Chapter II | And the Flower Fairy
Si Kerdil kembali ke sudut hutan bagian timur, di mana peri-peri terlelap lebih awal dan bangun pada dini hari. Ketika para penghuni Hutan Barat masih berpesta pora di waktu senja, Hutan Timur telah lelap.
Ia melayang-layang di antara para peri tanah yang tidur pulas berselimut daun-daun kering. Dalam kegelapan yang hanya disinari kunang-kunang, Si Kerdil melihatnya: pemuda berambut gelap dengan kulit kecokelatan. Maka ia menarik mulutnya, menuangkan setuba ramuan cinta, dan bergegas pergi.
Di samping pemuda itu adalah muda-mudi lain dengan rambut gelap dan kulit kecokelatan.
"Betapa gagahnya dirimu, Sayangku, dan betapa lembutnya bulu-bulumu! Mari bercinta."
Raja menahan mual di balik senyum keji yang terkulum. Di bawahnya, sang ratu tengah mengelus-elus bokong keledai yang sengaja dilepaskan di bawah balkon istana. Para pelayan kerdil pun panik.
"Kita berlibur ke Timur," ujar Raja pada si kerdil berjanggut merah dan perak. "Aku ingin melihat apakah ramuannya juga bekerja pada Atlas Soil."
Jika ada hal yang bisa dilakukan untuk menutupi keretakan pada pertemanannya dengan Elowen June, maka itu adalah memenuhi permohonannya. Ia seorang raja sekarang.
Si Kerdil mengikuti Raja dengan patuh. Saat mereka meninggalkan istana, Sang Kesatria berlari terbirit-birit masuk. Langkahnya setengah melayang ketika sayap jingganya berkelepak dan berpendar panas. Wajahnya pucat pasi dan merah padam sekaligus.
"Ratu! Apa yang terjadi pada ratuku!?"
Kekacauan itu menjadi pengantar liburan Raja yang manis. Ia berniat berlibur ke tiap-tiap sudut hutan dengan niat mencari potensi cinta baru. Tujuan pertama adalah Hutan Timur, sekaligus memastikan bahwa permohonan Elowen June telah dipenuhi.
Elowen tidak bisa tidur semalaman.
Ia tengkurap di salah satu dahan bersama para peri pohon Elm di dahan-dahan lain, termasuk Holly. Si sahabat tidur di dahan tertinggi. Ia mampu nyenyak ketika jauh dri hamparan tanah basah. Tentu saja. Holly mendapatkan cinta abadi Kaden, kekasihnya, serta lamaran dari Atlas—kekasih Elowen.
Elowen sedih karena Holly tidak menawarkan tidur bersama. Tampaknya Holly sibuk memikirkan rangkaian kata untuk membalas lamaran Atlas—entah diterima atau ditolak, keduanya sama-sama bencana bagi Elowen.
Saat lapisan kabut dini hari pertama turun, gadis berambut kenari itu beranjak turun. Ia harus membangunkan Kaden. Ini giliran mereka menyebar ranting patah di sepanjang tepi hutan.
"Bangun, Kaden." Ia menggoyangkan bahu pemuda berambut gelap dan kulit kecokelatan, yang tidur paling ujung di antara barisan saudara sejenisnya.
Butuh waktu hingga Kaden rela membuka mata. Kedua irisnya yang berwarna kelabu muda berpendar lemah. "Elowen?" bisiknya serak. Ia linglung ketika Elowen menariknya bergegas. "Apakah ini mimpi?"
"Apa maksudmu?" tanya Elowen lemas. "Ayo pergi."
Mereka terbang rendah sembari mengoleksi ranting-ranting baru sepanjang jalan. Peri-peri lain masih terlelap, kira-kira satu jengkal waktu lagi mereka baru bangun. Pada waktu itu, Elowen dan Kaden sudah tiba di tepi hutan, melemparkan ranting ke tiap inci tepi hutan. Ini akan memperingatkan para peri jika ada manusia yang masuk.
