Ch. 1

Sedari tadi, langit telah berubah menjadi gelap gulita. Taburan bintang kecil berwarna putih menghiasinya, membuat pemandangan terlihat indah. Suara ramai dari serangga malam memenuhi luar kerajaan. Seakan mereka tengah berpesta, seperti yang dilakukan Kerajaan Dysariel malam ini.

Suasana sangat menyenangkan bagi para tamu, terlebih pesta dansa yang sengaja diadakan oleh Ratu. Ia mengundang beberapa bangsawan dari Kerajaan Lietthea dan Dysariel.

Dari singgasana, Raja Farga dan Ratu Freida dapat melihat aula dipenuhi pasangan Waltz. Alunan musik biola yang dimainkan oleh para orkestra membuat tarian itu semakin melengkapi. Dua sudut aula yang dipenuhi oleh tamu membuat pesta ini terlihat menyenangkan.

"Bagaimana menurutmu, Farga?" tanya Ratu dengan senyum tipis. Menyentuh pergelangan tangan Raja Farga yang berada di samping kursi.

Lelaki itu menolehkan kepala. Mendapat sentuhan hangat dari ratu, lantas ia menggeleng ringan sebagai jawaban.

Alis Ratu menekuk. "Tidak menyenangkan, ya?"

"Eh, bukan begitu. Maksudku, ini menyenangkan sekali," jelas Raja Farga, "mu-mungkin lebih menyenangkan jika kamu ikut berdansa."

Tangannya terulur pada Ratu Freida, menimbulkan semburat merah muncul di pipi. Bibir wanita itu pun tersenyum dan menerima uluran tangan. "Dengan senang hati."

Kemudian Raja Farga dan Ratu Freida mengangkat tubuh bersama. Mulai melangkah menuju aula yang telah dipenuhi banyak tamu berdansa. Mereka turut bergabung bersama para penari.

Di tengah langkahnya, kepalanya menoleh ke arah singgasana. Memandang putranya, Zeta, yang masih duduk di sana. Langkahnya terhenti pada salah satu letak, sementara satu tangannya tengah digenggam erat.

"Zeta, mari berdansa!" ajak wanita itu seraya melambaikan tangan.

Lelaki itu tidak menjawab. Hanya memberi ekspresi tidak suka pada Ratu Freida, ibunda pangeran. Kedua pipi membelinting, menambah kesan ekspresi tersebut.

Hela napas keluar melalui mulut. "Anak itu ... ia jelas tidak mau ikut," gumam Raja Farga.

"Apa karena tidak suka Waltz?" tanya Ratu Freida.

Raja hanya mengedikan bahu. Ia memaksa tangan dan tubuh ratu untuk pergi. "Sudahlah, biarkan saja Zeta di sana."

Ratu hanya mengangguk pelan, lalu turut mengikuti langkah. Meninggalkan Zeta sendiri di singgasana, dan menerima berdansa dengan rajanya.

Setelah kedua orangtua Zeta pergi dari sisinya, Zeta baru mengangkat tubuhnya dan menuju ke lantai dua. Di sana ia mengharapkan ada udara segar yang bisa meringankan tubuhnya kembali. Namun, rasanya sulit sekali memandang pasangan di bawah.

Sejujurnya, diri Zeta berada di ambang kekecewaan. Awalnya ia sangat senang setelah mendengar tamunya adalah Elias dari Kerajaan Lietthea. Namun, mengetahui ini pesta dansa, maka Zeta tidak memiliki pasangan untuk berdansa. Satu-satunya yang dapat menemani malam ini adalah lelaki itu.

Ia mengharapkan banyak berbincang dengan Elias malam ini, tetapi keadaan malah berubah drastis. Elias tidak bisa menemaninya karena ada perempuannya di samping—tunangannya. Ia tidak bisa meninggalkannya di pesta ini. Karena alasan itu, Zeta ditinggalkan dan berakhir sendiri.

Maka itu, sekarang ia tidak tertarik melakukan apa pun. Musik dari orkestra sudah cukup baginya, menghiasi gendang telinga.

"Hei, kenapa murung?" Tiba-tiba suara itu bertanya padanya. Sebuah tepukan jari pun mendarat di bahunya. Kepala itu menatap manik biru milik Zeta dengan bingung.

