7. Cahaya Merah-4
Pada kesempatan terkini, entah bagaimana ceritanya aku mendapat izin ikut ke tempat dia biasa pergi belakangan.
Aku sudah berganti seragam sekolah karena sewa set baju detektif telah purnawaktu. Sepulang pelajaran aku tak sempat salin kaus kasual, maka jadilah ini terpakai. Sementara remaja laki-laki itu, sepertinya tak jenuh, masih setia pada baju cina putih serta celana hitam. Kurasa ada yang kurang lengkap, tetapi nantilah bisa dipikirkan.
Selalu waktu malam yang diset untuk bepergian. Barangkali ini yang dinamakan noktifili. Kami nokturnal! Sebagaimana kelelawar yang kelayapan keluar dari hunian guna cari insek atau sejenisnya. Aku mendepang lengan lalu kuayun lemah lembut seiring terus berjalan.
Si remaja yang kepil sempat memicing, tetapi tak berespons verbal. Baru ketika aku memekik laksana mampu bersuara supersonik, dia menyakal mercu kepalaku.
“Jaga sikap dan tingkahmu!” geramnya.
“Kenapa, Mas?” Aku menatap bak tak merasa salah.
“Ada banyak mata-mata di sini. Untuk kamu ketahui, semua tetangga di sini juga merangkap profesi menjadi penyuluh. Jika ada seorang warga yang ketahuan salah sedikit saja, akibatnya fatal. Dia bisa dilaporkan dan masuk penjara.”
Helaan napas terdengar. Agaknya dia terlalu gemas dengan sikapku. Aku pun kembali mode normal, seraya menelaah sekeliling yang gelap belaka kecuali bagian tersinari pelita jalanan. Yang indraku tangkap ialah gesekan dahan pohon-pohon kayu bernyanyi ninabobo, suara meriah jangkrik-jangkrik lir menuduh kami berpacaran, serta bintang pun bulan yang mengiringi.
Sudah kuduga. Dia hanya eksesif dalam berpikir.
“Tidak apa-apa, Mas. Tidak usah berprasangka buruk.”
Mendengar itu, tatapannya hampir makan bawang. Aku pun menenangkan.
“Justru hal yang tidak diketahui malah membuat kita semakin cerdas. Tetangga mata-mata? Mereka hanyalah orang-orang terlampaui sombong dan bodoh yang membanggakan diri mereka sendiri hanya karena lebih unggul dari orang-orang yang lewat di jalanan dan bisa melihat semua aktivitas dari dalam rumah.”
Remaja itu hanya membisu, diam sinambung mengegah. Sebelum aku dicap yang tidak-tidak seumpama “anak ber-IQ tinggi” atau bahkan lebih buruk lagi “psikosis”, kumusnahkan bibit kesalahpahaman.
“Aku mengutip itu dari salah satu cerpen karya penulis terkenal.” Semoga dia tidak fobia kutu buku.
Reaksi gigil merasuk tubuh manakala semilir berembus pelan-pelan, tetapi pasti. Seharusnya aku bawa jaket tadi. Saat itulah sadar aku siapa yang berdiri di sebelah ini, dengan tinggiku setara bahunya. Dia laki-laki yang kukagumi semasa sekolah, yang tak pernah ada kesempatan mengobrol santai barang sebentar. Lalu tahu-tahu kans itu datang begitu saja di depan mata.
Dia menatapku. “Kamu seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan.”
“Eh? Anu .… Mas tinggal di kos sudah lama?”
“Sekitar satu bulan sejak aku putus sekolah. Kenapa?”
Aku terkejut karena baru dengar. “Kenapa Mas putus sekolah?”
Sempat ada jeda jenak. “Bukan urusanmu.”
Aku berdesah. Padahal ingin kutolong dia untuk kembali, lantaran kelulusan tinggal sebentar lagi. Apa dia memang sengaja menghindari upacara wisuda? Atau malah berambisi membiarkan ijazah buntu sampai di SMP saja? Tidak sopan untuk bertanya lebih dari ini.
Kami berdua larut dalam kontestasi batin masing-masing, tidak memedulikan apa-apa yang terjadi pada momen sebelum maupun setelah ini. Atau entah belaka aku saja yang menyangka demikian?
Tatkala langkah kaki tiba di sebuah taman, rumput hijau pendek seakan memendarkan binar lazuardi, pepohonan berbaris di kedua sisi laksana pramupintu, bunga-bunga malam bermekaran seolah menyambut kedatangan kami. Kusaksikan air muka remaja itu serius sekali, perilaku berikut ekspresinya, baru pertama kali kulihat sosok dia yang bak lahir menjadi entitas baru itu.
