Bonus

Bonus Chapter:
Reunited

"Kalian benar-benar membuang waktuku untuk acara seperti ini."

Harry Styles menyandarkan punggung pada sandaran kursi, dengan bibir mengerucut kesal. Pasalnya, keempat sahabat baiknya itu menghubungi tiba-tiba dan mengatakan ada sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa Harry lewatkan. Tapi yang tak terjadi apapun sesampainya Harry di tempat yang mereka maksud. Padahal, Harry sudah membatalkan pertemuan dengan klien penting untuk Styles Enterprise.

"Come on, Harry. Kami berusaha setengah mati untuk terus mengontakmu, tapi kau yang terlalu sombong dan tak mau merespon!" Louis mengomel, seraya melingkarkan lengannya di sekeliling pundak Lily.

Shit. Sebenarnya, bukan Harry tak mau bertemu dengan keempat temannya, hanya saja nanti mereka akan sibuk dengan pasangan masing-masing. Pada akhirnya, Harry akan sendiri di sana, tanpa tahu apa yang harus dia kerjakan.

Empat tahun telah berlalu, sejak terakhir kali Jason mengirimkan pesan jika Taylor dinyatakan telah meninggal. Selama empat tahun juga Harry tak berminat sedikitpun untuk mengencani pada gadis yang sebenarnya sudah mengantri untuk mendapatkan pemuda berusia 25 tahun yang kini menjadi executive manager di Styles Enterprise.

"Kupikir, kita akan menghabiskan waktu bersama, maksudku hanya kalian dan aku, tanpa harus membawa gadis kalian masing-masing." Harry melipat tangan di depan dada.

Niall menyeringai sebelum ikut melingkarkan lengannya di pundak gadis yang duduk di sampingnya. "Sepertinya kau terkena karma karena dulu sering memangilku Jones." Harry memutar bola matanya.

Gadis yang baru dikencani Niall dua bulan belakangan bernama Hope itu menoleh dan mengangkat satu alisnya. "Kupikir, nama keluargamu Horan, bukan Jones."

Niall terkekeh, begitupun yang lain, kecuali Harry.

"Bukan, Babe. Dulu Harry sering menggodaku dan mengatakan jika aku adalah Jones yang merupakan singkatan dari Jomblo Mengenaskan. Sekarang, lihat siapa yang Jones."

"Shut up, Horan."

Semuanya terkekeh dan Harry hanya dapat mendengus kesal. Sepertinya teman-temannya ini memang tak pernah berhenti menggoda Harry.

Well, empat tahun telah berlalu dan tak banyak yang berubah. Kelima pemuda itu sudah lulus dari kampus dan memulai hidup dengan keahlian masing-masing.

Harry dengan Styles Enterprise-nya, tentu saja.

Lalu, Liam yang mulai menjadi produser muda, mencari bakat-bakat unik yang kemudian dia kembangkan dan membantu bakat itu dikenali banyak orang. Dia tahu banyak tentang dunia musik sekitar Inggris, bahkan Amerika dan dunia. Liam akhirnya menjadi sepasang kekasih dengan Michelle, sampai sekarang. Mungkin sudah 3 tahun mereka bersama.

Louis menjadi salah satu pemain sepak bola di klub terkenal di Liga Inggris, bersanding dengan banyak pemain bola andalan Inggris. Louis juga masih bersama Lily.

Kemudian, Niall yang mulai menseriusi kesukaannya. Niall suka makanan dan tak heran jika dia membuka sebuah restoran yang sebenarnya tak jauh dari gedung Styles Enterprise. Kekasih Niall sekarang, Hope, adalah salah satu pelanggan setia di Horan's Resto. Keduanya juga sama-sama food addict jadi tak heran mereka bisa bersama.

Yang terakhir adalah Zayn. Zayn sekarang adalah seorang traveller sekaligus pelukis abstrak. Lukisan tak jelasnya saja pernah dibeli salah sati kolektor lukisan dengan harga fantastis. Hampir mencapai 500.000 pounds. Terkadang, Zayn juga mengajak gadisnya, Giselle, untuk menjelajah dunia bersamanya.

Omong-omong tentang Zayn dan Giselle, pasangan itu belum datang. Jadi, di meja baru ada tiga pasangan dan satu jomblo mengenaskan.

"Di mana Zayn? Bukankah dia yang menghubungiku untuk datang?" Harry bertanya tiba-tiba, membuat seisi meja menoleh kepadanya.

Louis melirik jam yang melingkar di tangannya. "Mungkin dia masih menyesuaikan waktu London dan Bali. Dia baru saja kembali dari Bali kemarin."