Lelaki itu langsung memekik, secepatnya ia menepis penampakan itu yang berada di dekatnya. Ia pun membalikkan tubuh untuk melihat pemilik suara. Nyatanya, hanya seorang gadis berambut putih yang menghampirinya. Tubuhnya dibaluti gaun berwarna ungu muda.

Detik itu mereka terdiam, hanya saling menatap. Zeta pun kaget melihat keberadaannya tiba-tiba muncul. Kemudian satu tangan gadis itu terangkat, menutupi bibirnya yang manis.

"Hahaha, kenapa kamu kaget banget?" tanyanya. Gelak tawa tanpa diduga keluar dari mulut, lucu melihat reaksi Zeta yang berpengaruh padanya. "Padahal aku hanya bertanya padamu, lho!"

Semburat malu muncul dalam hatinya, lelaki itu pun mengentakkan kaki. "K-kukira hantu!" ucapnya, rada bata-bata mengeluarkannya.

Gadis itu semakin tertawa geli, maniknya tidak menatap lawannya. Masih saja terdengar di telinga Zeta, hingga membuat wajah Zeta semakin merah. "Hentikan itu, kamu menyebalkan!" pinta Zeta.

Kemudian tawa itu perlahan mereda. Telapak tangannya turun, tidak lagi menempel pada bibir. Seorang lelaki yang berada di depannya tampak kesal, tubuhnya pun kini tidak lagi berhadapan. Gadis itu pun melangkah mendekati pembatas itu, ikut memandang pasangan Waltz di samping Zeta.

"Kamu nggak ikut mereka?" tanya gadis itu, memulai percakapannya.

"Ikut apa?"

"Maksudku berdansa Waltz di sana. Menyenangkan, 'kan?"

Kepala Zeta menggeleng, tanpa memandang lawan bicara. "Aku nggak suka Waltz, terlebih pesta malam ini."

"Eh, kenapa? Padahal menyenangkan, lho."

Lelaki itu akhirnya menolehkan kepala. Manik merah seperti warna batu garnet menatapnya penasaran. Perasaan Zeta sedikit meluap akibat pertanyaan itu. Tangannya pun mengepal, batinnya melawan keras untuk jujur. Ia ... cukup ragu untuk menjawab.

"Pokoknya aku nggak suka. Terlebih pasangannya Elias, huh! Ia membuatku kecewa malam ini," jelasnya, nada gusar pun terdengar.

Sekonyong-konyong, gadis itu mencondongkan tubuh lebih dekat. Mulutnya pun membuka lebar, "Eeeh, kalau begitu kita sama!" ucapnya menggebu-gebu. Kedua tangannya pun terangkat dan saling mengepal. "Kakakku itu menyebalkan! Sudah tahu aku pasangan Waltz-nya, tapi kenapa ia malah memilih wanita idamannya!"

Mendengar ucapannya yang kilat itu, telinga Zeta terkejut. "Eh, t—tunggu dulu. Katamu, Elias itu ... kakakmu?"

Gadis itu mengangguk cepat. "Iya, itu benar! Kenapa?"

Lelaki itu hanya tersenyum, detik kemudian ia tertawa kecil. "Astaga, aku baru tahu kamu adiknya!" Lalu tangannya terulur pada Shiori. "Aku Zeta."

"E—eh, a-a-aku, aku Shiori," ucap Shiori dengan canggung. Ia cukup kaget ketika Zeta memperkenalkan nama, tetapi tangannya pun terangkat dan menerima tangan Zeta bertemu dengan tangannya. Senyumnya mengembang detik itu pula.

Kemudian tangan Zeta pindah menepuk puncak kepala Shiori. Menyentuh rambut warna putih gadis itu yang lembut. Sebetulnya bukan apa-apa, ia ... hanya kagum melihat tingginya dengan gadis itu. "Tinggi badanmu lebih pendek dari Elias ya," komentarnya sembari membandingkan tubuhnya dan tubuh Shiori yang hanya berbeda beberapa senti, "uhm, tapi Elias pernah bilang padaku kalau umur kita sepantaran."

"Eh, benarkah itu? Senangnya!" Shiori tersenyum lebar. "Kukira Kak Elias seumuran dengan Kak Ze—"

"Elias lebih tua dariku," sela Zeta, tangannya pun mengacak rambut Shiori, "tapi, aku senang bisa berteman dengannya. Ah, kamu juga. Jangan panggil aku 'Kak Zeta', dong. Kita kan seumuran."

