8. Cahaya Merah-5

Part ini agak lebih banyak dari biasanya yaitu 1800-an kata. Happy reading ^^

###

Haru biru kala itu bukanlah sebab defile yang melalui kompleks ataupun tumenggung yang mendatangi konservasi, melainkan oleh pekik lagi seruan satu pemudi kepada suara di seberang telepon. Dengan figur nan pas terhadap suasana, juga setelan sinkron berkenaan cuaca, dia berkial tegap di ambang teras hunian tempatnya berdiri, diiringi melodi tempias yang pelan-pelan merenggut kesadaran. Pemudi itu sekali-sekali mengacukan telunjuk ke sosok batita yang terus-terusan melemparinya mainan, perabotan, atau apa pun yang ada di sekitar. Menahan diri agar tidak terbawa alur sandiwara rumah-rumahan ini adalah keinginannya.

Kepada seseorang di sisi sana, bak memegang telestesia, pemudi itu bernada memelas, “Hei, Paman, kapan kau selesai kondangan dan mengambil si bayi? Aku tidak bisa menjadi pramubayi.”

Suara pria paruh usia terdengar terang berkat mode pengeras suara, “Ayolah, kau bahkan sudah berjanji ke Paman dan Bibimu. Keterlaluan jika kau bilang tidak bisa sekarang. Sudah kubilang ‘kan si bayi sulit diatur dan hanya akan mengacau jika kami bawa ke sini.”

Balasannya masih dengan nada yang sama, “Aku setuju jika sebentar saja. Ini sudah dua puluh menit dan si bayi sudah menunjukkan pemberontakannya. Jika lama-lama begini terus, aku tidak bisa menahan diriku.”

“Ini baru dua puluh menit, Katari. Akhiri panggilan sekarang karena Paman harus mengantre bakso rudal.”

“Aku bisa membunuh si bayi.”

“Katari, tolong.” 

Lalu semua napas tercekik ketika dia spontan menimpali.

“Apa salahnya? Setiap orang mempunyai tendensi untuk melakukan pembunuhan. Bukan masalah waktu yang menentukannya, melainkan bagaimana pemicunya terpelatuk, meledak saat momen yang tepat tiba.”

“Katari, sepertinya kau telah sangat mengecewakan kami. Kembalikan si bayi sekarang dan biar anak Mas Gano yang merawatnya. Dia ada di sana, ‘kan?”

Itu aku, yang dirujuk oleh suara di lintas sana. Valid tanpa perbalahan. Terbukti dari alamat nama terbilang, Mas Gano alias Bapak Ganoderma adalah ayahku. Demikianlah awal mula kontrak diukir sebagai perintis jalan malapetaka. Meski sekali lagi dikatai sama-sama aneh, aku masih mending karena tidak pernah mengeluarkan kata-kata atau pikiran seekstrem pemudi itu.

Dengan senyuman yang khas penuh teka-teki, seakan berkata bahwa aku menang, dia berbalik menatapku. Entah kedip apa itu, ekspresi apa itu, kial apa itu, tetapi yang bisa kurespons hanyalah menelengkan kepala dan pura-pura berpikir sebagai remaja polos.

***

“Maaf, ya, Cahayu?”

“Tidak apa-apa, Kak. Aku juga minta maaf. Aku niatnya datang ke sini untuk bermain sebentar dengan si bayi, tapi malah berakhir disuruh menjaganya.”

Aku merapikan barang-barang keperluan dan menaruh sepatu di bawah teras. Batita berjenis kelamin entahlah yang tengah main toples kerupuk seukurannya di ruang tamu kupanggil, lalu dia menghampiri dengan langkah seribu laksana dikejar hantu. Tawa lugu distingtifnya selalu menggema di telinga dan kadang kala mampu menjadi penyembuh rasa negatif tertentu, kata buku loakan yang kubaca.

Sementara itu, Kak Katari--aku menyapanya demikian karena menurut garis ayah, dia lebih tua--yang mulanya beraut risau, kini sepenuhnya cerah, entah itu untuk menyemangati tugas baruku atau karena dia terbebas dari beban hidup. Lagi pula, Kak Katari sudah berkuliah, satu tingkat di bawah kakak perempuanku. Wajar banyak tugas beranak berbiak yang menambah berat sebelah neracanya.

