12 - Terror

Kening Lucas bertautan sambil melihat ke arah Kinara yang berdiri di depan pintu gerbang rumah dengan heran. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, ia segera keluar dan bergegas menghampiri istrinya. Kekhawatiran di wajah wanita itu tidak luput dari perhatian Lucas dan membuat dirinya menjadi sedikit panic.

"Kinar, kenapa?" tanya Lucas, berharap tidak ada sesuatu buruk yang terjadi.

"Caramel ilang Luke," jawab Kinara dengan suara lemas. "Pak Ridwan sama Dewi masih cari, sekalian sebar brosur."

"Ilang? Dari kapan?" Lucas cukup terkejut.

"Kayaknya dari semalem. Semalem aku udah nggak lihat Caramel. Kata Dewi seharian ini juga Caramel nggak kelihatan di rumah," jawab Kinara.

Lucas manggut-manggut. Ia menepuk bahu Kinara menenangkannya. "Gimana kalau kamu masuk dulu, mandi terus ganti baju. Nanti aku pasti bantu cari Caramel." Ia tidak tega melihat Kinara yang terlihat sangat lelah. Padahal menurut pemikirannya kucing itu pasti hanya berkeliaran, atau bermain dengan kucing lain. Tetapi ia tidak menyalahkan Kinara yang bereaksi seperti itu, karena istrinya memang sangat menyukai kucing.

Sepasang suami istri itu pun masuk ke dalam rumah. Kinara mendapat kabar hilangnya Caramel tadi di kantor saat ia mengirimi pesan Dewi mengingatkan untuk memberi makan Caramel. Namun balasan Dewi yang mengatakan jika Caramel tidak terlihat di rumah membuatnya panik. Setelah Dewi memastikan jika Caramel memang tidak di rumah, Kinara meminta Dewi untuk mencetak brosur yang berisi informasi Caramel, dan menyebarkannya di komplek perumahan.

Lucas menepati janjinya, pria itu langsung mengambil sepeda motor untuk mencari Caramel, setelah selesai mandi dan makan. Ia meminta Kinara untuk berjaga di rumah. Dibantu dengan Ridwan, keduanya menyusuri setiap jalan untuk menemukan kucing berbulu lebat berwarna oranye itu. Namun usaha mereka tidak membuahkan hasil, setelah hampir dua jam mencari. Kinara memandang lesu ke arah Lucas saat suaminya itu berjalan dengan tangan kosong.

"Semoga ada yang nemuin Caramel." Lucas merangkulkan tangannya di bahu Kinara.

"Iya semoga aja. Padahal belum lama sejak Caramel ada di rumah ini," sahut Kinara.

***
Keesokan harinya Kinara terus memandangi layar ponsel, berharap ada nomor yang menghubunginya, dan menemukan Caramel. Sebagai pecinta kucing, hal ini tentu sangat mengusik pikirannya. Bahkan ia tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya dan entah kenapa, nafsu makannya pun menjadi menurun.

"Kamu kehilangan kucing, kaya kehilangan anak aja," celetuk Ajeng setelah mendengarkan curhatan Kinara.

Kinara menekuk wajahnya, menatap Ajeng jengkel. "Aku emang udah nganggep Caramel anak aku kok."

"Beli lagi aja lah. Kan suami kamu kaya," kata Ajeng santai.

"Bukan masalah mampu beli lagi atau nggak. Ih ngomong sama kamu nggak ada nyambungnya!" tukas Kinara kesal.

"Idih ngambek. Ini pasti karena kamu belum makan. Orang laper itu emang sensian," ujar Ajeng.

"Aku nggak nafsu. Lagian juga udah makan salad buah tadi." Kinara berdiri dari kursinya, dan mulai membereskan mejanya. "Aku mau pulang awal aja. Lagian juga nggak ada klien yang dateng hari ini."

"Dijemput Lucas?"

"Nggak. Belum pulang dia jam segini." Kinara melirik ke arah jam tangannya yang baru menunjukkan pukul tiga sore. Segera Kinara menelepon Ridwan untuk meminta lelaki itu menjemputnya. Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, Kinara pamit pada Ajeng, karena Ridwan sudah di depan.

"Tumben pulang jam segini Bu?" tanya Ridwan sesaat setelah Kinara duduk manis di kursi penumpang belakang.

"Udah nggak ada klien Pak. Ngomong-ngomong ada kabar Caramel nggak Pak?"

Ridwan menggeleng. "Belum Bu. Tadi saya sempet cari lagi keluar komplek, nggak ketemu juga."

"Gitu ya, makasih Pak ya."

Perjalanan mereka diisi oleh suara merdu para penyanyi yang membawakan lagu lawas Indonesia tahun delapan puluh sampai sembilan puluhan. Sesampainya di rumah, Kinara langsung ke kamarnya untuk mandi dan berganti baju. Perutnya yang belum diisi nasi ini, baru terasa keroncongan, sehingga ia memutuskan untuk turun ke dapur.