Namun sepanjang mereka bekerja, Elowen menyadari bahwa Kaden terus membuntutinya.
"Pergilah ke ujung sana, Kaden," ujarnya. "Kau hanya akan menumpuk ranting-ranting di sebelah sini!"
"Elowen," suara Kaden tak pernah sedemikian lembut, sampai-sampai Elowen seketika berbalik badan. "Kau sangat cantik pagi ini."
Elowen melotot. Padahal lingkar hitam matanya jelas dan rambut panjangnya bergelombang kasar. "Apa kau mengejekku?"
"Apa? Tidak! Demi Bulan, kau terlihat seperti peri malam yang misterius." Wajah Kaden bersemu merah. "Betapa bodohnya Atlas Soil karena lebih memilih untuk mengejar kekasihku daripada mempertahankanmu!"
Kaden Brown jelas-jelas sedang mengoloknya. Sayap Elowen mengepak keras. "Tidakkah kau memiliki rasa iba pada kawanmu ini, Kaden? Ketika Holly sayangmu sibuk dan Atlas mencampakkanku, apakah kau mesti ikut-ikutan?"
Kaden linglung. Ia terbengong-bengong saat Elowen terbang melewatinya. "Elo, tidak. Tunggu."
Mereka terus seperti itu sepanjang bekerja sampai tiba waktunya pulang. Elowen sangat khawatir dengan cara Kaden yang begitu serius mengolok-olok sampai membuatnya jijik.
"Elo, aku sungguh—"
"Kaden," sela Elowen. Ia sudah kehabisan cara untuk menyuruhnya diam dan menangis bukanlah cara terakhir meminta. "Jika kau serius tentangku, maka tutup mulutmu saat di depan orang lain."
Kaden seketika diam. Elowen menatapnya tak percaya. Namun, tak ada waktu berlama-lama di tepi hutan karena matahari telah merayap sejengkal-jengkal dari garis batas dunia. Mereka terbang kembali dan Elowen berusaha menjaga jarak, tetapi Kaden bakal perlahan-lahan mendekat.
Elowen menduga Kaden disengat Kalajengking Khayalan, atau mungkin telinganya kemasukan Semut Selaput yang bisa mengabuti tempurung kepalanya. Ia mulai memikirkan Frankincense oil atau cuka putih untuk diberikan kepada Kaden. Sembari mengobatinya, Elowen harus menjauh dari Kaden, Holly, dan tentu saja Atlas. Ini semua menyakitkan.
Namun kehadiran tak disangka Raja dan Si Kerdil di Hutan Timur membuat berbagai rencana Elowen luluh lantak. Itu bagus juga, sebab semua mendadak sibuk menyiapkan tempat menginap Raja. Lubang pohon Elm terbesar dikosongi, para penghuninya diusir sementara, dan bantal-bantal bulu angsa dijejalkan.
Elowen tak punya waktu untuk membenahi diri. Ini membuat suasana hatinya kian buruk karena setiap peri wajib menyapa satu per satu, dan tampaknya semua telah melakukannya karena kini sibuk menata-nata. Saat Elowen dan Kaden datang, Si Kerdil melompat-lompat.
"Dua peri di situ! Menghadaplah kepada Raja."
Elowen bersungut malu saat Abriel memaku tatapan padanya. Mendadak lingkar hitamnya terasa menyebar ke sekujur wajah dan rambut kusutnya mengembang bulat sesempurna surai singa.
"Yang Mulia." Elowen dan Kaden membungkuk bersamaan. Saat gadis itu mengangkat pandangan lagi, ia menyadari kernyitan samar di dahi bersepuh tato putih Raja.
Namun yang bersuara justru Si Kerdil. Ia sudah pasi dari tadi. "A-ah, mirip juga."
"Tidak, Kerdil. Warna mata mereka berbeda. Apa kau baru menyadarinya?"
