A² Telekinesis
Ketukan batu berulang-ulang dikenakan pada tiang besi di suatu taman. Figur pelakunya hanya tersirami sinar lampu, sementara sekeliling gulita. Yakni gadis remaja yang mengenakan baju tidur motif garis-garis, dengan sandal jepit karetnya memijak setapak. Bunyi keras yang dia ciptakan menggema sampai kejauhan, terjadi alternasi suasana lengang ke ramai sesaat.
Sejak kecil gadis tersebut selalu penasaran ketika bangun tengah malam sering kali terdengar bunyi seseorang menokok tiang, dan sepertinya dia sekarang tahu orang macam apa yang melangsungkan hal tersebut. Kurang kerjaan sekali malam-malam begini keluar rumah lalu ke taman untuk memukul tiang lampu, tetapi faktanya itulah yang dia lakukan saat ini.
Dia terkikik-kikik sepantun orang sesat akal.
Maka, guna memberinya penghakiman, sosok itu datang.
Pangkur dieret menggesek setapak gulita, tangkainya digenggam lengan masif berbalut jaket tebal. Sosok itu melangkah perlahan, mengambil jeda yang tepat di saat bunyi ketukan tiang besi bergema. Setelah dekat, si gadis menoleh terkejut. Sosok itu sudah ada di belakangnya, mengacungkan pangkur tinggi-tinggi di atas kepala.
Si gadis mengelak sampai terduduk paksa, lengan kirinya tergores sedikit dan kain baju tidurnya koyak. “Si-siapa kamu … ? Apa yang kamu mau? Jangan apa-apakan saya … !”
Namun, sosok itu tak menyahut, hanya embusan napas berat yang keluar dari topeng kainnya. Si gadis bergerak mundur dengan pantat, dan tangan, dan sandal, amat panik, tetapi sekujur badan yang gemetar menjadi penghambat sendiri. Tatapannya terus terpaku pada sosok itu, memastikannya tak menyerang di kala lengah.
Di saat dia panik berangsur, tangannya merasakan suatu tekstur permukaan yang agak keras, tetapi bisa diremas sedikit.
“Apa ini? Terpal?”
Selepas mengamati lebih cermat, si gadis menampak garis tepi lurus berwarna serupa aspal. Tepi itu sempat tersamar berkat kegelapan. Perhatiannya terus menurut garis hingga bertemu sudut siku-siku, tanda akan adanya garis lain. Bisa diduga ini adalah persegi, berarti sebuah terpal lebar tengah menutupi jalan setapak, guna mengelirukan jalan setapak tersebut.
“Apa-apaan ini? Siapa yang melakukan hal sekonyol ini?”
Embusan berat terdengar.
Tindakan berpaling ialah kesalahan fatal. Ketika dia berbalik guna menatap sosok itu, pangkur melayang ke arahnya, mengenai wajah. Si gadis menjerit kesakitan, tercetak goresan luka lebar dari dahi ke hidung sampai pipi. Darah pun menetes-netes ke terpal jalan.
Sosok itu menghantamkan senjata tajam sekali lagi, kini pada perutnya. Si gadis memekik, mulut pangkur menancap secara vertikal. Pangkur ditarik, terdapat noda merah segar menyertai. Si gadis memekau ngeri tatkala cairan merah melimpah keluar, membasahi pakaiannya.
Pangkur dibuai, diarahkan perut berulang. Kulit panjang terbuka menganga dari selangkangan ke dada, menampakkan visera serona merah muda. Sosok itu terengah-engah, mencabut senjata kemudian membenamkan ke tempat yang sama, mirip gerakan memangkur. Dia membantun senjata, menghunjamkan ke dalam perut berburai, menghela kembali, menanamkan pangkur lagi.
Sementara si gadis lemas, mata mendelik ke atas, mulut terganga tak kuasa menahan pedih. Rintihan keluar, tetapi tak jelas apa yang dia ucap. Darah makin meluap, membentuk genangan yang makin luas ke terpal jalan.
Bunyi keras tercipta ketika pangkur dibanting agak jauh. Sosok itu tahu-tahu mengarahkan kedua tangan bersarungnya, merasuk ke rongga perut. Si pemilik tubuh mengerang kesakitan saat benda panjang merah muda berbalur darah diregang keluar, terus-menerus oleh sosok itu yang mengganas, begitu panjang sampai beberapa meter. Usus yang tertarik menggulung di atas terpal jalan, tergeletak tak beraturan. Berikutnya, sosok itu mengangkat jeroan lainnya, hati yang bergelambir, lambung, sepasang paru-paru, ginjal, jantung, pankreas. Berburai semua organ dari dalam situ, menyisakan perut yang kempes berisi kulit serta tulang.
Warna terpal pun bersalin biram pekat, menyamakan sinar lampu taman yang berperan saksi atas segenap peristiwa ini.
***
Tubuh Bapak terlonjak dari kasur busa. Sarung yang mulanya membungkus terlipat kusut ke bawah kaki. Di kamar khas rumah kontrakan itu, Bapak memulai aktivitas serupa biasa, seiring TV di ruang tengah menyiarkan berita. Bapak dibuat muak untuk dengar lagi, karena toh bakal sama seperti sebelumnya. Dia naik tangga menuju langit-langit, dengan perlengkapan biasanya terbawa di genggaman.
“Enam gadis pelajar di Perumahan Kayuapu menghilang. Pihak kepolisian tengah menyelidiki kasus ini.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top