"Bu, Bu Kinar." Dewi menghampirinya. "Ada paketan untuk Ibu."

Kinara mengamati sebuah kotak yang dibawa Dewi. Kotak kado berukuran cukup besar, sekitar tiga puluh senti, dengan warna merah muda, yang diikat menggunakan pita. "Dari siapa ya?"

"Nggak ada namanya Bu," jawab Dewi.

Karena penasaran Kinara kemudian dengan hati-hati melepaskan ikatan pitanya, dan membuka kotak tersebut. Namun pemandangan yang didapatkannya bukanlah sesuatu yang ia harapkan.

"AAAA!!!" Kinara menjerit histeris sambil meletakkan tutup kotak tersebut dan mundur dengan tergesa-gesa, hingga membuat wanita itu jatuh.

Dewi yang berada di samping Kinara tidak kalah terkejutnya saat melihat isi kotak. Ia lalu menjauh dari kotak itu, dan menghampiri Kinara yang terpaku di lantai.

"Pak Ridwan! Pak Ridwan!" panggil Dewi berteriak.

Ridwan dari luar berlari menuju dapur dan terlihat panik bercampur bingung saat mendapati majikannya dan Dewi terduduk di lantai.

"Kenapa?"

"Pak tolong singkirin kotak itu." Dewi menunjuk kotak merah muda yang berada di atas meja makan. "Saya mau bawa Ibu ke kamar."

Ridwan segera menuruti perintah Dewi. Matanya terbelalak saat melihat isinya. Dengan tenang ia menutup kembali kotak tersebut dan membawanya ke halaman belakang. Seperginya Ridwan, Dewi menuntun Kinara yang masih terdiam. Wajahnya kini pucat, dan tangannya mengeluarkan keringat dingin.

"Ibu mau dibikinin teh?" tanya Dewi setelah Kinara duduk di tepi tempat tidurnya.

Kinara masih belum bisa mengeluarkan suaranya. Dewi menghela napas, ia memahami perasaan majikannya ini. "Ibu tiduran dulu, nanti saya ke sini lagi bawa teh." Dewi mendorong tubuh Kinara pelan, dan menutupinya dengan selimut.

"Dewi itu paket dari siapa?" tanya Ridwan sekembalinya Dewi dari kamar Kinara.

"Saya nggak tahu Pak. Tadi ada orang naik montor dateng. Ya kaya tukang antar paket biasa," jawab Dewi. "Udah dibuang?"

"Belum."

"Kok belum?!"

"Pak Lucas harus lihat itu dulu. Ini bukan masalah main-main," jelas Ridwan.

Dewi mengangguk setuju. "Ya sudah, Pak Lucasnya cepat ditelepon. Saya mau bikin teh buat Bu Kinar. Dia shock berat kayaknya."

Ridwan mengeluarkan ponselnya dan langsung menelepon Lucas. "Halo Pak Lucas, maaf saya mengganggu," kata Ridwan langsung setelah Lucas menjawab panggilannya.

"Kenapa Pak?"

"Sepertinya Bapak harus pulang sekarang," kata Ridwan dengan nada panik.

"Kenapa? Apa ada masalah? Apa Kinara ada masalah?" Suara Lucas terdengar tidak tenang

"Bisa dibilang begitu Pak." Ridwan bingung bagaimana menjelaskannya pada Lucas. "Jadi tadi Bu Lucas pulang awal, sampai rumah dia dapat paket, tapi paketnya itu tidak wajar."

"Paket apa Pak?" tanya Lucas tidak sabar.

"Saya tidak tahu dari siapa. Saya takut ini termasuk teror."

"Teror? Pak Ridwan paketnya isinya apa? Jangan bikin saya penasaran."

"Isi paketnya, Caramel."

"Caramel? Oh kucing?" Lucas terdengar bingung.

"Iya kucing Bu Lucas." Ridwan menarik napas panjang. "Tapi sudah dalam keadaan mati."

"Astaga! Saya langsung pulang sekarang Pak." Suara Lucas meninggi.

"Tubuhnya juga udah dipotong-potong. Banyak darahnya," lanjut Ridwan.

"Shit! Saya pulang sekarang Pak. Paketnya tolong jangan dibuang dulu, saya mau lihat." Napas Lucas terdengar memburu.

"Iya Pak masih di halaman belakang."

"Terus gimana keadaan istri saya?" tanya Lucas khawatir.

"Bu Lucas dibawa Dewi ke kamar. Kata Dewi dia masih shock setelah melihat isi paketnya." Sambungan telepon tersebut langsung terputus, setelah Lucas mengatakan terima kasih.

***
Kasian Caramel Ya Tuhan T_T

Jangan lupa votement :( kemarin nggak ada target vote, jumlah votenya turun drastis. Huhu. Sedih aku. Aku tunggu votenya 600 ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top