Tak lama kemudian, sebuah suara terdengar di belakang Harry dan Harry tahu siapa yang baru saja datang. Namun, saking kesalnya dengan Zayn, Harry mengabaikan kedatangan pemuda tampan tersebut.

"Hei, maaf aku terlambat. Harus menjemput Giselle dulu di apartment-nya. Kuharap kau tak keberatan jika Giselle bersama temannya. Mereka sedang di toilet."

Zayn langsung menarik kursi kosong di samping Harry dengan senyuman lebar di bibirnya. Zayn menepuk bahu Harry, keras.

"Hei, Bro! Long time no see, eh?"

Harry memutar bola matanya sebelum memicingkan mata menatap Zayn. Zayn hanya terkekeh geli.

Tak lama kemudian, Giselle datanfgbersama temannya dengan tergesa-gesa.

"Hei, maaf menunggu lama. Toiletnya penuh." Giselle beralasan dan semua mengangguk mengerti saat Harry tak peduli dan mengeluarkan ponselnya.

Harry mulai memainkan permainan kesukaannya belakangan, yang dapat membuatnya melupakan segala masalah.

Clash of Clans.

"Tak keberatan jika temanku bergabung? Dia tengah berlibur di London, sekaligus menengok adiknya yang kembali melanjutkan S2 di Oxford. Kalian bisa memanggilnya T." Suara Giselle tampak sangat ceria, sebelum menunjuk gadis manis yang berdiri di sampingnya.

Seisi meja hening, apalagi Liam yang langsung menatap Zayn dengan tatapan apa-apaan?! Zayn hanya tersenyum penuh arti sebelum menyenggol bahu Harry yang sangat jutek.

Harry mengumpat pelan dan memahami maksud Zayn. Harry berusaha setengah mati tersenyum dan tamah--walaupun hasilnya sangat buruk--kepada teman Giselle.

Namun, saat Harry menyadari siapa teman Giselle tersebut, dunia seakan-akan berhenti. Mata mereka bertemu.

Bibir yang dilapisi lipstick warna pucat itu melengkung indah sebelum menyapa dengan lembut.

"Hei, Harry."

"T-Taylor?!"

*****

"Aku juga tak mengerti kenapa aku selamat, hanya koma selama beberapa bulan."

Mata Harry membulat mendengar ucapan gadis yang langsung terkekeh geli tersebut. Gadis itu menepuk pelan pundak Harry sambil lanjut berkata, "Kau tahu? Aku sangat bersyukur hanya koma selama hampir 7 bulan. Daripada aku harus mati sebelum sempat mewujudkan mimpi-mimpiku?"

Senyuman tipis muncul di bibir Harry. Mata hijaunya tak pernah meninggalkan gadis yang duduk di hadapannya saat ini. Gadis cantik berambut pirang sebahu dengan iris biru langit yang tak pernah gagal membuat Harry terpesona. Harry memang tak asing dengan iris biru langit itu, tapi...kali ini sangat berbeda.

Dia nyata. Benar-benar nyata. Dia nyata. Taylor Swift benar-benar nyata.

Taylor terdiam, mendapati tatapan Harry yang tak juga beralih darinya. Ditambah, hei! Dia tak berkedip!

"Apa kau akan terus menatapku seperti itu? Kau..kau membuatku takut." Taylor mengernyit dan saat itu Harry terkekeh geli.

"Kenapa takut? Aku tak menggigitmu. Lagipula, wajahku tampan dan bersahaja. Sangat jauh dari kesan menyeramkan." Taylor memutar bola matanya mendengar perkataan Harry.

Harry menghela nafas. "Aku tak peduli apa yang terjadi sebelumnya. Aku benar-benar tak mau mengingat apa saja yang telah kulakukan di masa lalu. Aku bersyukur, aku hanya mengalami amnesia karena kecelakaan itu."

Mata Taylor memicing. "Hanya mengalami amnesia?"

Harry terkekeh lagi. "Kau juga hanya mengalami koma selama 7 bulan."

Taylor ikut terkekeh geli menyadari jika Harry baru saja mengikuti perkataannya.

Harry melipat tangan di atas meja dan kembali fokus menatap gadis di hadapannya. "Jelaskan, kenapa kau baru datang sekarang, tidak sejak kau sadar? Bukankah sudah hampir 4 tahun lamanya kau membiarkanku mengira jika kau mati dan membuatku tak bisa tidur menyalahkan diriku sendiri sebagai penyebab semuanya? Aku bahkan hampir seminggu tak makan setelah mendengar kabar tentang kematianmu."

