihat dipaksakan. Dia tambah penasaran soal ayahnya Parcella. Sebenarnya kenapa sampai Parcella panik?

👄👄👄

Di dalam ruangan berukuran besar dan rapi, Parcella tidur di sofa panjang. Dia menunggu Pexel sudah lebih dari satu jam. Katanya rapat tidak terlalu lama, tapi ini sudah menyita waktunya.

Parcella mengambil ponselnya dan membaca satu per satu chat di dalam grup yang berisi dia dan keempat kakaknya. Grup bernama "MA BITCHES" itu membahas soal ayah mereka.

Parcella hanya mengamati dan tidak tertarik menanggapi kakak-kakaknya. Setelah bertahun-tahun berlalu, kenapa harus sekarang?

"Kamu udah nunggu lama?"

Parcella terlonjak kaget dan buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk. Dia melihat Pexel datang dan meletakkan paper bag di atas meja kopi.

"Ini makanan untuk kamu. Tadinya saya mau ngajak makan di luar, tapi takutnya kamu udah lapar. Maaf, ya, kamu menunggu terlalu lama." Pexel duduk di samping Parcella.

"Santai aja, Opa. Makasih makanannya." Parcella menarik senyum. Dia meletakkan ponselnya di atas meja dan mengeluarkan makanan dari dalam paper bag. "Gimana tadi rapatnya, Opa? Apa berjalan lancar?"

Pexel menaikkan satu alisnya. "Tumben kamu nanya. Apa mulai tertarik jadi istri saya?"

"Emangnya harus jadi istri dulu buat nanya hal simpel kayak gitu?" Parcella berdecak kasar. Dia mengambil sendok dan mulai melahap salmon mentai yang dibelikan Pexel. "Ini makanan favorit aku."

"Saya tahu. Za kasih tahu kalau kamu suka banget sama salmon mentai."

"Jadi, Opa nanya sama Kak Za?"

"Iya. Selamat makan, Parcella."

Parcella mengangguk. Dia melahap salmon mentai. Rasa dari makanan kesukaannya ini sangat enak sampai dia sulit menjabarkan bagaimana rasanya. Dia melirik Pexel yang sudah lebih dulu melihatnya. Parcella menarik senyum senang saat Pexel tersenyum.

"Rasanya enak. Makasih, Opa," ucap Parcella yang kemudian kembali melihat makanannya.

"Saya senang kamu suka. Saya khawatir karena pagi ini kamu cuma makan toasted bread sedikit dan habis itu pergi ikut saya." Sebelum disela, Pexel menambahkan, "Gimana perasaan kamu? Feel better?"

"Opa belum jawab pertanyaan aku soal rapat. Jawab dulu baru aku jawab," paksa Parcella.

"Rapatnya berjalan lancar. Proyek yang direncanakan mulai dilaksanakan minggu depan. Kemungkinan minggu depan saya akan menetap di Bali selama beberapa minggu untuk memantau proyeknya," jawab Pexel.

"Proyek apa, sih, Opa?"

"Saya berencana bangun hotel di sini. Saya punya partner lain selain Airlangga untuk beberapa usaha di Indonesia."

"Oh, hotel...." Parcella manggut-manggut. "Opa nggak tertarik gitu bikin kelab malam?"

"Nggak. Nanti kamu datang terus."

Parcella tertawa. "Ha ha ... ngapain banget. Minggu depan aku pulang ke New York. Aku nggak akan pulang ke Jakarta lagi."

"Kenapa nggak pulang lagi? Kamu nggak mau main ke rumah mama kamu?"

"Nggak. Mama udah ada temannya jadi aku nggak perlu balik. Lagian aku harus kerja urus Fashion Show Avona's Heart."

"Berarti kita nggak ketemu lagi?"

Parcella menoleh ke samping sambil mengunyah makanan. "Iya. Kalau Opa mau menghabiskan waktu sama aku hanya tersisa lima hari lagi."

