9-13. Tujuh Anak Pemberani! (1-5)

Catatan:
Karena jumlah bab dibatasi, maka 5 bab ini digabung jadi satu dengan total jumlah kata 5,7rb dengan rincian: 1,1rb; 1,8rb; 1,1rb; 0,8rb; dan 0,6rb.

###

Bag.-1

Keluargaku adalah simbol kesempurnaan. Terdiri atas sosok Ayah sebagai kepala batih yang tajam pikiran, sosok Ibu sebagai pengurus rumah tangga yang berida, sosok aku sebagai anak yang mengabdi serta rajin berpegangan tangan.

Kehidupan keluargaku yang benar-benar ideal.

Namun, suatu malam semua itu berubah.

“Maaf, anakku, sepertinya Ayah sudah tidak bisa menjadi ayah lagi.”

Dengan tangan bersimbah darah, Ayah menyibak gorden hijau, memasuki kamarku yang pintunya terbuka ke luar. Aku terbangun paksa, melihat pria itu masih kenakan baju tidur, berjalan perlahan menghampiri kasur ranjang. Suaranya gemetar seolah-olah terkuras habis, tetapi penuh emosi yang tak bisa kukenali. Kedua kepolak matanya memelotot dengan pupil mengecil, seiring seringai lebar tercetak pada wajah nan masam.

“Ayah habis melihat film bertema keluarga yang bagus sekali, dan Ayah ingin keluarga kita bisa bernasib sama seperti yang ada di film itu. Ayah ingin menjadi suami yang membunuh istrinya dengan sadis, menyiksa anaknya sampai lumpuh. Kemudian bertahun-tahun menyimpan mayat istri di rumah dan menyekap anaknya di kamar sampai bisa ditemukan polisi. Itu semua ada di film itu.”

Dia mengacungkan lengan dengan jemari bergetar, sangat jelas terlihat berlumuran darah di bawah penerangan lampu. Semakin dekat jarak Ayah, semakin aku menyangkak. Aku pun acap menarik selimut sampai wajah, berharap ini semua mimpi. Namun, tawa pria itu membangunkan kesadaranku. Dari nada yang membuat merinding, aku tahu dia sedang senang, tetapi terdengar amat ganjil.

“Ayah sudah mencoba membunuh Ibu dan sepertinya berjalan lancar, dan sekarang giliran kamu untuk kusiksa supaya bisa sama persis sepeerti yang ada di film itu. Dan, semoga berhasil.”

Kuturunkan selimut, dia tahu-tahu berdiri di samping ranjang, menunjukkan wajah bengis menakutkan.

Dalam satu kejap, pria itu beralih rupa termanifestasi monster. Sosok asing teramat berbahaya yang memandangku laksana mangsa, mencabik-cabik dan merobek-robek kulitku, dagingku, organ dalamku, tulang-tulangku, sampai tak tersisa, meninggalkan ceceran serta gumpalan merah pekat yang bercerai-berai.

Daripada bernasib begitu, aku pilih loncat dari kasur, menghindari terkamannya. Monster itu tangannya tergelincir pada katil, mengecap jejak merah, membuat tubuhnya terjungkal. Aku berlari menuju ambang, menyiah gorden, gegas sembunyi di balik pintu yang terbuka ke luar. Monster mengerikan itu keluar tunggang-langgang, membelah gorden, lurus terus ke ruangan lain dalam rumah. Aku buru-buru masuk kamar lagi, mengunci pintu, berharap ini tempat nan aman.

Sebuah keputusan yang salah.

Banting! Pukul! Tumbuk!

Malam yang seharusnya sunyi gagal karena laung, geraman, serta gedoran pintu yang tak mau berhenti.

"Bajingan! Buka pintunya! Kalau tidak kau buka, kubunuh kau! Dasar anak setan! Kau bukan anakku! Kembali saja ke neraka!"

Daun pun meretak, makin lebar, terbelah menganga, sampai pintu pun hancur. Monster itu datang dengan derap antapnya. Aku bertempik, sangat ketakutan. Sekujur kulit, sendi, rahang, otot, tulang, semua mati rasa. Menyaksikan sosok mencekam dengan wajah momok, seringai lebar, sorot mata tajam itu, aku tak bisa bergerak.

"Sini kau, anak setan!" Monster itu berjeda. Tangannya menuju agak bawah perut, melepas kepala ban, lalu membantun benda tersebut sampai menjadi gelangan hitam yang menjulur jatuh ke tegel ambar.

Monster besar dengan ban di genggaman semakin dekat, sementara aku tak mampu mundur sebab lutut menggigil. Dia merangket ekor ban ke betisku. Aku mengedau sekuat mungkin. Rasanya sakit sangat, rintihan keluar. Tampak bekas memar tercetak di kedua betisku. Kemudian ban dipecut ke tubuhku. Ke paha, naik ke pinggang, punggung, dada, perut, naik lagi ke lengan, ubun-ubun, tengkuk. Aku memekik kesakitan, meraung-raung, seiring hampir seluruh kulitku memerah.

Aku mencoba kabur, tetapi monster itu bergerak, mendekapku erat. Kubuka mulut yang gemeletuk, lalu kugigit tangannya, tetapi keras sekali ibarat terlapisi kulit badak. Monster itu menerus layangkan ban ke tubuhku.

Namun, karena tubuhku yang kecil, monster itu kesusahan memiting. Berkat dorongan meronta-ronta, aku terlepas dari cengkeramannya. Aku kabur dan bersiah sekencang mungkin.

Di lorong yang menghubungkan ruang tamu, mataku menangkap kepala Ibu tergeletak di depan kamar mandi, disusun bersama tubuhnya yang terpotong-potong membentuk patung yang pernah kulihat di rumah prostesis. Di rumah prostesis lampau ada banyak bagian tubuh buatan yang terpisah-pisah, disusun di atas lantai dan digantung pada langit-langit. Bedanya yang kutampak sekarang ialah jasad asli, bersimbah darah, dengan isi perut serta ceceran daging berserakan ke mana-mana, menghiasi keramik pula dinding.

