5. Cahaya Merah-2
Lacur kali nasib ini bersemuka laki-laki yang kukagumi dengan aku tidak pada keadaan sebenarnya. Kemarin memang aib, hari ini sekolah lebih parah lagi.
Saat minda berkutat menjelajahi spekulasi-spekulasi tentang bagaimana kolong langit berjalan di atas roda berputar, tiga perempuan sekelas nan berdandan menor mendatangi mejaku yang berada di posisi tengah.
"Hei, kamu dulu waktu SMP pernah jadi korban perundungan, 'kan?"
Perempuan itu--memakai gulungan-gulungan rambut aneka warna untuk melipat rambutnya--bersoal dengan bibir yang dikerucutkan ke kiri.
Lalu perempuan lain menimpali, "Iya, aku dulu pernah melihat teman-temannya menyuruhnya menyapu kelas sepuluh kali lebih sering dari biasanya!"
"Kalau begitu, bagus! Kamu mau jadi korban perundungan kami? Pasti menyenangkan, lo!"
Aku melongo, tak paham maksudnya. Baru selepas saksikan kemalangan yang hinggap ke klaster-klaster dalam kelas nan jaga jarak, tahulah aku bahwa malaikatulmaut tengah timbang-menimbang untuk mencatat namaku di buku.
Aku dalam bahaya besar.
Kulirik satu per satu kejadian tak menyenangkan, yang mempermalukan setiap target acak yang jadi bulan-bulanan remaja tanpa kesibukan.
Seorang laki-laki jangkung berteriak tatkala gerombolan perempuan menusukkan banyak jarum pentol serta jarum biku ke hidungnya, bibirnya, daun telinganya, alisnya, dan hampir seluruh ujung jemarinya. 'Untuk latihan bertindik,' kata salah satu yang mengerubung.
Selanjutnya, ada perempuan yang berlari seraya menjerit histeris menuju ambang pintu, tetapi gagal sebab ujung roknya ditarik sampai dia terjerembap. Lalu orang-orang menyeret tubuhnya--dia melawan dengan mengeruk lantai--dan memasukkannya ke dalam karung beras.
Napasku hampir tersekat, tatkala mencerling orang-orang memaksa satu lelaki gemuk keluar dari ambang jendela ayun. Tubuhnya tersangkut, membuat mereka mendorong sekuat mungkin sambil tertawa senang. Pekik kesakitan menggema dari luar dan itu memekakkan telinga sekali.
Aku tak berani melihat yang lainnya, lebih aman pura-pura bersembunyi setelah selesaikan konversasi dengan trio perempuan menor ini. Meski susah payah kubekam ekspresi riang semangat, peluh yang menerus membanjir, tangan serta lutut yang gemetar. Sebisa mungkin kuberi balasan berupa kial atau gestur lain, hindari suara mulut.
"Hei, yang satu ini bagus!" Aku menoleh. Satu perempuan menor di belakang menarik lengan seorang perempuan kucir kuda yang sebelumnya sibuk mengerjakan tugas. Perempuan itu tentu heran, tetapi dia langsung menjengkit dan berteriak ketika dihempas ambruk ke tegel.
Orang-orang dalam sekejap mengerumuni dan dia meronta-ronta dan aku tak tahu apa yang terjadi berikutnya.
"Bagaimana ... ?"
Aku gamang. Perempuan menor bergulung rambut di hadapku menaikkan kedua lengan dengan telapak terbuka lebar, agak mendongak dan menyeringai sangat tajam.
"Perundungan itu ... hal yang magnifiken, lo!"
Masa aku masih kelas lima sekolah dasar, pernah suatu hari kelasku heboh akibat tingkah laku seorang laki-laki bertubuh gempal. Kami sering memanggilnya Jayen karena mirip satu tokoh kartun di TV. Semua orang tahu anak SD yang obesitas itu hasil dari pemupukan berlebih dari orang tuanya. Jadi si Jayen ini ananda dari toko roti beken di Kota. Sering kali ibunya menitipkan roti untuk dibagikan ke teman-teman.
