6. Cahaya Merah-3

Aku sedang dalam misi penting guna mengungkap misteri penghakiman kolosal yang ditakuti orang-orang.

Ada laki-laki yang begitu elusif di perumahanku. Gerak-geriknya penuh enigma serta kehadirannya samar ibarat bohlam yang menyala berkedap-kedip. Katanya dia sering berkeliaran di malam hari, jadi aku susah payah berdalih ke Ibu-Ayah bahwa aku punya kegiatan les.

Les sebagai penguntit alami.

Pakaian dan penampilan sudah sepantun detektif. Intinya serbadetektif. Atasan, bawahan, dalaman, sepatu, topi, sabuk, sarung tangan. Model rambut, perhiasan, dandanan. Pokoknya khas dektektif.

Dengan mantel dan jin necis, aku berkeliling seputar perumahan guna mencium jejak si target. Pantofel menghasilkan bunyi ‘tuk, tuk, tuk’ ketika mengentak trotoar. Beruntung topi bulat ear-flapped mampu hindarkan aku dari tatapan tak diinginkan, sekaligus lindungi rambut keriting dari angin malam.

Kusibak anak rambut sebahu, tangan satunya membentuk centang yang dilekatkan ke dagu seiring menyeringai lugu. "Cahayu pintar!"

Padahal dari sudut pandang orang lewat, aku lebih cocok sebagai kembang latar yang jalan-jalan sendirian pada dinginnya malam kota.

Di antara pepohonan penghijauan yang berbaris, dapat kupandang vista urban dengan langit hanya tersirami biru candra, pencandraan perfeksi dari tatanan yang dimulai berabad-abad silam.  Kendaraan berpenerangan supersilau lalu-lalang, barangkali pekerja kantoran yang habis dari sif siang atau dapat giliran sif malam. Sementara perjalanan ini terasa tak aman berkat adanya kaum taruna yang menongkrong, ‘haha-hihi’ menggaung ke kejauhan. Tak ayal bising motor berkelana asal berbagai penjuru, balap liar pasti diadakan tak jauh dari kompleks perumahan.

Perkotaan memanglah hiruk pikuk sedemikian ini. Aktivitas yang normal. Semua normal.

Orang-orang pulang pergi, keluar masuk portal. Pagi para pelajar menuju sekolah. Duha ibu-ibu sibuk berbelanja. Siang waktu berpelesir. Sore anak-anak bermain. Malam para pemuda berkumpul. Dini hari kejahatan dan pembunuhan dilancarkan.

Napasku hampir tersekat tatkala sebuah sosok melintas di seberang. Bergegas kuhampiri pohon kersen terdamping guna menyuruk, beruntung gelap karena jauh dari pelita jalan. Sosok itu setinggi kurang lebih lima kaki tujuh inci, bergerak relaks sekali lalu menikmati udara sejuk. Tak ada gelagat aneh darinya selain kenampakan tiba-tiba di tempat sepi.

Aku putuskan membuntuti sosok itu, yang ternyata masih remaja, gender laki-laki. Dia berjalan di trotoar, menggunakan baju cina putih pula celana hitam. Aku sinambung mengendap-endap dari pohon ke pohon, sebisa mungkin nihilkan suara. Kukeluarkan binokular guna mengeker figurnya. 

Tampak punggung remaja laki-laki itu yang semakin menjauh. Singletnya hampir transparan, tercetak garis-garis di balik baju cinanya. Aku menggeleng keras, lalu balik fokus ke teropong. Dia berbelok ke portal yang tertutup, sesuai dugaan.

Kusibak rambut, kutempelkan jemari bentuk centang ke dagu, sembari menyeringai lugu. “Cahayu memang pintar!”

Remaja tersebut menuju sebuah rumah kecil--tidak, mungkin tepatnya indekos karena ada banyak pintu dan jendela berjajar. Pagar besi terbuka lalu terkatup selepas dia masuk halaman. Kuamati terus gerak-geriknya dari balik tiang listrik. Perilakunya normal, santai, bagai tak sadar ada sepasang mata plus teropong yang mengawasi.

Barulah saat dia sampai di depan pintu kamar paling ujung, aku mengegah. Seketika kepalaku dapat ide bagus yang terinspirasi dari film. Aku berlari kecil menghampiri, kemudian kuketuk daun tiga kali, lalu aku sembunyi di dekat pot anturium besar.