"Kalau gitu saya susul kamu ke New York."

"Biar apa coba. Kurang kerjaan."

"Mau ngecek keadaan gedung yang mau kamu sewa. Itu bagian dari pekerjaan saya juga. Kasihan Airlangga urus sendirian terus."

Parcella mencibir. "Bisa banget cari-cari kesempatan."

Pexel terkekeh. Satu tangannya spontan mengusap kepala Parcella. "Pagi ini, kamu kenapa? Ada masalah apa? Saya—"

Parcella memotong kalimat Pexel yang belum selesai. "Opa pasti udah baca pesan dari Kak Za. Ayahku seorang mantan narapidana. Baru aja keluar."

"Lusi bilang ayah kamu udah meninggal. Berarti sebenarnya masih hidup? Kenapa Lusi bohong sama saya?" tanya Pexel.

"Mungkin malu. Aku juga malu dan nggak mau kasih tahu kalau Opa nggak baca pesan Kak Za. Bukan malu soal statusnya sebagai mantan narapidana. Aku malu punya ayah kayak dia." Parcella meletakkan sendok di atas meja dan meneguk ice lemon tea sampai setengah gelas. "Aku dan kakak-kakak yang lain selalu berdoa biar dia membusuk dan mati di penjara. Tapi ternyata Tuhan nggak mengabulkan. Dia malah udah berkeliaran lagi. Cih! Menyebalkan."

Pexel semakin penasaran. Sebenarnya kenapa sampai Parcella dan kakak-kakaknya membenci ayah mereka? Apa putranya tahu mengenai mantan suami Lusi yang ternyata baru keluar dari penjara? Banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Namun, dia akan mendengarkan Parcella lebih dahulu.

"Kenapa kamu benci sama ayah kamu?" tanya Pexel pelan.

"Kenapa?" Parcella tertawa kesal teringat hal yang sudah dia kubur dalam-dalam. "Dia kasar dan sering mukulin Mama. Bahkan dia mau bunuh Mama."

Pexel kaget mendengarnya. Rupanya menantunya itu memiliki masa lalu yang buruk dengan mantan suaminya.

"Opa tahu kenapa Mama kuliahin aku ke luar negeri?" Parcella menatap Pexel yang juga menatapnya.

"Biar kamu nggak ketemu ayah kamu?" tebak Pexel.

Parcella menggeleng. "Bukan. Biar Papa nggak ngebunuh aku. Papa nggak cuma coba bunuh Mama, tapi dia coba bunuh aku sebelumnya. Itu alasan Mama nyuruh aku kuliah di luar dan nggak masalah aku nggak pulang. Mungkin Mama tahu hari mengerikan itu akan tiba lagi."

Pexel terkaget-kaget mendengarnya. Dia bingung sendiri kenapa ayahnya Parcella tega ingin membunuh anaknya sendiri.

"Karena hal itu kamu jadi panik dan takut seperti tadi pagi?" tanya Pexel.

Parcella mengangguk. Tanpa sadar air matanya jatuh membasahi pipi. Parcella menutupi wajahnya dan menangis.

"I'm so scared...," gumamnya pelan.

Pexel memangkas jarak mereka sampai tak menyisakan ruang kosong. Pelan-pelan Pexel menarik Parcella dan membiarkannya menangis. Parcella memeluk Pexel dan menjadikan dada bidangnya sandaran ternyaman.

"Jangan takut. Saya akan menjaga kamu dan semua keluarga kamu dengan baik. Saya akan pastikan kamu aman," bisik Pexel lembut.

Pexel tidak mendengar jawaban apa-apa selain tangis Parcella. Hatinya ikut sakit mendengar cerita Parcella. Dia mempererat pelukannya sambil mengusap kepala Parcella tanpa henti.

"Pokoknya jangan takut. I'll protect you."

👄👄👄

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗🤗❤

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Salam dari Opa😍😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top