Shiori tertawa kecil, kemudian menit-menit itu mereka larut dalam pembicaraannya. Mereka menukar ceritanya satu sama lain yang tersimpan selama ini. Untuk pertama kalinya pada pertemuan pertama, dan Zeta tidak menyesali keberadaannya. Justru perasaan kesalnya pada Elias berkurang setelah bertemu Shiori.

Kemudian pertukaran cerita itu terjeda, tidak dilanjutkan lagi oleh kedua lawan bicara. Pandangan mereka pun sudah berubah, masing-masing sibuk dengan objeknya; Zeta sibuk memainkan jarinya yang terbalut sarung tangan putih, sedangkan gadis itu asik menatap pasangan Waltz di bawah.

Sesekali ia memindahkan pandangannya pada netra merah milik Shiori. Tanpa sadar, dentuman jantungnya terdengar saat namanya dipanggil.

"Zeta," panggil Shiori. "Aku ingin sekali bergabung dengan mereka."

Gadis itu mengarahkan pandangan padanya, dan senyum tipisnya terpasang untuk Zeta. Merah garnet-nya seakan menyala-nyala seperti api unggun. Namun entah detik itu, Zeta tidak mau ditinggal sendiri. Pemandangan malam tadi yang membosankan itu sudah berubah karena Shiori, karena itu ia tidak ingin hancur begitu saja tanpanya.

Namun ketertarikan Shiori pada Waltz, tentunya Zeta tahu itu. Ia memahaminya sekali.

"Kamu turun saja ke sana," balasnya dan hanya itu solusi yang terpikirkan. Tangannya mengepal di atas genggaman besi pembatas.

"Tapi aku nggak punya pasangan," lanjutnya. Sebuah keluhan. "Aku nggak mau sendiri di sana."

Zeta sekilas menoleh, menatap gadis itu lekat-lekat. Raut wajahnya terlihat sedih sekali dan ia tidak mau, raut itu terpasang selamanya. "Aku juga nggak mau sendiri di sana. Bosan, lebih baik di sini saja," ucapnya. Ketika diulang-ulang dalam batinnya, itu terdengar seperti menarik Shiori untuk diam di sini saja, menemani Zeta di sisinya.

Kening Shiori lantas mengerut. Gadis itu mencoba memikirkan jalan keluar yang seadil-adilnya. Maka, ia pun menjentikkan jarinya dan berkata, "Hm ... kalau begitu, Zeta! Jadilah pasanganku!"

Tubuh lelaki itu pun tersentak. "Hah, kamu bercanda, ya? Aku tidak tahu cara berdansa Waltz!"

"Ayolah, untuk malam ini saja!" rengek Shiori. Ia memaksa Zeta sembari menarik lengannya berkali-kali. "Dari awal datang, aku sudah nggak sabar untuk ini!"

Zeta lantas menggeleng cepat, sebagai tanda penolakan. "Nggak mau, aku nggak bisa!" sergahnya, hingga melepas paksa tangan Shiori. Namun yang dilakukannya justru membuat manik merah itu berkaca-kaca. Zeta tertegun, semakin ragu memutuskan pilihannya. Ia pun merasa bersalah jika memilih menolak, yang membuat Shiori semakin sedih.

Akhirnya pada embusan napasnya, Zeta menarik tangannya Shiori. Kakinya bergerak maju, mengarah ke tangga sembari bergumam, "Ah, baiklah. Aku terpaksa." Suaranya pelan, terdengar pasrah sekali, tetapi mampu menekan semangatnya Shiori. Gadis itu bahkan melompat-lompat di sampingnya, pertanyaan darinya beruntun keluar dari mulutnya. Masih tidak percaya dengan ucapan Zeta.

Dan Zeta berkali-kali menjawabnya, "Iya, aku serius!"

Di tengah langkahnya menuntun ke aula, tidak henti-hentinya perasaan senang Shiori hilang. Bahkan tangan Zeta diayunkan ke depan dan belakang berkali-kali, semangat sekali perasaannya untuk menari bersama pasangan barunya. Tidak seperti perasaan Zeta yang lima puluh persen lainnya menolaknya menjadi pasangan Waltz.

Yah, ia terpaksa melakukannya karena Shiori.