Itulah mengapa ketika dengar dia menjaga bayi, aku lekas menemui rumahnya yang berjarak hanya tiga ratus meter untuk pastikan si bayi tidak ditinggal mendidihkan diri di dalam panci raksasa, sementara Kak Katari berkutat tuntaskan suruh dosen.

Kak Katari pun ikut mengabsen perlengkapan khusus bayi umur tiga tahun yang baru belajar membaca, kemudian memungut sebuah buku tebal terkoteng-koteng di atas karpet. “Apa kamu yakin semuanya sudah lengkap? Ini apa? Murder is Easy … ?”

“I—itu novelku.”

Kurampas harta karunku dari genggamannya. Dia tertawa kecil dan mengibas tangan, memaksaku menentang penampilan fisiknya nan berkarisma lagi sarat pesona. Bahkan eksterior estetik pula interior artistik kalah jauh dibandingkan pamornya.

Kak Katari dianugerahi rupa yang rupawan serta postur tubuh atletis berkat rajin beryoga. Sebelum aku pamit, dia menawariku ikut ke tempat senam sehabis menjaga si bayi, tetapi kutolak karena takut tulangku patah sehabis ikutan. Dasar aku yang sering termakan mitos.

“Kalau begitu, hati-hati dengan kaktus hidup dan bunga pemakan manusia, Yoshi!”

“Ah, iya, aku pamit dulu, ya, Kak.”

Dasar aneh, aku bukan dinosaurus hijau bersepatu, dan si bayi bukan calon tukang ledeng. Ya, meskipun pakaian merah-biru serta topi biramnya mirip, sih. Aku menggeleng. Lupakan saja barusan, lebih bijak fokus ke jalanan pulang lalu menjadi pramusiwi setengah hari di rumah.

Kerjaan pramusiwi tidaklah tak mudah. Pastikan pagar rumah terkunci, benda pecah belah dan senjata tajam aman dari jangkauan, dan beri makan-minum jika butuh. Jangan lupa ganti popoknya ketika tercium bau metana plus sulfur di udara. Mainan merupakan solusi dari setiap tantrum bayi. Mau apa pun itu wujudnya, yang penting bisa memuaskan si bayi.

Wow! Ternyata aku berbakat juga jadi pramusiwi. Cemooh yang mengatakan aku tidak berguna, beban famili, dan tak becus apa-apa, hanyalah kebohongan sanak belaka!

Lalu si bayi berisik, tangisan pecah, ada yang menetas gembok pagar.

***

Di momen yang tepat, aku bersua seorang pemudi yang luar biasa anggun di taman dekat kompleks perumahan. Siapa lagi kalau bukan Kak Katari. Saat itu, alam laksana menyajikan pemandangan terbaik untuknya. Pepohonan petai cina angkuh memamerkan dahan-dahan. Rumput-rumput hijau menjelma karpet luar biasa nyaman. Bunga-bunga pukul empat aneka warna dari kesumba, asfar, dewangga, putih, dadu, bahkan candramawa, membengkar sampai potensi maksimal. Dua hawa ini duduk selonjor, bersantai di bawah terpaan sinar tunggang gunung, menyaksikan horizon jingga lembayung yang sebentar lagi lesap oleh kelamnya malam. Begitu damai, melenakan, sekaligus mematikan.

“Cahayu,” aku menoleh, “kenapa kamu tertarik denganku?”

Mengapa aku tertarik dengannya? Entahlah. Ada banyak prasangka yang mendukung. Enigma, kecemburuan, hormat, ketakjuban, pesona, keingintahuan, inferioritas.

Dan, semua itu terangkum dalam dua kata ringkas:

“Tidak tau.”

Dubius.

“Kak Katari pernah tertarik dengan seorang kakak kelas di SMA?” Giliranku bertanya.

“Aku tidak sekolah SMA. Aku masuk kuliah jalur akselerasi.”

