Chapter III | Are Thrown the Dreams
Selama sesaat Elowen June menatap Abriel Dain dengan jari-jari menggigil dan dada yang panas. Senyum sang raja menetap.
"Apa maksudmu?" suara Elowen hampir gemetaran.
"Kukira tak ada maksud terselubung di sana."
"Bukan itu." Elowen menarik napas kuat-kuat. Ia mengedarkan pandangan untuk memastikan tak ada yang berada di sekitar mereka. Suaranya lantas membisik. "Apa itu berkaitan dengan ... dengan Ratu yang bertelanjang dengan keledai? Mengapa kau mempermalukan istrimu sendiri?"
"Begitulah."
Abriel sebenarnya bisa menjawab lebih: keperluan memastikan ramuannya bekerja dengan baik atau tidak. Namun Elowen tak tahu-menahu apa tepatnya ramuan yang Abriel buat. Jika Elowen tahu Abriel membuatkan ramuan cinta (yang salah sasaran!) alih-alih ramuan Peluluh Guna-guna, Elowen bakal marah. Entah bagaimana ia punya firasat demikian. Karena ia tahu Elowen. Mungkin begitu saja.
Sementara itu Elowen mengalihkan pandangan sejenak, memutus jejak-jejak masa lalu yang merambati hatinya. Sudah dipastikan obrolan ini sedang terjadi antara Elowen June dan Abriel Dain, bukan Raja Peri.
"Wah. Padahal kau sangat memperjuangkannya bertahun-tahun lalu." Elowen mencoba mengejek.
Dan itulah alasan mengapa hubungan mereka tak pernah tercapai. Seketika pelajaran berenang di Sungai Besar rampung, usai pula detak-detak jam kebersamaan mereka.
"Andai kau tahu kebenarannya, Elo."
Apa kebenarannya? Bibir gadis itu terbuka, nyaris meluncurkan satu "Mengapa?" yang begitu singkat dan beracun. Untung saja imannya kuat, sebab ia berhasil beranjak tanpa mengucapkan apa pun. Sekarang tangannya penuh dengan dua genggam pansy liar. Ia lega karena tak membawa keranjang. Itu berarti hanya sedikit waktu bersama sang raja.
"Mari kembali. Tak patut jika peri-peri lain melihatmu membantuku di sini sementara mereka menyiapkan segalanya untukmu."
"Aku tak melihat ada yang keliru," gumam Abriel saat mereka berdua melangkah meninggalkan deru sungai. Cipratan airnya mengkristal di lapisan terluar pakaian mereka. "Raja peri semestinya sama pantasnya untuk bertanam dan memetik, menggali dan membangun selaiknya peri-peri lain."
Elowen diam saja. Ia masih merasa bahwa yang berbicara di sampingnya adalah Abriel, dan ia berhak mengabaikan Abriel. Tidak jika Raja.
Raja Abriel berdeham. "Beritahu aku di mana Atlas Soil dan akan kuurus semuanya nanti malam. Kalian terlelap lebih awal daripadaku yang tinggal di Utara."
Elowen yakin yang berbicara sekarang adalah Raja. Maka ia menjawab, "Atlas biasanya menggali lubang-lubang untuk perapian. Carilah ia di lapangan perjamuan."
Itulah akhir dari pembicaraan mereka.
Malam itu peri-peri timur tidur lebih awal. Mereka lelah atas perjamuan sehari semalam, sementara hanya Raja dan Si Kerdil yang terjaga di ceruk pohon Elm terbesar di sana. Pohon mereka dijaga oleh peri-peri kekar yang tidur ayam pada dahan-dahan kokoh. Sedangkan Kaden tidur terpisah malam ini. Ia sengaja disuruh beristirahat di dekat periuk ramuan dengan alasan penjagaan, padahal Raja tak mau igauannya tentang Elowen didengar seantero Hutan Timur.
Raja menggendong Si Kerdil di bahunya dan terbang ke tempat para peri tanah tidur.
Kali ini Si Kerdil benar-benar meminumkan setuba ramuan pada Atlas Soil. Lalu Raja mengembalikan Si Kerdil ke ceruk untuk beristirahat. Ia sendiri belum mengantuk.
Raja terbang dalam kesenyapan, mengawasi satu per satu rakyatnya mendengkur dan menggumam dalam irama lembut yang bersahut-sahutan. Aroma pekat tanah basah berkelindan dengan debu bintang dan pancaran bulan. Saat ia terbang semakin tinggi, semakin cerah pula situasi hutan, dan ia tiba di dekat dahan Holly yang tersembunyi oleh rimbun dedaunan Elm muda.
Niat hati Raja menyapa Holly, yang juga kawan lamanya di Sungai Besar. Lantas ia melihat sobekan-sobekan perkamen berguguran dari dahan Holly. Keluhan gadis itu menyusul.