Namun, hari itu bukan roti yang dibawanya. Melainkan kotak hitam kumbang yang bikin penasaran. Maka kami pun berkerumun untuk memastikan apa isinya.
Jayen membuka kotak itu, dan seperti warnanya, ada anak kucing lotong di dalam.
"Apa dia masih hidup?" tanya salah satu anak.
"Iya, tapi aku memberikannya racun tikus supaya dia lemas."
Jayen pun mengangkat anak kucing itu, katanya terasa berat juga hangat. Aku maju guna menonton lebih dekat. Si laki-laki gemuk mengeluarkan pisau dapur, tampak mengilat dan menurutku cukup tajam.
"Apa yang mau kamu lakukan, Jayen?"
Dia bersiap dengan pisau di udara. "Kamu tahu, waktu itu ibuku memotong daun bawang dengan cepat. Katanya, aku juga harus berlatih. Ketika kulihat anak kucing tersesat pagi ini, otak cerdasku langsung menyala."
Tangannya menekan perut anak kucing terhadap meja kelas, sedang tangan satunya dengan pisau di atas ekor panjang.
"Wah, iya. Kamu memang cerdas! Aku akan membantumu!" Aku lupa bahwa anak yang bertanya adalah laki-laki bengal di sekolah yang selalu mencetak perkara.
Jayen memotong ujung ekor kucing lotong itu, agak keras memang. Hasil tetaknya menggelinding bersama jejak merah. Erangan lemah keluar dari kucing, tetapi tak membuat si anak berhenti. Pisau terus digerakkan cepat sampai memenggal habis ekor, hasilkan potongan-potongan dadu berambut hitam dan bercampur cairan merah. Kami penonton memekik ngeri dan beberapa pilih kembali duduk ke bangku.
"Hei, Jayen. Sepertinya kamu salah. Bukan dari sana, tapi ujung yang satunya," kata laki-laki bengal.
"Ah, kamu benar." Jayen pun memutar tubuh anak kucing seperti tak ada apanya, lalu menyentuhkan mata pisau lancip ke hidung si kucing. "Seperti ini, kan?" Kawannya mengangguk.
Bunyi keras terdengar. Potongan hidung berguling. Dari tulang penghidu, memuncrat darah. Jayen pula laki-laki bengar berkikikan. Kini pisau bergeser ke leher kucing, dan dia bersiap mengangkat.
Kami bergerak menjauh. Jerit berbaur seruan nanar keluar ketika kepala mungil itu menggelundung jatuh ke lantai, menyemburkan banyak darah pekat. Aku sampai menutup mulut saking melimpahnya cairan kental yang terus mengalir.
"Jayen, bagaimana ini? Aku terlalu malas untuk membereskan jejaknya." Anak laki-laki bengal menyilangkan lengan.
Jayen sedang mengelap pisau dengan saputangan, mukanya sangat santai.
"Ah, tidak apa-apa." Dia mengacungkan pisau ke arahku. "Dia yang akan berperan sebagai perundungnya."
Saat itulah aku baru sadar meja yang dia pakai sebagai dapur adalah meja milikku.
Bunyi gaduh mirip kelontong memenuhi pendengaran. Aku tersentak tatkala ditarik dari lamunan. Suara-suara itu berhenti, para perempuan menor kembali ke bangku masing-masing, tempo wali kelas datang.
Wanita itu tinggi kurus seolah tiang penerangan jalan raya yang berjalan. Wajah tua dengan kulit berkerut, mengingatkan akan Groot di sebuah film. Dagunya melancip macam hantu pemakan manusia di Jepang, panjang sekali, dua kali orang normal. Bahkan aku yakin ujung dagu itu bisa menyentuh tulang pedangnya. Aneh. Apalagi sepasang mata bulat yang mirip burung hantu. Kepalanya suka berputar-putar seakan memang tulang lehernya bisa bergerak tiga ratus enam puluh derajat.
"Apa yang habis kalian lakukan?" tanyanya laksana ini interogasi.
Para remaja kurang kesibukan hanya tertawa kecil, terkekeh-kekeh bergantian bak kodok yang bernyanyi di kala hujan. "Grok, grok. Kong, kong. Wibik, wibik."