Ia kepikiran bagaimana nanti saat menari, takut-takut ia gagal dan malah menabrak pasangan lain. Maka ia memberi tahu Shiori sebelum kejadian buruk itu terjadi. "Shiori, aku mengikuti gerakanmu saja, ya?" usul Zeta, dengan kepala menunduk. "Aku ... benar-benar nggak bisa menjadi pasangan—"

"Nggak boleh," tolak Shiori cepat dan kepala Zeta seakan dijatuhi benda mendengarnya. "Kalau begitu caranya, tarian kita bakal hancur. Serahkan padaku, aku akan mengajarimu Waltz!"

Alis Zeta mengerut, tangannya yang menggenggam Shiori mengerat. "Hah, bagaimana caranya?" tanyanya. "Waltz kan, sulit dipelajari ...."

Shiori tersenyum. "Aku punya tekniknya dan itu mudah dipelajari, kok. Aku yakin Zeta bisa ahli dalam sekejap!" jawabnya santai tanpa mengetahui lelaki itu belum siap diajarkan. Dan anak tangga terakhir, tubuh kecilnya mulai memimpin Zeta menuju kumpulan penari. Ia berlari cepat menuju tengah lingkaran, daerah para penari berdansa Waltz. Sebelum itu ia harus melewati para kerumunan yang menonton pertunjukkan.

Para tamu bangsawan sangat ramai hingga rasanya Zeta tidak mampu menggenggam tangan Shiori, tangannya pun terlepas dari genggamannya. Gurat tangannya sedari tadi berkeringat.

Zeta mendecih, lalu ia melangkah mundur. Mencari arah jalan yang lain. "Shiori!" serunya sembari melangkah cepat di antara kerumunan.

Namun sesuatu membuat langkahnya terhenti. "Expululso!" Dari sudut atas tangga, tiba-tiba seseorang menyerukan mantra aneh. Tangannya terulur, mengangkat tongkat sihirnya tinggi-tinggi hingga titik cahaya yang keluar dari tongkatnya berubah menjadi kabut berwarna putih. Pertama kabut itu hanya menguar di sekeliling lampu kandelir, namun semakin lama asap aneh itu semakin melebar dan menutupi aula. Menanggang mata Zeta untuk melihat wajah-wajah tamu lebih jelas.

Kemudian suara ledakan dari para orkestra mengguncang seantero istana. Asap abu-abu di antara kabut menguar, mengitari aula yang luas. Tubuh para orkestra turut terguncang, sampai-sampai biola itu sengaja digeletak. Kejutan itu tidak diduga mereka, hingga ledakan lain dari sisi lain menyusul, mengejutkan jantung Zeta kembali. Kerumunan tamu bangsawan yang bahagia berakhir berdesak-desakan menuju pintu keluar.

Zeta ikut bersama mereka. Namun tidak berlangsung lama, sebuah cahaya putih terbang. Menubruk lagi langit-langit istana yang lain. Menimbulkan asap abu-abu berkeliaran lagi. Kabut kalah olehnya, tetapi mampu menebar jantung Zeta.

"Mereka ... penyihir?" gumam Zeta, bertanya-tanya. Pandangannya melihat itu semakin tidak percaya, malah semakin membeliak.

Warna perak zirah yang dikenakan mereka ... ia pernah melihatnya sekilas, jauh hari pesta ini. Itu persis sekali seperti kostum para pengawal istana Lietthea.

"Zeta! Zeta, kamu di mana?" panggil suara berat itu. Zeta menoleh ke belakang, mencari arah suara familier itu berasal. Itu ayahnya, dan ia tengah mencarinya. Butuh beberapa detik ia menemukan ayahnya yang berada di pinggir. Posisinya setengah duduk, dan kedua tangan ayahnya memeluk tubuh wanita itu yang terbaring.

Rasanya Zeta mengenali gaun yang dikenakan wanita itu. Matanya pun pernah melihat gaun indah itu berada di sampingnya, duduk bersama di singgasana beberapa jam yang lalu. Dan saat Zeta memikirkan itu, Zeta ... tidak menyangka sosok itu.

Itu adalah ibunya—Ibunda Pangeran lebih tepatnya, yang mengenakan gaun indah itu hanya untuk pesta ini.

Tubuhnya terjatuh ketika ia telah berhenti di depan ibunya. Gaun itu tidak lagi indah di mata Zeta, karena di bagian sisi perut telah kotor. Ada garis miring di bagian itu sebagai pusat lukanya. Noda merah yang menempel, dan cairan darahnya yang segar mengalir dari perut.