Perutku mual, amat nausea. Hidung laksana tertusuk sesuatu yang tajam, mataku berair, cairan dari dada bergejolak naik ke rongga mulut. Muntah mengalir mengotori lantai, campuran antara kecokelatan dan hijau-hijau lembek. Kuusap bibir, lalu berbekal pandangan berkunang-kunang mengacir menuju serambi depan.

Aku berhasil melarikan diri dari rumah.

Tunggang-langgang dalam kegelapan, tanpa lampu-lampu jalanan, seolah seluruh rumah perumahan bersekongkol lakukan pemadaman serempak. Pecahlah kesenyapan berkat dengung langkah kaki tanpa lapik, suara napas yang terengah-engah, ratapan meminta tolong. Aku tak paham arah, tak tahu harus ke mana. Yang kumengerti hanyalah bahwa aku harus terus bergerak menjauh agar terhindar dari cengkaman monster itu. Namun, lariku berhenti mendadak ketika sesuatu tertumbuk pandangan.

Ada setitik cahaya di depanku.

Aku pun stop. Titik ahaya tersebut laksana memanggil untuk menuju ke tempatnya berada. Maka kuberanikan mendekat, perlahan-lahan menembus kegelapan malam.

"Siapa kau?" tanyaku selepas jarak aman tercapai.

Tidak ada balasan. Cahaya di hadap terlalu silau. Aku tidak bisa melihat wujudnya.

Tatkala kuhampiri, cahaya itu ternyata bersumber dari tiang lampu. Berkat iluminasi, aku bisa mengetahui bahwa ini berada di sebuah taman, dengan rumput pendek tumbuh di tanah lapang serta semak-semak terlihat di antaranya.

Kuamati benda setinggi dua meteran di depanku. Lampu taman yang indah. Bentuk bolanya, pendar putihnya.  Kelopak mataku terbuka lebar terpatri pada sosok nan memikat, tak berkedip, senyum puas hati berulas. Napas memburu, punggung terkesiap, terasa gerah piama, laksana memuncak hormon adrenalin di pembuluh darah. Semacam ada dorongan yang bergolak dari dalam dada kiriku. Serupa gerak batin yang menggelitik serta menggebu-gebu. Sepantun santau yang menyebar ke seluruh tubuh dan tak bisa diheningkan.

Aku merasa …. Aku merasa ... bebas! 

"Terima kasih sudah menyelamatkanku … !" Kusambut dalam dekapan tiang lampu taman itu, meratap sejadi-jadinya.

Aku begitu bersyukur, berterima kasih kepada lampu taman ini. Berkatnya, kini diriku telah terbebas dari monster jahat itu.

###

Bag.-2

Siluet kelam muncul dari antah-berantah. Aku tersentak, menentang figur yang jauh-jauh menembus kegelapan merupa perawakan seorang pria berumur tiga puluhan, tetapi wajahnya terlihat lebih tua daripada itu.

Beliau yang asing ini berpenampilan layaknya pria biasa. Kaus oblong yang besar sesuai ukuran perut, celana jin bekas pakai masa taruna praja, juga sarung tersampir bahu biar terlihat sedang jaga keliling. Tingginya menjulang sampai aku harus mendongak dan terancam pegal hulu. Rambutnya beruban macam terkena sindrom (alisnya juga, wah), air muka mungkin masuk golongan ramah, wajah keriputnya berlapis-lapis, tetapi tidak sampai ratusan. Cukup menggelitik.

Jangan begitu, aku. Itu bukanlah Ayah.

Antipati membanjiri hati seketika. Kenangan hari-hari cerah bersama Ayah dan Ibu mengiris sel demi sel kebahagiaan dalam otakku, mengubahnya jadi keputusasaan.

Beliau beralih posisi berlutut, barangkali hendak menenangkan. Nadanya mengandung empati saat berujar, "Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Mengapa kau menangis sendirian? Di mana rumahmu?"

Aku yang membuang muka, menoleh. Rautku yang kusut dan berair jadi terekspos.

"Wah malang sekali ka—” Memekik! “Anakku!"

“Eh?”

Berjalanlah skrip skenario yang turun tiba-tiba, mengingatkan akan kenangan pentas drama kala mengisi acara perpisahan kakak kelas di sekolah. Menurut naskah kini, aku ialah anak pria itu yang beliau cari-cari selama bertahun-tahun. Akhirnya kami dapat berjumpa kembali.

Telah dipertemukan oleh sebuah lampu taman, di latar tempat penuh kutukan ini.

***

"Nah, ayo, masuk."

Pria itu mempersilakan aku menjejakkan kaki beralas sandal--beliau memberikannya saat di gerbang--ke halaman nan luas diterangi lampu-lampu yang terpasang pada tongkat kayu. Sejumlah pelita tumbler juga terentang di atas kami, membujur dari sisi tembok ke batang-batang tanaman tahunan. Itu terlihat sangat cantik lagi menarik dengan rona warna-warni yang berganti-ganti secara teratur.

Sembari terus mengegah, kutemui barisan pohon yang diusahakan di petak lahan pekarangan sisi kanan. Dari buah-buahnya dapat kuketahui meliputi tanaman sirsak, sawo, dan srikaya. Terdapat gelas-gelas kemasan minuman mineral berisi air yang dibenamkan dalam tanah sekitar perakaran, sengaja ditanam di situ katanya untuk menjaga ketersediaan air bagi tanaman. Bagian bawah gelas dilubangi kecil-kecil sehingga air menetes perlahan.

Sementara di sisi kiri, ada kolam jernih dengan air mancur mini di tengah. Banyak ikan koi beragam corak yang berenang ke sana kemari. Di dekatnya berdiri rumah kaca besar yang di dalam bisa jadi ada lebih banyak tanaman eksotis. Jangan lupakan pada dinding di belakang yang memanjang, diaplikasikan vertikultur dengan wadah botol plastik, tersusun atas tanaman hortikultura seperti sawi-sawian, terong-terongan, bahkan stroberi.

Aku banyak belajar lewat lektur singkat selama melalui halaman ini. Pria itu pasti punya berlimpah pengalaman di bidang biologi terapan. Hobinya pasti berkebun. Selagi menjelaskan, kuingat betul-betul tiap langkah kemari sedari awal.

