15 - Gift
Semuanya kembali berjalan normal. Termasuk rutinitas wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu, kembali berkutat dengan kasus dan klien-kliennya. Ia berusaha keras untuk melupakan kematian Caramel dan menghapus memori mengerikan itu.
"Mbak Kinar, Bu Melisa sudah datang." Sekar, asisten Kinara memberitahukan.
"Dipersilahkan masuk aja," jawab Kinara tersenyum.
Seorang wanita dengan dandanan formal, blazer abu-abu dipadukan dengan rok selutut berwarna hijau tua, dan rambut sebahu yang dibiarkan tergerai, memasuki ruangan Kinara. Aroma parfum langsung menyeruak dan memasuki indera penciuman Kinara, membuat kepalanya pening.
"Silahkan duduk Bu Melisa," kata Kinara tersenyum ramah.
"Makasih Bu Kinar."
Kinara mengambil stopmap yang berisi file-file kasus milik Melisa. "Bu Melisa di sini ingin menggugat cerai suami anda, dengan alasan adanya orang ketiga."
"Iya benar Bu Kinar."
"Dan juga mengambil hak asuh anak semata wayang anda?"
"Iya benar sekali."
"Karena ini pertemuan kita yang kedua, dan pertemuan pertama kita berlangsung sangat singkat, bisakah Ibu menjelaskan titik masalahnya? Dijelaskan semuanya ya Bu, tidak usah sungkan, karena saya pengacara ibu."
Melisa mengangguk paham. "Jadi alasan saya ingin bercerai karena suami saya memiliki hubungan dengan wanita lain, yaitu teman saya sendiri. Saya juga punya beberapa buktinya, seperti bukti chat, dan pernah memergoki mereka berdua."
"Lalu kenapa di file ini ditulis kalau Bu Melisa tidak yakin anak ibu tidak ingin ikut ibu?"
Wajah Melisa berubah muram. "Saya orangnya terlalu sibuk bu, jadi ketemu anak saya hanya bisa pada malam hari, dan weekend. Sedangkan selingkuhan suami saya, sering sekali bertemu dengan anak saya, karena setiap saya dan suami ngantor, anak dititipkan sama dia."
Kinara merasa prihatin dengan apa yang dialami Melisa. Bagaimana pun, ia berhak atas hak asuh anaknya. Dan seorang anak sampai kapan pun akan membutuhkan kasih seorang ibu.
"Saya mengerti bu, tapi apakah ibu tidak punya keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan suami?"
"Percuma Bu Kinar, nanti dia pasti balik lagi sama selingkuhannya. Mending saya kasih kebebasan sekalian, supaya kalau mereka mau menikah, bisa bebas," jelas Melisa Nampak pasrah.
"Baiklah kalau itu memang keputusan Bu Melisa, saya akan melakukan yang terbaik." Kinara meyakinkan Melisa.
"Tapi Bu Kinar benar bisa profesional kan ya?" tanya Melisa ragu-ragu.
Kinara mengerutkan keningnya bingung. "Ya tentu, kenapa memangnya?"
Awalnya Melisa terlihat enggan untuk mengatakannya, dengan gugup dia mengatakan yang sebenarnya pada Kinara. "Kasusnya ini hampir sama dengan pernikahan Bu Kinara kan? Ibu ada affair sama suami teman ibu, hanya bedanya suami ibu dan istrinya tidak perlu cerai, karena istrinya meninggal. Posisi saya mirip sama posisi mendiang istri pertama suami Bu Kinar."
Tenggorokan Kinara tercekat. Darah seperti dipompa dua kali lebih cepat ke kepala, karena ia merasa wajahnya memanas karena marah. Tetapi tentu dia tidak bisa meledak di hadapan kliennya sendiri kan? Namun kalau sudah kurang ajar begini bagaimana?
Dengan senyum kaku profesionalnya, Kinara menanggapi. "Kalau saya bilang, saya nggak ada affair sebelumnya, ibu tidak akan percaya kan? Kalau saya bilang, pas hari saya dilamar itu saya nangis karena saya tidak mau menikahi suami Lucas, ibu juga tidak akan percaya kan?"
"Posisi saya sangat membingungkan waktu itu, saya berteman dengan Lucas maupun Melody. Saya pingsan saat tahu Melody meninggal, saya juga nolak mati-matian pas Lucas melamar saya. Tetapi takdir Tuhan itu unik, saya diberi hadiah yang saya butuhkan, meskipun ganjarannya saya harus menerima fitnah dan caci maki," lanjut Kinara.
Melisa menundukkan kepalanya, tidak berani melihat ke arah Kinara. "Maaf Bu sebelumnya, saya hanya ingin memastikan saya bisa menang di pengadilan," katanya menyesal.
Kinara pikir ia akan melimpahkan kasus Melisa ini kepada Ajeng. Ia takut tidak bisa profesional karena terlanjur sakit hati dengan ucapan kliennya. Pengacara juga manusia, bisa terluka. Daripada ia nanti melukai kliennya lebih baik Kinara mundur sekarang.
***
Hari sudah menunjukkan pukul setengah satu siang, Kinara segera membersihkan mejanya, dan keluar untuk makan siang. Dari tadi Ajeng sudah mengiriminya pesan, mengatakan jika sudah menunggu dirinya di lobi bawah. Tak lupa membawa dompet dan ponselnya, wanita itu berjalan dengan terburu-buru sampai tak menyadari jika lantai yang dipijaknya basah karena cairan pembersih lantai, membuat dia tergelincir dan jatuh terduduk.
"Auw." Kinara meringis kesakitan. Seorang pegawai kebersihan menghampiri Kinara dan membantunya berdiri.