“Ah, maaf.” Kuganti pertanyaan. “Kak Katari pernah mengagumi lawan jenis yang lebih tua dari Kakak di kampus?”

Dia spontan mengiakan dengan air muka berseri-seri dan seringai lebar seraya menunjuk, tertawa. Aku pun ikut terkekeh-kekeh kikuk, menunggu gelak selesai. Sedetik selepas tuntas, baru kubersoal.

“Siapa itu?”

“Pak Dosen Muda!”

Oh, iya. Memang mahasiswi sekarang sukanya yang muda-muda. Seperti kelapa saja.

Akhir-akhir ini aku baru sadar bahwa Kak Katari jauh lebih rupawan dari yang kuduga. Selain paras yang ekstra cantik, rambut sebahunya lebat hitam legam bagai surai yang terawat betul. Mata cokelatnya bak iris ular yang memantulkan cahaya hitam keperakan. Apalagi setelan kain selubung berjahit serbaputih yang senang dikenakannya, mengingatkanku akan pakaian selir-selir zaman kerajaan dahulu.

Menembus garis-garis sinar bersumber horizon, tanganku meraih anak rambut mulusnya, membelai hingga jatuh perlahan di antara jari jemari kaku. Dibius oleh senyum memikat, tatapan lekat, bisikan itu tertangkap masuk telinga.

“Kamu mau bebas, bukan? Mau mendapatkan kakak kelas itu, bukan?”

Di matanya, mataku terpantulkan, beralih rona pula ragam akan hipnosis yang merajai. Aku pun menganggut. Seringai pemudi itu menyala-nyala.

“Kalau begitu, sudah diputuskan.”

***

“Di mana bayinya?!”

Kemurkaan itu datang segera sesudah beritanya tersebar. Oleh pria berkumis tebal yakni Paman juga wanita berdandan menor yakni Bibi. Sekonyong-konyong keluarga rumah ini yang terdiri dari empat jadi tambah kebingungan, makin gelisah dari sebelumnya. Serta dari kerabat lain yang turut terlibat. Maka, untuk menengahinya, jadi tugasku untuk memperjelas situasi yang ada.

“Sudah aku berikan ke penculik, Paman. Si bayi anak yang baik ternyata, tidak seperti yang keluarga Paman katakan. Dia menurut saja saat kuberikan ke penculiknya.”

Paman dan Bibi ekspres naik pitam mendengarnya.

“Kau gila!”

“Ini pasti pengaruh darinya!”

Tuduhan Paman tertuju pada seorang pemudi yang dari awal dipeluk orang tuanya. Kak Katari tentu gentar, tetapi sebisa mungkin membalas walau gemetar. Meski aku tahu betul itu hanyalah sandiwara.

“Aku tidak melakukan apa-apa, Paman. Aku hanya mendorong orang-orang yang kesusahan dengan memberitahukan fakta yang sebenarnya.”

Tentu dalih tidak diterima. Paman masih membawang, histeris, tenggelam dalam berbagai prasangka buruk.

“Anak setan! Cepat cari di mana bayinya!”

Bergegas orang tuanya membawa Kak Katari tergesa-gesa keluar rumahku.

Sementara itu, keluargaku yang mulanya tak tahu-menahu sekarang kian kelimpungan. Ayah, Ibu, Kakak, semua berebut menanyaiku dengan raut menyalahkan mereka. Atau tepatnya tak mau disalahkan. Dengan mereka mengerubungiku serupa wartawan yang meliput koruptor yang baru saja keluar dari kediaman, bedanya aku tanpa pengawal, aku belaka bisa mematung.

“Cahayu, apa yang terjadi? Kenapa si bayi bisa ada di sini?” Kakak yang bodoh.

“Mas, bukan salah Cahayu bayinya bisa diculik. Penculiknya sudah mengincarnya dari dulu! Lalu dia menunggu waktu yang tepat untuk menculiknya!” Ibu dengan spekulasi-spekulasi anehnya.

“Ini karena Mas memilih menikah tua sehingga tidak becus merawat bayi,” ujar Ayah yang agak benar, tetapi menyakitkan.