“Wah … !” Aku terkagum akan apa yang terpampang di depanku.

Di ujung setapak, tampak nyata sebuah rumah megah berlatar belakang keindahan angkasa malam tabur bintang-bintang serta ditemani cahaya rembulan biru. Rumah megah tersebut bertingkat dua, mempunyai serambi lebar, gaya desainnya agak aneh karena cukup tertutup, tetapi tak memungkiri keindahannya. 

Aku pun diajak masuk melalui teras yang terdapat sejumlah gazebo, terlihat nyaman dan damai jikalau kubayangkan bersantai di situ. Kulepas sandal, kemudian tapak kaki kubersihkan pakai pengesat dari anyaman kain perca, terdapat tulisan “3W0)72M” di tengahnya--yang baru kusadari setelah kulangkahi dan berbalik tengok.

“Wah … !” Aku terlalu takjub akan bagian dalam rumah yang luas lagi rapi.

Ruang tamu menyambut, amat menyilaukan pandangan akibat lampu-lampu putih diterap beratur pada langit-langit. Aneka ragam perabotan mewah ditata rapi pada rak-rak yang ditempelkan di tiap dinding ruangan. Di sudut-sudut pula dijumpai pot yang ditanam tanaman ornamen berdaun tebal seperti sanseviera, anturium, dan filodendron.

Puas melihat-lihat, aku berhenti di atas karpet bermotif satwa dilindungi di tengah ruangan. Pria itu kemudian tersenyum menatapku, memberikan ekspresi paling hangat yang pernah kujumpai.

"Mulai sekarang kau tinggal di sini, oke?"

"Iya, Ayah!" Mendengar itu, matanya melebar, kedua alis terangkat.

Benar, jikalau aku dipersembahkan menetap di kediaman seperfek ini, beliau kini adalah ayahku. Mulai sekarang akan kuberi sapaan ‘Ayah’ kepadanya.

Akan tetapi, mengikuti skrip skenario, rumah di sini tak ada bedanya. Bahkan lebih buruk dan mengerikan dari rumah yang dahulu kutempati. Tidak, bukan itu. Penghuni di dalamnyalah yang dimaksud oleh naskah.

***

Hari kesatu, ini ruangan yang malam. Ayah berada di sisiku, menyalakan lampu nan bercahaya redup.

"Nah, berbaringlah."

Sesuai permintaannya, aku bertelangkup ke meja aneh berbentuk palang yang terletak di tengah ruang. Ayah membebatkan kedua tangan dan kaki serta leherku dengan tambang yang terhubung ke tiap-tiap ujung palang.

Katanya, Ayah ingin membenamkan benda tipis panjang ke dalam anggota tubuhku. Tidak akan sakit, tenang saja, hanya seperti ada yang menggigiti daging. Ayah pun menyiapkan alat berupa gunting kecil yang baru pertama kali kulihat modelnya, untuk membelah perutku. Lalu dia mengambil pisau kecil yang juga baru pertama kali kulihat, dan mulai mengoperasi perutku. Aku merasakan seperti ada yang mengalir sedikit demi sedikit.

"Ini, minum lagi tehmu." Aku pun menurut. Ayahku yang baik hati.

Lalu Ayah meneruskan pekerjaannya, sibuk sekali. Dia menanamkan benda aneh ke perutku.

Ternyata aku tidak sendiri. Aku ditemani enam teman lain. Sepertinya mereka seumuranku. Namun, mereka tak bergerak sedikit pun. Beberapa bagian tubuh raib dan visibel lubang yang besar di sekujurnya. Namun, tak apa, aku bersyukur ada yang mendampingiku di sini.

Ayah bilang, aku adalah anak ke-7 yang sesuai. Dengan begini, sudah lengkap anak yang Ayah butuhkan untuk tujuannya. Tinggal aku, maka segalanya akan sempurna.

Hari kedua, terkancing di kamar yang pengap lagi gelap tanpa ventilasi udara. Aku meringkuk di kasur, sangat ketakutan. Aura kebencian amat mendalam menguar ke seisi ruangan.

"Apa yang telah dilakukan Ayah semalam?" Kulihat perut dan menjumpai bekas jahitan panjang. "Mengapa aku bersedia diperlakukan begini, dan tidak merasa sakit?"

Aku mulai mengingat sesuatu.

"Teh! Tadi malam sebelum tidur, Ayah menawariku teh. Teh itu pasti telah dicampuri obat! Ayah kejam, kejam sekali ... !"

Aku mengenali fakta baru.

"Keenam anak lainnya … ? Mereka semua ... mati?"

Lambung terasa mual dan ingin muntah isinya, tetapi kuurungkan tindakan itu. Ayah nan bengis itu telah menyiksa dan membunuh enam anak tak berdosa. Aku pun menangis dalam ketakutan.

“Apanya yang anakmu, Ayah Kejam?! Awalnya aku senang akhirnya ada yang mau berbaik hati padaku! Pengkhianat. Pengkhianat. Kurang ajar. Pengkhianat! Pengkhianat kurang ajar!” Aku pun berteriak-teriak hingga kerongkongan amat parau dan suaraku tersekat.

Daun pintu sekonyong-konyong terbuka. Ayah berdiri di ambang. "Ayo, anakku. Kita lakukan hal itu lagi." Dia menyodorkan segelas air mencurigakan.

"Pergi! Pergi! Kenapa kau kunci kamar ini? Aku ingin keluar!"

Ayah menghela napasnya. Lalu, raut wajahnya berubah mengerikan. "Anak setan sialan! Menurutmu siapa yang mau-maunya datang kemari? Ayo cepat, sebelum aku merusak bibir dan lidahmu."

"Tidak! Tidak mau! Tidak! Tidak! Tidak mau! Tidak!"

Ayah menarik dan menyeret tubuhku. Aku menendang dan memukulnya, tetapi tak berkesan. Postur Ayah jauh lebih besar, meronta pun tak ada untung. Namun, aku tak peduli, sinambung memberontak sampai dia berhenti mengeretku. 