Yang dapat aku terjemahkan dengan baik: "Kami cuma habis meruntuhkan mental para remaja secara kumulatif dan holistik saja kok".
Wali kelas pun ikut tertawa riang, terbahak-bahak padahal sambil bilang sudah tahu semua yang terjadi lewat kamera pengawas.
Kelas ini benar-benar sakit.
Ketika ada kesempatan dalam kesempitan, kucuri guna dipakai dalam chit-chat. Kesetimbangan dunia maya perlu ditegakkan.
Sherlock Cheryl Holmes' Group
Joan Watson:
Ayo kita lanjutkan yang kemarin
Mr. Hudson:
Ayo, aku sudah siap
Silas Donovan:
Kau yakin? Kuharap semuanya lengkap kali ini
Irvin Adler:
Ada yang lihat Hooper?
Morry Hooper:
Kita masih kelas, Adler.
Jane Moriarty:
Maaf, Kawan. Sepertinya hari ini aku tidak bisa ikut lagi
Silas Donovan:
Ada apa lagi?
Joan Watson:
Kakak kelas itu mencampakkanmu?
Jane Moriarty:
Aku sedang tidak enak badan
Joan Watson:
Ah
Gws
Mr. Hudson:
Jangan paksakan dirimu, Sayang. Istirahat yang cukup. Jangan hujan-hujan, ini kan sedang musimnya
Morry Hooper:
Gws *emotikon
Kututup gawai sebagai mula penyumbat aliran dosa berbohong yang kian deras tak terkendali.
Sepulang sekolah, aku diminta tinggal sementara. Kelas lengang, hanya ada wali kelas yang membersamai. Keadaan bakal lebih baik nyenyat walau hantu-hantu penasaran merasukiku, daripada harus berdua dengan wali kelas.
Wali kelas itu menyeramkan. Wali kelas itu penuh teror. Wali kelas itu tiranis.
Dengan jemari panjang dan lengan mirip rantingnya, dia ayunkan tamparan tepat melandas pipiku. Aku yang mematung di depan bisa saja membalas dengan menusuk dada kirinya berulang kali menggunakan pulpen mekanik, atau mistar besi, atau jangka raksasa, tetapi tak kulakukan karena takut dosa.
Kuelus pipi penuh kasih sayang sebagaimana dia anakku, dan penaka wali kelas suamiku yang temperamental juga mabuk-mabukan.
"Kau seharusnya tidak lahir, dasar anak yang kedelapan!"
Lalu malik membiarkan aku keluar dari kelas neraka. Bebas melanglang buana tanpa adanya pengetahuan tentang marabahaya dunia luar, penuh konspirasi lagi kumpulan dajal.
Sambil menenteng tas hitam besar yang sengaja kubawa biar dikira orang-orang aku sedang bawa bom, lorong kutelusuri. Sampai di dekat lapangan, aku berhenti mendadak. Mataku menangkap sosok laki-laki itu, tengah sendirian menendang bola sepak di tengah guyuran hujan. Aku pun kabur sebelum mata kami bertemu lagi. Malu rasanya mengenang silam.
Namun, aku mendengar beberapa perempuan bisik-bisik, sesekali melirik ke laki-laki itu. Di balik tembok kugunakan sebagai tempat sembunyi. Inilah saatnya kemampuan mengupingku berfungsi.
"Eh, itu bukannya laki-laki yang gagal itu, ya?"
"Ah, iya. Dia tidak mengikuti lomba perwakilan sekolah padahal guru-guru sudah menantikannya."
"Memang dia itu menyedihkan."
"Tahu rasa sekarang dia dijauhi dan tidak punya teman. Haha."
"Haha. Benar, benar. Aku sangat puas melihatnya kesulitan."
"Ini menjadi hiburan tersendiri setelah ulangan matematika yang menguras tenaga. Haha."
Dasar kumpulan bunga raya pengecut tukang gosip penyuka radio dengkul. Terlemparlah ke neraka dan tersiksa selama-lamanya di sana! Tanganku mengepal erat. Ingin rasanya lempar batu sampai kepala mereka berlubang menganga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top