Lantas Paman dan Bibi tak suka, mengata-ngatai mereka, sampai serukun tetangga makin mengharu biru berkat teriakan pula kecaman.

Umpatan. “Apa yang kalian katakan?!”

Umpatan lagi, entahlah. “Kalian ini tidak membantu sama sekali! Ayo lapor ke ketua RT dan kantor polisi!”

Beramai-ramai para orang dewasa berangkat dengan oto, sementara anak-anak tinggal di rumah. Memang tidak sabaran. Sampai malam pun, mereka baru bisa kembali dari kepolisian. Katanya kasus ini akan kunjung diusut. Entah siapa yang beraninya mengambil si bayi, kasihan mana masih muda. 

Lalu akhirnya laporan itu diterima. Bayinya telah ditemukan. Warga lewat yang menyaksikannya. Kami pun bersicepat keluar dalam rombongan, dengan pakaian kusut, wajah cemas, suasana hati campur aduk.

Tempat itu berjarak tidak jauh, lima ratus meter secara kasarnya. Aku sering melintas di situ, dan memang semua orang setiap hari memintasnya. Taman dekat Perumahan. Di tengah jalan, satu keluarga tambahan menyerbu serta bercekcok. Namun, atas permintaan bisa dilanjut nanti, semua orang melantas menuju lokasi.

Taman dekat Perumahan tampak remang-remang di malam hari. Gelap, lebat, mengidikkan bulu kuduk. Sampailah di sebuah setapak yang terdapat tiang dua meteran, dengan pucuk lampu berbentuk bola--mungkin seukuran bola basket--sebagai satu-satunya penerangan, kalau tidak ditambah pelita tambahan temporer dari pihak keamanan.

Sudah ada beberapa pria seragam polisi yang berjaga, menunjukkan tempat kejadian perkara yang dibatasi pita-pita berwarna bagus. Si bayi ada di gendongan seorang polwan. Paman serta Bibi sigap menerima dan menyambutnya, berpelukan, bermaaf-maafan. Si bayi pun balas dengan keluarkan tantrum.

Di sisi lain, keluargaku juga keluarga satunya berdebar-debar, menanti penjelasan dari pria yang jabatannya terlihat tinggi.   

Menurut penuturannya, bayi itu ditemukan di bawah lampu taman, di atas kain selubung serbaputih, bersimbah darah yang bukan miliknya, berbalut potongan-potongan rambut hitam legam yang panjangnya sedang.

Napasku hampir sesak, atau memang sudah ayan. Jantungku mungkin gagal berdetak detik itu juga. Sel-sel darah yang kehabisan oksigen sebabkan kulitku memucat. Ciri-ciri tersebutkan telah membuktikan satu hal jelas sekali, yang tak ingin kupercayai bahkan sampai akhir hayat menjemput: Kak Katari hilang.

Di bayangan terkelamku, sebelum ini si bayi sendirian terduduk di sana, tengah menangis, meraung-raung, kuyup akan darah segar yang disiramkan sejenak lalu, di atas kain putih dengan potongan-potongan rambut hitam. Di bawah terpaan sinar lampu taman.

Aku memperhatikan sekali lagi tempat situ. Berupa jalan setapak, ada rerumputan lapang di sebelah, juga tiang tinggi dengan lampu bulat, yang dinaungi kanopi-kanopi pohon petai cina. Cahaya lampu taman seakan-akan menghipnosis minda guna berkelakar akan kejadian berlangsung.

´Aku akan memilihmu ….’

Aku terperanjat dengan peluh membasahi piama, pada lengan pula betis sampai jadi butir-butir air, dan pada dahi basah sekali setelah diusap. Saking terkejutnya tubuhku, kasur beranjang sampai menghasilkan bunyi debum mirip bom jatuh. Kuperhatikan jendela, kulirik jam beker, dan teriakan wanita dari ruang tengah meyakinkanku akan sesuatu.

“Semoga ini hanya mimpi!”

Oh, iya, hanya mimpi. Haha.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top