"... Atlas Soil. Aku yakin cintamu begitu tulus kepadaku, dan bukan semata-mata atas dorongan ibumu terkasih. Hmm ... Masalahnya aku takut bertemu Elowen, dan cinta tuamu padanya sudah pasti memudar ... oh tidak, tidak. Duh, bagaimana aku mesti menulisnya?"
Raja berhenti. Matanya berkedut sekuat detak menyakitkan di dada, yang kemudian lumer menjadi asam hangat di perutnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan berbalik.
Ia memilih terbang menuju dahan tempat Elowen tidur.
Tidak. Ia tidak berniat membangunkan gadis itu dan memberitahu apa yang terjadi. Dan ia tahu betul bahwa Elowen sangat menghargai jam tidurnya, sebagaimana mereka pernah berbaring di dekat sungai tiap bulan purnama dan berlomba mendongengkan kisah-kisah manusia terabsurd.
Raja Abriel hanya ingin mengenang kembali masa-masa itu. Melihat Elowen tidur tengkurap berselimut daun-daun jati. Lalu ia akan pergi dari hutan ini besok, kemungkinan setelah sarapan, dan melanjutkan pencarian tambatan hati ke Hutan Selatan.
Sebab ia tidak yakin bisa mencari potensi tambatan hati di Hutan Timur. Tidak selama ada Elowen June, dan selama gadis itu masih menatapnya dengan mata bulat sepolos kancil betina.
Namun, seiring dengan berlalunya detik-detik yang ia lewatkan untuk mengawasi Elowen, semakin besar keengganannya untuk beranjak.
Mungkin satu hari lagi, pikirnya. Sembari menunggu Si Kerdil membuatkan ramuan penawar untuk Kaden, sebab Raja harus memastikan semuanya lancar. Itu tanggung jawabnya.
Benar, satu hari lagi.
Elowen bangun dan, tanpa sengaja, menyenggol kaki Atlas saat terbang terlalu rendah menuju sungai. Karena Kaden tidak ada maka Atlas yang tidur paling tepi.
"Atlas, maaf," gumam Elowen dingin.
Namun, Atlas terbangun dengan pipi merona rindu. "Elowen?" ia memastikan di antara kabut kegelapan dini hari. "Apakah ini mimpi? Elowen?"
Merasa deja vu, Elowen mengernyit. Namun ia tidak beranjak. Satu sisi dalam dirinya merindukan suara Atlas yang sarat kasih sayang itu. Akhir-akhir ini Atlas mengobrol padanya macam seorang pendosa besar, nadanya penuh penyesalan dan bukan kasih sayang lagi.
"Mau ke mana seorang diri?"
"Sungai," jawab Elowen bimbang.
"Aku ikut."
Elowen tidak mencegah, padahal yakin Atlas bakal membombardirnya dengan permintaan maaf tanpa solusi. Mengingat betapa Atlas teramat pasrah dengan perjodohan ini membuatnya sakit. Namun, jika ada kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan mantan kekasihnya sebelum babak baru, ia akui ia masih mau.
Mereka terbang bersisian menuju sungai. Suasana masih sangat gelap kecuali kunang-kunang yang menyala abadi di ruang sembarang. Kadang-kadang kulit sepucat matahari subuh Elowen tampak seterang madu, kadang-kadang sekelam hatinya yang remuk.
"Elowen, kamu tahu aku menyayangimu, kan?"
Masa? "Oh. Holly belum membalas surat lamaranmu?" ia pura-pura mencemooh.
"Surat lamaranku? Holly? Bah. Aku tidak peduli." Atlas terdengar tersinggung lebih daripada seharusnya. Tahu-tahu ia menggamit jari Elowen. "Mengapa Holly kalau yang kucintai cuma kamu?"
Mereka berhenti terbang. Elowen menatapnya curiga. Bukankah Atlas begitu mudah merelakan hubungan mereka? Mengapa sekarang tiba-tiba ....
"Apa?" seruan Kaden mengejutkan mereka. Ia melesat dari arah hutan. Matanya menyala-nyala cemburu. "Tidak! Kau telah menyakiti Elo. Jangan rebut Elo dariku."
Atlas terkesiap. Ia menggenggam Elowen teramat erat sampai-sampai gadis itu meringis. "Kau bercanda, kawanku? Elowen milikku sejak dulu! Dan apa maksudmu!?"
Salah, batin Raja yang mengawasi dari kejauhan. Elowen bukan milik Atlas sejak dulu. Elowen milik Raja dahulu, sebelum Atlas datang sebagai kesatria penyelamatnya yang kemudian menyakitinya juga.
Kedua peri tanah berfisik serupa itu pun bertengkar. Sial. Bakal ribet jika dibiarkan terjadi, sebab ramuan penawar masih diaduk oleh Si Kerdil dan butuh waktu sembilan jam rebusan.
Raja baru saja akan menengahi, tetapi sekelebat peri lain mendahuluinya. Menyadari bahwa itu Holly, Raja tertahan di tempat. Matanya membeliak menyaksikan Holly menyusul ketiga peri di sana.