"Apa tujuanmu, Ayah Kejam?!" teriakku di depan mukanya.

"Ilmu hitam. Dengan mengumpulkan tujuh anak lugu, tertindas, penyendiri, atau penyimpan dendam, maka kekuatan tak terbatas yang sempurna akan berada padaku. Dengan begitu, seluruh dunia seisinya berada dalam genggamanku! Manusia, binatang, tumbuhan, segalanya berada dalam kekuasaanku! Sudah tak dapat dipungkiri lagi saat itu akulah Tuhan yang sebenarnya!" Tawa sinting.

"Ayah Gila! Sinting! Pembunuh!"

"Diam kau, Bocah Tengik. Cepat minum dan ikuti kata ayahmu ini." Ayah mencekoki mulutku memakai air dalam gelas yang dibawanya.

"Tidak! Tidak, Ayah! A--” Kepalaku mulai merasa pusing. Pandanganku kabur. Pikiranku menjadi tak jernih dan kosong.

Aku menatap muka Ayah, memanggilnya lembut bak anak yang penurut. Senyum sebagai balasan. Lalu kami berdua berjalan menuju ruangan gelita.

Sesampainya, pelita berdaya rendah dihidupkan. Ayah lagi-lagi menyuruhku bergelimpang ke meja tinggi dari batu silang. Dia melilit pergelangan lengan dan kedua tumit juga pinggangku.

Ayah mulai mengisikan benda tipis panjang ke tubuhku. Rasanya tak sakit, tetapi bagaikan ada yang menokak dagingku. Dengan gunting yang sama seperti kemarin, Ayah menyayat punggungku. Lalu menyediakan pisau kecil yang juga kemarin aku lihat, untuk membedah daging-daging. Aku merangsang ada yang mengalir sedikit demi sedikit.

Ayah menyodorkan segelas berisi cairan kecokelatan yang katanya itu teh. Aku pun mengiakan. Ayahku yang berbudi. Lalu operasi dilanjutkan. Dia amat sibuk sekali. Benda aneh dimuatkan ke dalam punggungku.

Hari ketiga, di kamar sesak.

"Ayo anakku. Makan makanan ini. Kalau kau tidak makan, nanti kau mati,” terang Ayah. Dia pasti sudah mencampurkan obat bersama makanan ini.

"Biarlah aku mati. Lebih baik begitu. Biarkan aku mati. Lebih baik begitu. Biarkan aku mati--lebih … baik begitu."

Mungkin sudah dua setengah hari aku tak makan. Selama itu aku menderita halusinasi berat. Kupandang Ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk seseorang di kursi.

"Makan, ya."

Seseorang itu membalas girang sekali, lalu menyantap makanannya. "Mama ... Mama!"

Berikutnya Ibu menyiapkan makanan untukku. "Nak, Nak, ayo kemari." Sereal dicurahkan ke wadah kecil di atas lantai.

Aku menghampiri wadah dan meluluskan moncong, lalu buka bibir untuk melahap makanan yang telah Ibu sediakan. "Enak sekali!"

Tanpa kusadari, makanan buatan Ayah tercerna di dalam perut.

"Nah, begitu dong. Anak baik. Anak baik.”

Lalu dia menuntunku ke ruangan gulita. Ayah menyulut penerangan remang-remang. Aku kembali rebah membujur di bidang datar tinggi, kedua tangan dan kaki serta leherku dibelit.

Ayah start mengisikan benda tipis panjang ke tubuh. Rasanya nikmat, tetapi sepantun mengerkah dagingku. Ayah memungut alat lain, kini gunting kecil. Daging tangan kananku dia buka. Lalu dengan pisau kecil, dia menetaknya. Benda aneh pun ditancapkan hingga dalam.

Hari keempat, sialnya aku tak terpikirkan satu pun cara untuk keluar dari neraka ini. Aku tak dapat berpikir jernih. Kepalaku laksana dikosongi, akibat obat di dalam makanan yang masuk perut.

Malam hari telah tiba. Ayah datang, memindahkanku ke ruangan lain nan temaram. Dia memasang lampu redup, sementara aku menelentang ke kenap batu besar, yang baru kuingat namanya ialah mazbah. Ayah mengalitkan semua alat gerakku.

Setelah itu, Ayah melewatkan jarum tipis panjang tembus kulit. Ayah mencabik daging tangan kiriku dengan gunting. Lalu dengan pisau kecil, mengerat daging segar. Terakhir benda aneh disisipkan sampai terbenam.

Hari kelima, aku dipapah ke sebuah ruangan untuk disiksa. Rasanya senang sekali!

Ayah mengaktifkan petromaks selagi aku bertangkup ke mazbah. Berikutnya, sepenuh hati dia mengebat tandem tangan serta kaki. Ayah kemudian menghunjamkan jarum suntik panjang ke lengan atasku. Dia meraih gunting, mengoyak paha kanan. Lalu pisau bedah dia keluarkan guna mengiris dagingku, dan benda aneh dibelamkan ke dalamnya.

Hari keenam, "Ini adalah hari terakhir operasimu. Bergembiralah!" sorak Ayah, dengan nada riang. Aku tidak paham maksudnya, tetapi jikalau itu membuat Ayah senang, maka aku pun turut bahagia.

Malam lekas tiba. Ayah memarakkan lampu, aku berebahan di atas mazbah dengan kondisi tungkai pula lengan telah dipertalikan. Ayah menciumkan jarum suntik panjang ke kulitku, nikmat sangat. Gunting bedah diambil, paha kiriku dibedel. Selanjutnya, memakai pisau bedah, dia menoreh daging sampai lebar, menjejalkan benda aneh.

"Operasi terakhir selesai!" seru Ayah. "Besok adalah hari penantian yang kutunggu-tunggu selama hidupku!" tambahnya.

Gelak lebar-lebar dan kencang-kencang memenuhi telingaku yang merangsang senyum panjang terbit. Aku menangis terharu. Atau seharusnya takut.