Mata pemuda itu terpejam sebelum melanjutkan, "Aku benar-benar putus asa dan terus dihantui oleh rasa bersalah dan penyesalan. Kau tahu apa yang terburuk? Aku pernah beberapa kali mencoba untuk bunuh diri walaupun gagal."

Taylor menunduk sebelum kembali menatap Harry lekat. "Maafkan aku. Saat aku sadar, tak banyak yang bisa kulakukan. Aku masih harus menjalani perawatan dan berada dalam pengawasan dokter selama satu tahun lamanya. Setelah itu, aku juga tak diizinkan banyak beraktivitas oleh orangtua, tapi aku mulai melanjutkan pendidikanku. Aku kembali ke Los Angeles dan lulus hampir dua tahun lebih lama darimu, sepertinya."

Senyuman tipis muncul di bibir gadis itu. "Kemudian, satu minggu setelah kelulusan, aku mulai menekuni keahlianku. Aku bekerja sebagai fotografer sekaligus desain fotografi, sampai akhirnya aku dipertemukan dengan Giselle yang menjadi modelku."

Taylor ikut melipat tangan di depan di atas meja, menatap Harry lekat. "Aku melihat banyak kesempatan untuk bertemu denganmu setelah mengetahui jika Giselle adalah sahabat Jason yang juga pacar dari Zayn yang kudengar sebagai salah satu sahabat karibmu sebelum kemarin, hanya saja aku belum siap. Kemarin pun aku belum siap, tapi Giselle mendesakku."

"Apa yang membuatmu belum siap menemuiku?" Harry mengangkat satu alisnya, seraya menyeringai menggoda.

Taylor memutar bola mata ke atas sebelum menyeringai. "Tadinya, kupikir aku akan kehabisan kata-kata dan tak mampu bicara saat bertemu denganmu, tapi sepertinya bukan aku yang speechless terlebih dahulu."

Harry menggembungkan pipinya dan Taylor terkekeh penuh kemenangan.

"Berapa lama kau berada di London?" Harry mengalihkan pembicaraan.

Taylor mengerucutkan bibir. "Kau mengusirku?"

Harry menggeleng sebelum menyeringai kembali. "Mana mungkin aku mengusirmu, malah aku ingin menahan agar kau tak pergi, Babe."

Taylor menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Harry setengah mati menahan tawa.

"Hei, aku serius. Sampai kapan kau berada di London?" Harry kembali pokok pembicaraan.

"Lusa. Aku harus kembali ke Nashville." Taylor menjawab cepat dan mengangkat wajah cantik.

Harry tampak berpikir sebelum mengangguk. "Sepertinya cukup."

"Cukup apa?" Tanya Taylor, tak mengerti.

"Aku akan mengambil cuti selama seminggu." Harry menjawab cepat.

Taylor mengangkat satu alisnya. "Cuti? Dalam rangka apa? Kau ingin menghabiskan waktu lebih lama denganku, sebelum aku kembali ke Nashville?" Taylor menggoda dan Harry tersenyum balas menggoda.

"Salah satunya itu. Tapi ada rencana lain."

"Hah? Kau serius? Aku hanya bercanda, kau tak perlu cuti hanya untuk..itu?" Taylor menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, bingung harus berkata apa.

Harry tertawa melihat reaksi Taylor. Tangan kekar Harry tiba-tiba bergerak, meraih tangan Taylor, menggenggamnya erat. Harry lagi-lagi hanya dapat menahan tawa saat menyadari keringat di tangan Taylor terasa sangat dingin, seperti es.

"Besok, seharian penuh, kau milikku dan lusa, kita akan ber--,"

"Tunggu! Lusa? Kita? Apa maksudmu?"

Harry mengedipkan satu matanya. "Aku akan ikut denganmu ke Nashville."

"Hah? Kenapa kau ikut denganku?" Taylor memasang wajah bingung.

"Untuk bertemu dengan orangtuamu, tentu saja."

"Bertemu dengan orangtuaku?" Taylor bertanya polos dan Harry mulai geram.

Harry memejamkan mata dan mengatur pernafasan saat mendengar Taylor tertawa geli dan kembali membuatnya membuka mata.

"Hei, aku tak sebodoh itu! Aku mengerti ke mana arah pembicaraanmu, tapi bukankah terlalu cepat?" Taylor tersenyum tipis, membuat Harry menahan nafas.

"Tidak, menurutku lebih cepat lebih baik. Kau tak punya kesempatan lagi untuk menjauh dariku. Selamanya." Lagi, pipi gadis itu memerah, kali ini dia tak lagi memyembunyikannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top