+++
"Kaden, Kaden!" Holly memanggilnya dengan bingung. "Kenapa kau tiba-tiba meninggalkanku, Kaden?"
Kemudian tampaklah kekacauan itu di depan matanya. Mula-mula ia mendapati bahwa Kaden tengah menengkari saudaranya Atlas. Itu mengherankan. Kedua pemuda ini adalah kawan erat sejak kecil. Ketika Kaden menginginkan Holly, maka Atlas menginginkan Elowen. Sahabat untuk sahabat, begitulah peri-peri saling berhubungan.
Kemudian matanya menemukan keanehan yang lebih jauh. Atlas menggenggam Elowen erat-erat, menyembunyikan gadis itu seolah Kaden akan menerkamnya. Ini dua hal yang mengejutkan! Pertama, bukankah Atlas semestinya menanti-nanti surat Holly dengan galau?
Dan lagi, apa yang Kaden lakukan dengan wajah merah padam?
Dan lagi, Kaden mengacuhkan panggilan Holly! Tampaknya kedua pemuda itu mengabaikannya, kecuali Elowen yang seketika pucat pasi melihat kedatangan Holly.
Sesuatu tidak beres.
"Jangan menjilat ludahmu sendiri!" Kaden berseru, dan tahu-tahu badannya merangsek. Ia merenggut tangan bebas Elowen ke sisinya. "Elo tidak pantas berada di tangan orang plin plan sepertimu."
Atlas melotot. "Berhenti memanggil Elowen sedemikian akrab. Aku tahu rasa cintamu padanya hanyalah nafsu menggebu sesaat saja!"
"Apa-apaan ini?" Holly akhirnya mendarat di sisi mereka. Wajahnya semerah batu delima mentah, tajam dan mematikan. Surat untuk Atlas kusut di tangannya yang mengepal. Ia melempar amarah pada Elowen. "Apa yang dilakukan kedua pemuda gila ini atasmu?"
+++
Rasa tersinggung menggores hati Elowen. Napasnya tertahan dan air mata panas bergumul-gumul di pelupuk mata.
"Apa kau menuduh ini perbuatanku, Holly?" balas Elowen. Nadanya tak kalah tinggi. Jika ia tidak bisa lebih cantik, lebih ceria, dan lebih diinginkan daripada sahabatnya, setidaknya ia bisa lebih mengancam daripada Holly.
Selama sesaat, ia tergoda untuk mempertahankan tangan-tangan pemuda itu di pergelangan tangannya. Ia muak melihat Holly yang dicintai Kaden pun diinginkan oleh kekasihnya sendiri.
Pagi ini—menit ini saja—ia ingin ikut merasakan euforia diperebutkan dua pemuda. Ia mengangkat dagunya kepada Holly, yang sayapnya mulai semburat kelabu hitam di punggung.
"Sayang sekali aku tidak bisa berbuat apa-apa," ledeknya. "Aku tidak berbuat apa-apa dan mereka mencintaiku begitu saja. Yang, kuakui, sangat penuh dengan kebohongan dan ejekan."
"Tidak, Elo, aku benar-benar mencintaimu!" Kaden bersikeras. Ia merangsek untuk memeluk Elowen, tetapi gadis itu menghindar sebagaimana pemuda satunya.
"Pergilah, keparat. Elowen milikku sejak lama!" raung Atlas. Ia nyaris memukul Kaden, dan untungnya berhasil dielak. Meski begitu kedua pemuda kemudian saling berkejaran, memutari pohon-pohon macam anak kecil berebut hadiah orang tua.
Holly terlihat nyaris pingsan. Ia menatap Elowen dengan air mata yang ikut bergumul-gumul. "Kenapa kau berkata seperti itu kepadaku? Apa kau kesal karena Atlas lebih memilihku? Andai saja kau tahu bahwa aku sangat takut menemuimu, karena khawatir akan menyakiti perasaanmu hanya dengan bernapas saja!"
"Tidak, kau pendusta!" balas Elowen. Ia menuding surat yang diremas-remas Holly. "Kalau kau takut, kau semestinya tidak menulis surat apa-apa. Kau takut padaku karena kau mempertimbangkan Atlas, bahkan setelah memiliki cinta Kaden!"
Jeritan Elowen menghentikan lari-lari Atlas dan Kaden. Saat kedua pemuda itu menatapnya dengan keterkejutan serupa, Elowen baru menyadari sesuatu.
Kedua mata mereka berkabut, yang kini kian menebal tersebab api asmara yang dibakar kecemburuan.
Elowen terhenyak.
Abriel.
+++
Keheningan yang sempat mengambang itu meyakinkan Raja untuk bergegas mundur. Firasatnya mengatakan bahwa Elowen—atau mereka semua—bakal menemuinya.
Maka Raja berbalik arah, mempersiapkan kegemparan nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top