Hari ketujuh, ini yang terakhir. Ayah pada akhirnya memapahku keluar hunian. Dia sepertinya ingin menuntunku ke suatu tempat. Di tengah jalan nan gelap lagi sempit terisolasi, Ayah berceloteh tentang sesuatu semacam suatu cara, atau apa pun itu, entahlah? Telingaku tidak berfungsi dengan baik akibat mendengarkan gelak mendengking semalam suntuk.

Hingga kami sampai di latar tempat yang terkutuk. Tidak lain tidak bukan taman berlampu satu ini.

Aku bergidik. Bergidik senang. Sebentar lagi aku bakal meledak oleh kegirangan ini!

"Ini, minumlah." Aku menenggak cairan dalam botol yang diarih itu. "Itu penawar," terangnya.

Aku pun tersadar.

"Hah!"

Setelah mengingat semuanya, kulayangkan wajah penuh antipati kepada tua bangka yang dilaknat itu. Namun, semua sudah terlambat, ketika sebuah parang ditodongkan ke dadaku.

###

Bag.-3

Hidup tidak ada apa-apanya sebelum ‘anihilasi’ tiba.

Bapak masih ingat dahulu masa mudanya dia habiskan dengan hal-hal yang tak bermanfaat. Mengaji bahan kelas 7 kali 25 jam seminggu, duduk di depan mesin tik seharian demi selesaikan tugas laporan, menghabiskan waktu berharga via merangkum semua materi buku pelajaran, buang-buang kesempatan sekolah tinggi-tinggi malah ujungnya pengangguran.

Namun, sekarang Bapak sudah insaf. Pindah kediaman ke kompleks permukiman merupakan langkah awalnya memulai kehidupan baru. Menurut selebaran yang dia bawa, nama tempat tersebut ialah Perumahan Kayapu dengan jargon “SEMARAK”, untuk kawasan tinggal yang sehat, elok, maju, aman, rapi, asri, dan konstitusional*.

(*semboyan terdahulu untuk Kabupaten Kudus; ‘Kudus Semarak’)

Singkat cerita, berkat usaha Bapak membangun relasi banyak-banyak ke aneka rupa lingkaran, kini dia terkenal di kalangan rukun warga. Bermacam-macam spesies orang dia kenali termasuk orang dalam, di antaranya CEO perusahaan, wanita asisten, badboy sekolah, icegirl, fake nerd, ketos, dan cowok psikopat. Kalau ghost-boy/girlfriend tidak ada karena nanti melenceng genre.

Bapak selalu memulai dari nol. Dia bersedia bantu apa saja, termasuk menembak surat izin mengemudi. Orang-orang kesusahan yang terjebak di jalan buntu bisa terselamatkan berkat sentuhan ajaib Bapak. Ada yang korupsi, bakal dibersihkan namanya pakai sapu sekalian seisi gedung dewan. Ada yang kena kanker, akan disembuhkan dengan mantra sihir sekaligus seluruh pasien RS. Ada yang meninggal, bisa diadakan resurjensi bersama-sama semua penghuni kuburan.

Itu semua berbalik ke Bapak sendiri. Karma yang nyata. Ketika mula memesan rumah kontrakan, semua proses dilicinkan sehari beres. Tak peduli dari mana asalnya, apa tujuan Bapak, yang penting jasa beliau tuntas terbalas.

Bak memenangkan pot perjudian, kontrakan ini gres serupa rumah jutawan. Selepas segenap barang bawaan ditaruh dari kol ke teras oleh para pekerja, Bapak menemukan loteng saat berkeliling. Terdapat tangga lipat dari plafon yang bertingkap. Itu bisa dipanjangkan, tetapi tak sampai lantai. Untung postur Bapak cukup, jadi tidak usah ke panti pijat untuk menambah tinggi badan secara kilat.

“Terima kasih, Om-Om!” Bapak mengawai kepada kol berisi para taruna yang duduk di belakang. Dasar, tahu bahaya. Sementara taruna-taruna memicing tak suka, barangkali karena umur mereka masih belasan (tadi ada yang ditanyai dan jawabnya baru saja putus SLTP). 

Bapak berterima kasih semua operasi mulus sesuai rencana. Seiring masuk rumah dan letakkan barang-barang ke tempat nan layak, dia berandai-andai dengan diri sendiri apabila nanti saat level bos ditaklukkan, dia bisa memperoleh bonus maksimal, diangkat oleh Ratu jadi kesatria kerajaan terbaik sepanjang masa yang legendaris-perkasa-gagah berani. Ini tentang gim konsol yang dimainkannya selama perjalanan jauh tadi.

Kamar telah rapi, ruang tamu kemas, dapur ketat, toilet siap. Tak lupa koleksi rahasia diselipkan di antara ranjang dan kasur busa. Koleksi gim. Hobinya ‘kan main gim konsol. Sebelum aktivitas lebih lanjut, Bapak rebah-rebahan sekilas untuk merestorasi poin kesehatan serta poin sihir sampai batang hijau penuh.

Kebiasaan Bapak di rumah kontrakan barunya adalah menghabiskan waktu dengan menyapa tetangga yang lewat, sementara kebanyakan dari mereka pilih putar jalur untuk menghindar. Bapak itu memang bermanfaat, tetapi ibarat obat, jika dosis berlebih dapat bersifat letal. Tak ayal beberapa yang rentan dibawa ke puskesmas terdekat naik brankar terbang. Itu sudah yang kelima hari ini.

Karena sikon demikian, Bapak beralih kerutinan. Lagi pula, loteng pernah berceletuk di mula, “Hei, manusia, ada yang bagus ini! Cepat kemari dan cari tahu ada misteri apa di tiap momennya!”  

Bapak menurunkan tangga lipat, lalu memanjat. Kondisi loteng lengang, minim barang selain piano terbungkus kain dan konstruksi rumah-rumah binatang pengerat. Dia melangkah dekati lubang angin berlapis kaca tanpa kapabilitas dibuka. Bapak pun berbalik, turun kembali. Beberapa saat kemudian, dia datang membawa gorden putih beserta tongkat baja ringan juga boks perkakas. Panjang diukur, paku dipalu, baru tongkat dipasang. Kemudian pengait-pengait diterap dan kain gorden putih pun direntangkan.

Bapak sangat genius.