"Ibu nggak apa-apa?" Wajahnya terlihat khawatir. "Maaf Bu, saya masih pel lantai, soalnya tadi ada makanan tumpah."
"Nggak apa-apa kok, cuma jatuh begitu. Makasih ya."
"Maaf sekali lagi Bu, hati-hati."
Kinara memasuki lift dengan menggerutu. Suasana hatinya sedang tidak baik karena kliennya, ditambah kejadian memalukan tadi. Sepertinya ini memang hari sialnya. Setelah sampai di lantai satu, ia segera bergegas menghampiri Ajeng yang sedang duduk sendiri di kursi lobi.
"Lama banget," gerutu Ajeng.
"Aku kepleset tadi," desis Kinara.
"Ya ampun Kinar, kamu bukan anak SD, pakai kepleset segala," tukas Ajeng lalu tertawa.
"Ah bodo ah, ayo makan, laper. Ke warung soto aja ya?"
Ajeng mengangguk. "Oke, kebetulan masih pengen yang seger-seger."
Sesampainya di warung Soto Ayam Kudus Pak Ali yang terletak di sebelah kantor mereka, keduanya langsung mencari tempat duduk yang kosong dan memesan dua soto ayam dengan dua piring nasi putih dan dua gelas es jeruk.
"Jeng, kayaknya aku bakal ngasihin klien aku ke kamu satu deh," tutur Kinara.
"Aduh jangan dong, aku ada tiga klien nih, yang mau maju ke sidang dua," tolak Ajeng.
"Aku beneran nggak bisa nanganin klien ini. Besok kalau kamu ada klien yang nggak kamu suka, bisa deh serahin ke aku," bujuk Kinara.
"Emang kasusnya apa?"
"Perceraian kok. Mau ya? Mau?"
"Lah cuma perceraian, nggak berat kok Kinar. Emang kamu ada masalah?"
Kinara menghela napas panjang. "Aku terlalu sakit hati sama si klien. Takut nggak profesional nanti."
Ajeng mengerutkan keningnya. "Emangnya kenapa?"
Kinara pun menceritakan apa yang dikatakan Melisa tadi dan menjelaskan kenapa ia tidak sanggup menjadi pengacaranya.
"Dasar tuh klien mulutnya," kata Ajeng. "Oke deh, aku ambil."
"Makasih Ajeng." Kinara mengedipkan matanya. "Kalau dipikir-pikir ini kaya hari sial aku deh. Mood jadi berantakan banget."
"Makan dulu barangkali bad moodnya ilang," tutur Ajeng saat pelayan mengantarkan pesanan mereka.
Biasanya Kinara paling tidak bisa menolak makan soto ayam Pak Ali, tapi entah kenapa baru setengah mangkuk ia sudah tidak nafsu untuk menghabiskannya. Ditambah tiba-tiba perutnya terasa sakit.
"Kayaknya nggak bisa habis nih aku. Perut lagi nggak enak."
"Kamu tadi ngasih sambelnya kebanyakan kan? Mules paling," kata Ajeng sambil menyuapkan makanan ke mulutnya.
Kinara mengangkat bahunya. "Anter aku ke kamar mandi ya nanti." Ajeng manggut-manggut menyanggupi.
Kinara masuk ke kamar mandi, sementara Ajeng menunggu sambil memoles kembali make upnya. Kinara mendengus kasar saat melihat ada bercak darah di celana dalamnya. Pantas saja suasana hatinya runyam, ternyata memang sedang dapat jatah bulanan. Itu juga artinya, usahanya dan Lucas bulan ini gagal lagi.
***
Pukul sembilan malam, Lucas baru bisa terbebas dari banyaknya pekerjaan yang membelenggunya. Perjalanan dari kantornya menuju rumah membutuhkan waktu hampir satu jam karena jalanan yang macet. Sesampainya di rumah sudah tidak ada suara yang terdengar, ia segera naik menuju kamarnya dan menemukan istrinya yang bergelung di atas tempat tidur dengan memegangi perutnya.
"Kinar." Betapa terkejutnya Lucas saat mengusap kening Kinara yang sudah dipenuhi dengan keringat. "Honey, kamu kenapa?!"
Mata Kinara yang terpejam perlahan terbuka.
"Honey kamu kenapa? Apanya yang sakit?" Nada suara Lucas panik.
"Perut aku sakit banget Luke." Suara Kinara terdengar serak. "B-biasanya nggak kaya gini kalau lagi datang bulan."
Wajah Kinara yang terlihat sangat pucat dan keringat dingin di sekujur tubuh istrinya membuat Lucas tak bisa berpikir jernih. Mau alasan sakitnya karena datang bulan, atau diare, ia akan membawa istrinya ke rumah sakit.
"Kita ke rumah sakit ya. Aku panggil Pak Ridwan," kata Lucas kemudian meninggalkan kamar untuk memanggil Ridwan di kamarnya.
Beberapa saat kemudian lelaki itu sudah kembali lagi. Ia segera membantu Kinara untuk bangun, menopang tubuh istrinya dengan lengan kuatnya. Ringisan kesakitan Kinara dan air mata yang mengalir dari sudut mata wanitanya membuat hati Lucas terkoyak.
"Honey, yang kuat ya." Lucas tidak tahan melihat wajah kesakitan Kinara.
Lucas menggendong Kinara ke dalam mobil, kemudian Ridwan segera mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Sedangkan di kursi belakang, Lucas memangku istrinya yang terkapar tidak berdaya. Kinara menggigit bibirnya menahan mati-matian rasa sakitnya.
"Kinara kamu kuat sayang." Lucas menggenggam tangan Kinara dan mengecupnya lembut. Berharap kecupannya dapat menyalurkan kekuatan pada istrinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top