Senyum terbit di wajahnya. Senyum penuh luka yang terpasang. "Zeta, ya ...," gumamnya pelan.

Pelukan dari tangan ayahnya dipindahkan oleh Zeta. Lelaki itu lantas memeluk ibunya, tanpa peduli noda merahnya ikut mewarnai pakaiannya. Matanya tidak lagi melihat wajah Ratu dengan jelas, sudah sepenuhnya cairan bening hangat itu membanjiri matanya. Mengalir deras di kedua pipi Zeta.

Raja Farga hanya menatap kedua orang yang disayanginya dengan sendu. Ia menghela napas dan detik kemudian ia mulai membuka mulutnya, "Zeta, boponglah ibumu ke ruang pengobatan," perintahnya.

Zeta mengangkat kepalanya. "H—hanya aku ... dan Ibu?" tanyanya sesengguk. Kepalanya pun menggeleng, sangat menolak permintaan ayahnya. "Aku tidak bisa, Ayah! B—bagaimana kalau nanti—"

"Ayah mohon padamu untuk pergi sekarang juga," sela ayahnya cepat dan penuh penekanan. Jantung Zeta berdetak kencang mendengarnya, ia berada di ambang ketakutan untuk lari sekarang. "Jangan sampai Ayah mengulang ucapan ini lagi, Zeta ...."

Raut pilu Raja Farga terpasang. Zeta pun akhirnya hanya mengangguk ragu, menuruti permintaan ayahnya. "Baiklah, aku pergi," tukasnya dan tubuhnya dengan ragu bersiap membopong tubuh ibunya. Alih-alih takut dengan sihir hitam yang digunakan pasukan zirah dari Kerajaan Lietthea, Zeta mencoba memasrahkan diri untuk melawan ketakutannya.

Raja Farga tetap berdiri teguh, setelah apa yang terjadi pada istrinya. Punggung tegap yang sudah tua masih berada di sana. Sama sekali tidak gemetar berhadapan dengan para penyihir. Dikeluarkan sebilah pedang dan majulah sang raja untuk melawan mereka. Penyerangan istana yang mendadak ini memang membuat kedua netranya tidak percaya. Malah di luar nalar seorang pemimpin Kerajaan Dysariel sekali, kalau selama ini tetangga mereka adalah musuh terbesar negerinya.

🌸

Elias menggendong adik perempuan satu-satunya. Kedua kaki menelus cepat menuju gerbang istana, kabur dari kebebasan mereka—para pasukan penyihir Shinigami, yang tengah membungkam dan membuat rencana di balik kekacauan ini.

Entah mereka sudah bersembunyi berapa lama, mengekori Elias dan keluarga ke negara tetangga. Di situ pun ia rasakan dadanya berkali-kali perih. Namun, tidak sekalipun ia hiraukan. Hanya kecepatan langkah menuju gerbang besi.

Sedikit lagi, batinnya berulang kali. Sedikit lagi sampai, dan kami bebas.

Namun, itu tidak sesuai perkiraannya. Sebatas satu setengah meter, dan ia berdiri di tengah para penyihir. Dikepung, hingga tidak sedikit pun ada celah yang mampu netra Elias tangkap.

Pelariannya terkunci. Tak mampu ia menelus istana dan kembali ke ibunda dan ayahandanya.

Mulutnya mendecih. "Biarkan kami lewat!" pintanya lantang.

Segelintir menertawakan permohonannya. Picingan mata merah melalui topeng zirah membuat emosi Elias meletup-letup.

"Oh! tidak semudah itu, Pangeran Elias," tukas salah satu suara berat tersebut, yang menjawab pintaan Elias. Tenggorokan pemuda itu lantas tercekat, menangkap eksistensinya memisahkan para pengikutnya. Topeng itu yang berbeda dan satu-satunya sosok yang mengenakan topeng wajah berparuh burung tajam serta topi. Itu ... sudah jelas Shinigami.

Perlahan, Elias menurunkan tubuh adiknya. Mata Shiori yang setengah terpejam pun secepatnya disembunyikan eksistensinya oleh Elias. Pemuda itu pun turut melindungi seraya menarik sebilah belati yang tadi terbungkus kain.

"Kau ... tidak. Sebenarnya, apa tujuan kalian di sini?" tanya pemuda itu.

"Sudah jelas, bukan? Kami ingin ikut kalian. Sepi tahu, di istana sendiri."