Melalui jendela kaca, indra visualnya mampu menyaksikan orang-orang lewat, baik itu pedestrian maupun pengendara jalan raya. Bapak merasa tinggi hati bisa lihat semuanya dari jendela gorden putih. Sementara sosoknya tidak tampak dari luar karena dilindungi kaca penghalang. Dari loteng itu, jarak pandang dapat memanjang hingga cukup jauh, meneropong tanpa teropong, menembus perempatan, trotoar, rumah-rumah kecil, sampai ke suatu taman.

Saat seorang wanita lansia keluar rumah, tandasnya, “Haha, Nenek Peyot itu akhirnya keluar dari persembunyiannya. Mungkin dia sedang menuju klien yang ingin mengirim santet.”

Kala remaja sekolahan berkeliaran di jam efektif, pungkasnya, “Ah, anak itu pasti mau menemui pacar yang dihamilinya dua bulan lalu, untuk pergi ke dukun aborsi tentunya.”

Masa sepasang pria-wanita muda bepergian naik sepeda motor, lontarnya, “Ini pasti pasangan nikah siri kemarin yang baru saja diberitakan koran. Ah, membikin malu kompleks saja. Pantas mereka bawa barang banyak-banyak untuk kabur.”

Begitu terus rutinitas sehari-harinya.

Pada suatu malam, seperti biasa Bapak menikmati pemandangan sembari mematai-matai tetangga, berdiri di balik jendela loteng. Jika capai baru ambil kursi bakso di pojok ruangan.

Malam lebih membosankan karena lengang, tetapi peluang menemukan momen langka lebih besar. Kemarin Bapak baru saja memergoki anjing Pak Squad mengencingi bunga-bunga tulip Bu Word, lalu diteleponlah anak Bu Word. Pagi tadi anjing itu sudah diantar ke penampungan hewan dengan sukses.

Bapak tertawa geli, dibuat pelan supaya tak berlebihan. Pandangannya mengedar, meneropong pada pertigaan, perempatan, perlimaan. Membosankan hanya ada para taruna yang menongkrong sambil berkonspirasi. Atensinya beralih lagi. Pada atap-atap rumah, kanopi pepohonan, lapangan sepak bola.

Lalu fokusnya terkunci pada taman dekat perumahan.

Terlihat seorang remaja yang biasa-biasa saja, tetapi semacam ada sesuatu yang menghanyutkan dari pesonanya. Karena kurang jelas, kali ini Bapak sungguhan meneropong. Berkat semprong, tampak bayan remaja itu tengah berdiri di depan tiang lampu--satu-satunya penerangan. Dia mendongak, menatapi lampu berbentuk bola tersebut. Baju yang dikenakannya barangkali koko hijau dan sarung kotak-kotak serta songkok hitam.

Remaja itu … apa yang dia lakukan di sana? Bapak tahu-tahu frustasi, sangat penasaran. Begitu tertarik dengan kemisteriusan si remaja.

Sebuah ide seketika menghantam kepala Bapak. Senyum lebar pun terbit, kedua sudut bibir tertarik ke atas sampai pipi, mata mendelik culas, sekalian misai serta rambut halus tumbuh di mukanya bagaikan dedes tatkala menampak bayan sebagai mangsa empuk.

Kerja sel-sel otak berlipat kali lebih lancar manakala ambisi besar ditetapkan. Bapak telah menemukan hal luar biasa. Yang dapat membuat hidupnya warna-warni bagaikan darah yang tidak hanya merah. Yang mampu mengubah hidupnya beragam aroma bagaikan darah yang tidak hanya berbau karat.

Hidup seperti Musang!

***

Di pos ronda, berkumpul pria-pria tua dan paruh baya yang sebentar lagi memikirkan bagaimana bentuk liang lahat yang akan mereka dapatkan di permakaman. Mereka sempat merasa resah akan presensi taruna-taruna, yang bukannya bantu reboisasi lahan malah menongkrong tak guna. Cuih. Bapak berdecak-decak.

Di sini biasa mereka membahas gurauan yang tidak Bapak pahami, misalnya:

<insert joke here>

Bingung, bukan?

Tertawa saja, lah. “Haha.” 

Kala kesempatan tiba, Bapak pun buka suara dengan menanyakan hal yang ditemuinya baru-baru ini. Tentang seorang remaja di taman malam yang selalu menatap lampu di sana. Itu sangatlah membikin penasaran.

“Remaja itu?” sahut salah seorang pria.

Iya, iya, iya, Bapak angguk berulang kali saking antusiasnya.

“Remaja itulah yang menurut rumor bakal menunjukkan kepada kita ‘penghakiman’ yang sebentar lagi datang.”

###

Bag.-4

Hari ini adalah jadwal Bapak berpartisipasi dalam acara tahunan Perumahan Kayuapu yang berjudul Pekarangan Lestari.

Melalui megafon mobil keliling, seseorang yang penting memberikan wara-wara bahwa pukul sembilan pagi bakal diadakan reboisasi (sekaligus menghabiskan dana anggaran pemerintah) dengan menanam bibit buah-buahan di tiap rumah serta di taman-taman kompleks permukiman. Ketua rukun warga pun bersiap di lapangan bersama angin dan rumput.

Bapak kebagian tugas di taman dekat kompleks bersama seorang puan berdaster. Puan tersebut tukang gosip yang setiap hari tak lupa selalu menggunjing sampai mulutnya dower, meski katanya itu habis disengat tawon. Bawaan Bapak penuh dengan dua ember besar berisi air, yang nantinya dipakai untuk membasahi media tanam. Media tanam itu dibuat dari campuran dari kompos, tanah, pasir, dan pupuk pabrikan, dengan perbandingan tertentu.

Secara cekatan, Bapak bekerja efisien lagi efektif dalam pemanfaatan setiap sumber daya yang ada. Ini semua demi menekan input biaya yang ada serta mengoptimalkan produktivitas nantinya. Performa terbaik yang biasa Bapak lakukan. Kini sudah berpuluh bibit tanaman naungan tertanam di lahan marginal, dan tak terhitung tabulampot yang siap diedarkan ke rumah-rumah warga. Itu belaka tak akan berhasil tanpa bantuan Jin dan Jun.