Pintu pun menyelak, remaja itu keluar. Saat dia menoleh, aku memasang wajah mengerikan. Namun, sayang sekali target bersikap biasa saja, wajahnya datar.

Meski gagal, aku tetap profesional bersolah luwes. Lagi pula, penampilanku tengah bermain kostum sebagai detektif--dia mengamati dari topi bulat turun ke pantofel. Agak kurendahkan badan, kuletakkan satu tangan di atas pinggang serta tangan satunya lurus ke bawah agak depan. Kemudian senyum tulus pun terulas.

"Salam kenal, Mas! Aku Cahayu dari kelas satu SMU Kota. Mas kelas tiga, ‘kan? Salam kenal!" Kuulur lengan guna bersalam.

Namun, remaja itu tak mengindahkanku, malah balik ke kamarnya, berniat menangkup pintu.

"Ah, tunggu! Tunggu! Aku ke sini ingin bertanya sesuatu kepada Mas. Apa Mas tahu kasus pembunuhan remaja perempuan di Kota ini? Itu membuat kami--para siswi pelajar--menjadi resah sekali. Malam pun menjadi waktu terlarang untuk keluar rumah. Meski begitu, banyak orang yang masih mengabaikannya. Maka dari itu, korbannya masih terus berjatuhan."

Mukanya lekat menentangku.

"Dan, untuk menemukan siapa pelaku pembunuhan itu, kami--aku dan lima temanku--membuat grup detektif. Dan, asal Mas tahu, atas gerak-gerik Mas yang mencurigakan, Mas menjadi salah satu tersangka!”

Spekulasiku komplet sudah. Dari awal, jelas bahwa jarak kediamannya dari TKP tak terlalu jauh dan sempurna digunakan sebagai tempat persembunyian. Juga tentang bagaimana dia mengamati sekeliling dengan jeli, gerakan tangan yang tak biasa itu, serta langkah kaki tanpa suara. Muncullah prasangka bahwa terdapat penyimpangan dalam kepribadiannya akibat tekanan mendalam. Bukti-bukti yang ada pula mengatakan demikian; hubungan erat korban, barang yang tertinggal, hari terjadi penculikan.

Seluruh petunjuk mengarah pada remaja laki-laki yang berdiri di hadapanku ini!

“Nah, bagaimana menurut Mas? Apakah Mas merasa kalau Mas itu pelakunya?"

Remaja itu menggeleng. Lalu pintu kamarnya terkatup dan dikunci.

"Hei, tunggu dulu! Tunggu--Hei! Mas? Mas? Mas!"

Sebentar, apa ada yang terselip? Apa selama ini aku salah duga? Sepertinya masih banyak yang belum kumengerti tentang kasus ini. Aku perlu mewawancarai tersangka, menggali informasi lebih banyak lagi.

Aku menggedor-gedor pintu kayu setinggi dua meteran di hadap. Kebisingan terjadi untuk sejenang waktu. Kemudian aku berhenti, mulai berpikir.

"Sepertinya Mas itu tinggal sendirian. Maka besok aku akan datang ke sini pagi-pagi sekali. Ah, ide yang cemerlang!”

Kusibak rambut, kulekatkan jari bentuk centang ke dagu, sembari menyeringai lugu.

“Cahayu memang pintar!" Walhasil aku berbalik pergi.

Di lain kesempatan--entah itu esok, lusanya, tulat, atau tubinnya, terserah--aku mendatangi indekos remaja laki-laki itu. Pertama kubawakan sekotak piza sebagai umpan, tetapi dia mengira aku kurir dan memberikan bayaran. Berikutnya kuantar buket bunga yang berisi surat ancaman, tetapi dia bersin-bersin karena alergi anggrek. Selanjutnya kudatangkan kucing yang aslinya organisme sibernetika, tetapi katanya di indekos tidak boleh mengangkat hewan peliharaan.

Aku benar-benar telah habis akal.

Hari-hari berlalu dan aku harus mengembalikan set pakaian detektif ini ke salon sebelum tenggat waktu. Saat asa hampir terputus itulah, tahu-tahu di waktu malam dia keluar, tumben celingukan mencari-cariku. Aku pun keluar dari semak-semak kemudian mengacungkan mik ke mulutnya, dan langsung dia lempar ke tong sampah.

“Ada apa sih?” Aku sedikit kesal padahal seharusnya tidak.

“Aku tahu kamu. Sudah kuputuskan, akan kuantar kamu ke tempat Lampu Taman berada.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top