Ada sesuatu di ujung sana, tepatnya di tengah-tengah taman. Jalan setapak menuntun kami semakin dekat. Adalah tiang besi dengan lampu di pucuknya, berbentuk bulat, berpendar azura. Tingginya dua meter lebih, membuatku harus dongak guna tatap lebih lama.
“Perkenalkan. Ini pacarku, namanya Lampu Taman.”
Aku bergeming mendengar perkataannya. Remaja itu tiba-tiba berlaku sopan dan kialnya memang kentara dalam introduksi seseorang--atau mungkin sesuatu, dengan dia di samping tiang lampu, lengan mengulur serta mata mengejam. Butuh waktu bagi otakku untuk perbaiki korsleting yang sempat berlangsung sebelum memproses tiap ucapan yang terdengar. “Pacar” dan “Lampu Taman”.
“Iya, bagaimana? Maksudnya apa, Mas? Mas sedang berguyon? Aduh, aku harus tertawa atau apa, ya?” Mungkin sekarang mukaku pucat pasi menentangnya.
Remaja itu tersenyum puas penuh kemenangan, seakan-akan aku terkena tipuan untuk datang kemari demi mendengar pengakuannya.
“Jika kamu menatapi Lampu Taman dalam waktu lama, duniamu akan lenyap. Lalu tergantikan oleh sebuah dunia beratmosfer merah hitam yang hanya berisikan meja bundar dengan taplak putih serta dua buah kursi yang semuanya melayang. Aku akan duduk dengan pakaian formalku, dan di seberangku duduk Lampu Taman, dengan gaunnya yang anggun dan kepala bola serta cahaya putihnya. Aku akan mengatakan, ‘Selamat malam, Sayangku’ dengan nada romantis dan pandangan merayu serta senyumannya yang memikat, lalu baru bertanya ‘Apa yang dapat kau ceritakan malam ini?’.
“Lampu Taman mengetahui segala-galanya, termasuk penghakiman yang kalian cari-cari.”
Aku tidak tahu apa-apa lagi. Gering hulu menyerang kepala. Mas tempawan panjang lebar yang baru saja kudengar laksana santau yang meracuni setiap sel tubuhku. Diri ini sangat syok, sulit mencerna barang sedikit pun ucapan remaja itu.
“Maaf, aku mau pulang saja.” Berbekal pandangan berkunang-kunang, aku terhuyung membawa kaki dengan tujuan rumah.
***
Beruntung aku sampai kediaman dengan selamat tanpa ada pertemuan dengan penyamun atau pelesit. Ibu sempat menanyakan beberapa hal dan kujawab mulus sembari pijit dahi. Aku pun masuk kamar untuk menetralkan segala anasir luar terutama hawa negatif. Kasur ialah sasaran utama guna kubanting tubuh ke atasnya.
Aku tepar.
Kamar ini dibagi menjadi dua bagian, tersekat oleh gorden. Satunya milik kakak perempuanku yang sekarang besar peluang mengejar garis mati. Aku suka literasi dan diksi. Banyak tumpukan novel dan kaset film bajakan yang tertata di pinggir tembok. Kebanyakan dari itu adalah genre fantasi yang bikin berkhayal tujuh dimensi.
Gawai kunyalakan, aplikasi BBM jadi opsi pertama. Kumulai obrolan grup dengan sapaan hangat.
Sherlock Cheryl Holmes
Jane Moriarty:
Hai, Guys! Aku ada berita hangat yang bakal membuat kalian geleng-geleng!
Namun, sudah lama menanti, tak ada satu pun balasan. Padahal semua membaca, salah apa aku? Kututup gawai seraya mendesah pelan.
Kulirik sebelah. Terdengar bunyi tik yang cukup keras sampai menyebar ke seisi kamar tidur. Sebenarnya aku agak sungkan melakukan ini, tetapi tak apalah mencoba.
“Mbak, curhat.”
Tak ada sahutan. Pasti dia sedang sibuk dengan kuliah, urusan organisasi ataupun tugas yang beranak pinak. Namun, aku tetap lanjut.
“Mbak, aneh tidak sih kalau ada seorang laki-laki yang putus sekolah demi berpacaran dengan Lampu Taman di jalan, dan dia bilang kalau dia punya dunia sendiri yang tidak dipahami orang lain. Itu maksudnya bagaimana sih, Mbak?”
Suara tik stop, gorden terbuka dan kakakku yang kusut berwajah gamang.
“Hah?”
***
KARTU TANDA PENDUDUK
Nama: Cahayu Putri Utami
Tempat/Tgl Lahir: Kayuapu, 13 Juni 19xx
Jenis kelamin: Perempuan
Pekerjaan: Pelajar/mahasiswa
Kewarganegaraan: WNI
Status: meninggal dunia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top