Sementara, puan tukang gosip laksana mengadakan quorum sensing, mengirim molekul persinyalan yang sebabkan dia jadi pusat perhatian, sehingga tak lama kemudian pasukan puan-puan penggosip (dan setengah) berdatangan. Ini semata dimulai dari tersebarnya kabar tak mengenakkan, bukan tentang Nenek Peyot si dukun santet maupun tentang aborsi bayi yang kedelapan dari pasangan ilegal. Melainkan mengenai rumor penculikan gadis pelajar.

Sembari mengaduk-aduk campuran media tanam menggunakan sekop, para puan duduk mengumpul di tempat rindang, di depan gundukan tanah aneka rona. Mereka menentang nasihat ketua poktan, ‘yang kerja tangannya, bukan mulutnya!’. Kalau mulut juga bisa bekerja, mengapa tidak sekalian dua-duanya saja? Itulah prinsip pasukan tukang gosip pagi kini.

“Bagaimana ini, Bu? Katanya pelaku penculikan masih berkeliaran di Perumahan! Mengerikan sekali … !”

Gosip start!

“Iya, benar. Anak saya sampai tidak dibolehkan bapaknya keluar rumah malam-malam,” kata puan bercelemek.

“Kalau anak-anak saya diberi jam malam sampai pukul delapan. Kasihan kalau mereka ingin ke warnet mencetak laporan yang harus dikumpulkan besoknya, sekarang sudah tidak bisa mengerjakan mepet waktu lagi.” Puan yang masih maskeran wajah berceletuk.

“Kalau saya sih semua pintu dan gerbang dikunci setelah jam sembilan. Pakai gembok ganda supaya aman! Jangan lupa beli yang ada diskonnya,” ajak puan yang memakai perhiasan menor.

“Ibu-Ibu masih mending, saya saja tidak diizinkan ke kelab malam lagi.” Semua diam karena semua tahu yang satu ini memang hobinya begitu.

Bapak menyaksikan mereka. Air mukanya tidak senang, tidak tenang. Pemicu alternasi raut sempurna akal itu bukanlah kerja wanita-wanita yang acak-acakan ataupun bibit-bibit yang dicampur aduk tata letaknya, melainkan hal yang baru saja dia dengar.

Penculikan di Perumahan.

***

Bapak tersenyum pada jendela sekaligus refleksinya, pemandangan nun jauh hingga cakrawala. Melalui loteng, segenap visual mampu tertangkap dengan indahnya, dengan segala macam pesona urban luar biasa yang tidak ditemui apabila hanya melalui observasi biasa.

Tiap hari, Bapak selalu menyempatkan waktu untuk meneropong taman satu lampu yang letaknya tak terlalu berjarak dari rumah kontrakan. Taman itu ditumbuhi barisan pohon lamtoro yang menaungi kumpulan herba berbunga pukul empat. Taman itu tepat menjadi lokasi berdirinya remaja itu, diam menatapi tiang lampu. Taman itu, tanpa pertimbangan alasan selaku latar, tampaknya membutuhkan nama supaya orang-orang bisa menggunakannya sebagai kata pengganti agar diksi kalimat variatif (selain sebagai ancar-ancar tukang ojek). 

“Huh, aneh.” Bapak menggumam sembari meneropong. Remaja yang dia perhatikan itu gelagatnya membingungkan, tetapi membikin penasaran. “Kenapa, ya, remaja itu pasti malam-malam begini pergi ke taman itu, ke lampu taman itu, terus berdiri di situ selama berjam-jam tanpa pergerakan sedikit pun?”

Bapak menjauhkan binokular dari matanya yang memerah. Dia kemudian mengambil sebotol obat tetes dan menitikkannya ke kedua bola mata, lalu kembali meneropong taman. Akan tetapi, sosok remaja itu tahu-tahu gaib, entah ke mana. Suara gaduh membuat Bapak terlonjak dan berbalik. Tidak ada apa-apa di belakangnya selain tikus-tikus yang sedang konser malam.

Aktivitas mengintip pun berlanjut, tetapi Bapak menyadari remaja itu telah larut mengarah kediaman yang sejak awal sudah tertandai.

***

Malam-malam sekali tatkala penerangan ikut terlelap bersama pemilik terdahulu, Bapak terbangun dalam keadaan horor. Tidak ada satu pun cahaya masuk, bahkan dari jendela maupun genting kaca. Rembulan dicuri, awan-awan menghalangi, bintang-bintang bunuh diri. Nihilnya desir dahan-dahan pohon penghijauan turut menyuporteri bulu tengkuk demi meremang maksimal.

Bapak tak ingin ada hal yang tidak diketahuinya terlewat, maka malam ini juga dia naik ke loteng berbekal lampu semprong juga semprong, memperhatikan keadaan kompleks perumahan yang gelap gelita bagaikan dilahap penguasa malam oblik.

Tegak bulu kuduk manakala organ sensorik menangkap sesosok di taman berlampu, yang anehnya menyala bayan. Bapak yakin tingginya melebihi tiang dan besarnya melampaui batang pohon lamtoro, lantas apakah jati gerangan sosok itu?

Tubuh Bapak makin terstimulasi masa sosok itu bergerak bolak-balik kegelapan, lalu berhenti saat satu gadis berseragam sekolah meronta-ronta ditariknya. Sosok yang tak dapat diidentifikasi itu membawa si gadis yang babak belur ke depan tiang lampu, kemudian menghajar wajahnya, menendang kaki dan tangannya, menginjak kepala hingga tengkoraknya hancur, memburai isi perutnya sampai berserakan jadi gumpalan-gumpalan.

Sosok itu kemudian tampak merapikan diri sendiri dari kotoran, dan agak beralih, menarik sesuatu di setapak. Rupanya sesuatu tersebut ialah terpal lebar, yang menampung jasad tak berbentuk si gadis. Sosok itu menyatukan kedua sudut terbal, lalu dua sudut sisa, hingga jasad si gadis terbungkus seluruhnya.

Dengan cepat sosok itu membawa pergi bungkusan terpal naik kol yang muncul tanpa sedikit pun suara.