Si Kerdil meringkuk gelisah.
Raja menatap Kaden yang kerap melirik ke arah Elowen, berharap mampu mendekati gadis yang mungkin bisa mencakarnya kapan saja.
"Kamu bukan Atlas Soil, kan?" itu bukan pertanyaan. Sebagai raja, Abriel mampu mengenali tiap perbedaan rakyatnya termasuk sesamar perbedaan satu tingkat warna mata. Masalahnya iris Atlas berwarna hijau daun dan Kaden bermata cokelat tanah.
"Saya Kaden, Yang Mulia. Kecintaan Elowen." Kaden tersipu-sipu, dan siapa saja tahu rona merah di wajahnya sangat tidak wajar. Elowen melotot, Si Kerdil terkesiap, dan Raja mengatupkan bibirnya segaris lurus.
Elowen refleks mengedarkan pandangan. Holly tak terlihat. Di saat sibuk begini, Holly biasanya ditugaskan untuk memetik daun-daun paling muda di puncak hutan. Peri lainnya juga tidak tertarik untuk menguping, sebab ada begitu banyak jamur dan rempah yang harus dimasak untuk jamuan besar, dan nektar-nektar serta kelopak-kelopak segar yang harus diseduh untuk minuman pesta.
"Buatkan lagi, Kerdil," kata Raja masam. "Dan Kaden, tunjukkan tempat Kerdil mampu bekerja seorang diri. Lebih baik dengan pengawasanmu."
Kaden terlihat enggan untuk berpisah dari Elowen. Wajahnya berdenyut seirama degup jantungnya saat bersama gadis itu, yang kian pucat saat terbang menjauh. Si Kerdil melompat-lompat mengikutinya.
Elowen, sadar bahwa hanya tersisa dirinya dengan Raja sementara para peri menyibukkan diri, paham bahwa tugasnya adalah menjadi pemandu Raja. Sial. Ia buru-buru menata emosi.
Mempersilakan Raja untuk berjalan bersama, Elowen membuka obrolan.
"Mengapa Raja datang tanpa rombongan?" meski itu sebenarnya adalah hal bagus, karena tak perlu membuatkan jamuan lebih besar dan menyiapkan lebih banyak ceruk tidur. Elowen tidak mau tidur berdesak-desakan dengan para peri timur.
"Karena ini bukan kunjungan kerja. Aku hanya ingin berlibur sebentar."
Terdengar cukup aneh, sebab: "Di mana Ratu?"
"Di kastel, mungkin sibuk bertelanjang dengan keledai kami."
Elowen mengira salah dengar, tetapi seringai kelam di ujung bibir Raja merupakan pengingat realita. Raja terus melangkah. Mereka melewati pohon-pohon yang rapat hingga tiba di tepi sungai. Rimbun pansy tiga warna memenuhi sejulur tepian.
Raja berlutut dan baru saja akan memetik, lantas Elowen menghentikannya.
"Tidak, Elo," katanya. Ia mengerling pada sungai tenang di sisi mereka. "Mari memetik dan mengobrol, sebagaimana yang sering kita lakukan dulu saat belajar berenang di Sungai Besar."
Elowen sempat ragu-ragu. Ia tidak menyukai luapan kenangan-kenangan lama di benaknya, yang sengaja dipantik Raja. Ia ragu mencelupkan tumit pada luapan itu.
Namun jika raja peri berlutut, maka ia harus juga. Maka mereka pun berlutut sambil memetik satu per satu pansy tiga warna.
"Adakah engkau masalah dengan Ratu?" Elowen tak bisa menahan diri.
"Ya."
"Itukah mengapa engkau ingin berlibur dengan cara seperti ini?"
"Ya," kata Raja, lantas terdiam sejenak. Sesaat kemudian, ia menatap Elowen lekat-lekat.
Ia tersenyum janggal.
"Tentu saja karena aku ingin menemuimu lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top