"Tapi, sampai menghancurkan istana dan membuat kekacauan, bukankah itu sudah jelas kalian merencanakan sesuatu?!" Elias meninggikan suara. Rasa keingintahuan menekan emosi. Namun, ditanggap kembali gelak tersebut padanya dan yang mengepung Elias.

Elias kembali mendecih. Ia pun tertegun beberapa saat, hingga menyadari apa maksud penyerangan ini. Seragam para prajurit istana, serta sihir mereka yang mengepung para penghuni. Hanya sesingkat itu, ia bergidik ngeri.

Mereka mencoba menyalahpahamkan Raja Dysariel mengenai penyerangan ini, sebagai bukti bahwa negara tetangga telah membenci mereka sejak lama.

Elias lantas mencekal lengan adiknya. Tangan Shiori pun berakhir dicekal oleh kakaknya. Kedua kakinya pun lantas mengikuti arah perintah tubuh pemuda itu, menuju celah para penyihir yang mengepung.

Di situ, kedua mata melihat kereta kuda yang ditunggangi sebelum pesta dansa berakhir menjadi tragedi. Kereta kuda itu masih setia berdiri, tanpa kendala apa pun. Di situ pun sosok kedua orang tua menunggu di dalam, dengan kepala menunduk sendu.

Menyadari eksistensi mereka, Shiori membuka mulut, "Kakak, ibu dan ayah ada di—"

Namun, ucapannya tersela. Disebabkan mantra sihir expululso. Arah suara pun berasal dari balik bahu Shiori.

Perempuan itu memekik. Langkahnya pun tersendat batu, diusir pula oleh ledakan.

Tubuhnya lantas berguling-guling di pijakan tanah luar istana yang lembap dan berlumpur. Bentur-benturan yang berasal dari batu kerikil menekan setiap inci di belakang tubuhnya. Anehnya, bagian itu saja, bukan bagian depan maupun kepalanya. Ketika tubuhnya berhenti tergeletak di dekat semak-semak, ia menemukan pemuda itulah yang mendekap erat.

"Kak Elias ...?" gumam gadis itu. Ia menyingkirkan perlahan tubuhnya dari atas tubuh Elias. Menyentuh pundak dan menggoyangkan tubuh itu, tetapi tidak sedikit pun itu membuatnya tenang. Bahkan sebelum mencoba, netra Shiori malah menangkap genangan darah yang berasal dari Elias, sudah membuat sekujur tubuhnya bergidik ngeri.

Wajahnya kotor, sementara Shiori hanya lecet. Gaun Shiori kotor, tetapi hanya sedikit mengenai cairan tersebut. Berkat Elias. Sementara pakaian Elias yang sangat digemari pemuda itu jauh lebih parah. Terkoyak dan warna aslinya yang telah pudar.

Ini ... salahnya. Salah Shiori yang selalu dilindungi.

Bulir air mata mulai berjalan di pipinya. "Kenapa aku ...?" Benaknya dibuncah banyak pertanyaan, begitupun mengenai malam ini.

Tidak berlangsung lama, ia kembali dikepung. Para penyihir yang mengenakan zirah kerajaan Shiori. Topeng mereka masih dikenakan, berbagai pertanyaan pun terbetik.

"Wah, masih belum mati."

"Apa yang harus kita lakukan, nih?"

"Hm, sudah tahu bunuh perempuan itu, kan."

Mata Shiori membeliak. Tubuhnya yang tidak tenang, semakin tidak tenang dan berada di bawah kegamangan terparah.

Mantra itu pun kembali diucap bersama. "Expululso."

Lingkaran itu muncul, lambangnya berputar semakin cepat dan mengeluarkan sinar. Perempuan berumur 12 bergeming. Ia memilih tidak kabur. Kali inilah ia yang berutang budi, atas apa yang pemuda itu berikan selama hidupnya.

Namun, tanpa disangka Elias terbangun. Disentuh dan digeser tubuh adiknya ke kiri. Elias pun menggerakkan tubuh, turut menutupi eksistensi Shiori yang hendak diserang mereka.

Namun malangnya, tidak sepenuhnya perlindungan itu menutupi tubuh Shiori. Tepatnya, cahaya tajam itu yang memecahkan salah satu mata yang sudah memiliki warna merah garnet.

🌸

Psst, Sankyuu sudah membaca part 1 AMLT. Ini update tertelat yang pernah kulakuin :'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top