Senyap, semua lenyap.

###

Bag.-5

Penglihatan masa depan: Ketika asyik-asyiknya menonton pemandangan dari loteng malam-malam, Bapak memergoki seorang gadis pelajar tengah bersama remaja itu di taman.

Ini bagus, sebentar lagi Ratu akan melimpahkan penghargaan lagi sanjungannya. Hati Bapak bungah manakala sekawanan nenek-nenek menongkrong di perempatan, membahas kasus penculikan pelajar yang tengah marak di Perumahan. Indra penangkap suara meningkat pada potensi maksimal guna memperoleh informasi sebanyak-banyaknya.

“Ho-ho-ho, jadi begitu. O, walah. Bagus, bagus. Hah? Oke, oke. Apa? Baik, baik. Oh-ho-ho-ho.”

Bapak yang bak kesetanan menulis ini-itu di buku catatan pun ditatap anak kecil pengisap jempol di damping. Mereka sama-sama bertujuan sembunyi di tembok, kendati demikian.

Kemudian saat malam tiba, tensi Bapak naik.

Dia pikir ini karena satai kambing pemberian tetangga sore tadi, tetapi ternyata bukan. Selepas berkonsultasi dengan dokter magang yang kurus laksana mangsa lintah darat, agaknya emosi Bapak temperamental!

Namun, Bapak coba abai akan hal tersebut. Namun lagi, tekanan darah Bapak kembali meningkat drastis tatkala dari loteng menjumpai remaja hariannya tengah berdampingan dengan seorang gadis pelajar yang berlagak sok-kenal-sok-dekat. Mereka berdua menapaki jalan gelap menuju taman berlampu satu.

Lengan kiri Bapak pun melepas semprong, turun dengan cepat lagi lemas, bagai tak ada kuasa tersisa. Akan tetapi, Bapak tidak mau menyera begitu saja.

“Siapa dia? Kok sok mesra sekali padahal si laki-laki biasa aja?” Bapak pun kembali memasang semprong, fokus pada target yang beradu di depan lampu taman cerah.

Tunggu sebentar. Bapak mencermati lagi si gadis. Seragam sekolah umum Kota, rambut keriting, dan aura tak ada harapan. Bapak tahu siapa gadis itu!

“Huh.”

Tangan kanannya menggesek kusen jendela dengan jari berkuku pendek, terus-menerus tanpa henti sampai kulit jari mengelupas, lecet, memerah, berdarah, hingga cuilan kayu kusen menusuk dalam epidermis jarinya.

Tatapan Bapak mengilat amat supresif, kedua sudut bibir melengkung ke bawah, gigi bergemeletuk. Itu semua kian memuncak saat darah Bapak ibarat mendidih, lalu mulut menggeram mengeluarkan kata bernada tinggi, “Aku I-R-I!”

***

Senandung merdu yang menyanyikan musik latar belakang khas suatu gim terdengar dari arah dapur rumah kontrakan. Bapak tengah sibuk dengan bahan-bahan habis pakai, tampak terampil apalagi cocok penampilannya menggunakan apron serta topi koki. Sesekali dia mengecek angka pada alat pengatur waktu dari oven—perkakas memasak yang tadi pagi baru disadarinya ternyata sudah punya (entah ke mana saja Bapak selama ini).

Bapak membuang pecahan cangkang-cangkang telur serta bungkus plastik dan kertas ke tong sampah, kemudian mengembalikan kotak isi tepung, buntel bubuk soda, ragi, dan lain-lain ke dalam lemari penyimpanan. Setelah itu, dengan melakukan tarian gembira dia memamerkan buah kalengan, di labelnya ada tulisan persik jambon dengan merek logo ikan pari. Bapak memasukkan buah kalengan tersebut ke kulkas.

Lagi-lagi Bapak bernyanyi riang. Waktu siang memang momen yang tepat untuk menjadi energetik, membuat makanan enak sebagai pengisi perut sore nanti.

Bunyi ‘ting’ yang seketika mengakibatkan raut muka Bapak makin semringah. Dengan sarung tangan besar khusus, dia membuka tutup oven, mengeluarkan mangkuk pai rasa persik yang tampak lezat. Uar beraroma nikmat masuk penghidu, langsung menggugah selera guna lekas mencecapnya. Bapak mengamati pai buatannya dengan raut senang.

Senyumnya mengembang, “Pai Rencana telah matang!”

***

Lokasi: Aula Singgasana Ratu Lampu Taman, Pemimpin Kerajaan Kota

Latar waktu: Manakala rawi mulai tergelincir dari puncaknya

Skrip 1: Yang Mulia Ratu Lampu Taman, hamba hendak memberikan laporan. Hamba telah mengalahkan seluruh monster-monster♂ yang selama ini mengganggu keseimbangan Kerajaan Kota. Kini Kerajaan Kota aman dan para rakyat bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Baik, Yang Mulia Ratu Lampu Taman. Benar kata Yang Mulia, rakyat Kerajaan Kota kembali aman lagi damai, bebas dari marabahaya. 

Skrip 2: Akan tetapi, hamba hendak menyampaikan sebuah kabar tak menggembirakan. Saat ini, sedang ada penyusup yang meresahkan rakyat sekitar. Sebaiknya hamba tidak terlalu sering menuju ke sini untuk mencegah penyusup tersebut mengetahui keberadaan Yang Mulia Ratu Lampu Taman.

Skrip 3: Namun, tenang saja, karena hamba sudah menyiapkan jebakan untuk memberi hukuman kepada penyusup tersebut. Hamba akan menantangnya di depan Aula Singgasana, bertarung dengannya sampai titik darah penghabisan. Baik, terima kasih, Yang Mulia Ratu Lampu Taman. Rencana ini pasti bisa berjalan dengan sukses.

Pada adegan berikutnya, Bapak mengajak si gadis pelajar menggunakan surat jebakan yang bisa berada di mana saja asalkan gampang ditemukan. Sebenarnya, Bapak ingin mengadakan konfesi. Dia cemburu terhadap Remaja Itu karena telah beraninya dekat-dekat lampu taman.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top