38

Chapter 38:
Stay

Lagi, Harry berada di tempat tak terduga. Kali ini, dia menyaksikan dirinya sendiri, Jacob dan Taylor yang berada di sebuah kafe. Harry berjalan mendekat, cukup dekat untuk dapat mendengar perbincangan mereka. Satu hal yang Harry tahu, dia tak dapat dilihat siapapun.

Harry dapat melihat dirinya sendiri yang tampak sangat bosan, mendengar perbincangan antara Jacob dan Taylor. Keduanya bicara--lebih tepatnya bertengkar, seakan tak ada Harry di hadapan mereka.

"Bukankah sudah kukatakan? Aku tak suka perokok, Jacob! Merokok tak baik untuk kesehatanmu!" Rokok? Mereka berdua berdebat tentang rokok.

Jacob memutar bola mata mendengar ucapan pacar-nya. "T, aku hanya berjanji untuk tak merokok di hadapanmu. Berarti, saat tak sedang bersamamu, aku bebas merokok. Lagipula, bagaimana jika kau mencoba merokok dan rasakan bagaimana sulitnya untuk berhenti merokok?"

Taylor membulatkan mata mendengar ucapan Jacob, namun sesaat kemudian, rautnya berubah menjadi menantang. "Baiklah. Siapa takut? Aku...aku akan..." Taylor melirik sekilas Harry yang duduk di dekatnya, yang tampak tak peduli, "mencobanya, jika itu yang kau inginkan."

Taylor mengambil satu puntung rokok dari kotak rokok Jacob dan Jacob tersenyum senang. Harry yang berdiri di belakang gadis itu panik dan ini bodoh tapi, Harry berteriak pada dirinya sendiri yang tak dapat mendengar teriakannya.

"Bodoh! Hentikan dia! Jangan sampai dia merokok! Come on, Styles! Argh, kenapa kau sangat..." Harry merasa geram dengan dirinya sendiri. Pemuda itu beralih kepada Taylor yang mulai memucat saat Jacob menyalakan korek dan hendak menyulut rokok yang berada di sela-sela jari Taylor.

"Tidak, Taylor. Kau tidak akan merok--," ucapan Harry terpotong saat melihat dirinya yang lain, tiba-tiba meraih paksa korek api di tangan Jacob dan memasukkan ke dalam saku celana jeansnya.

Jacob menatap Harry dengan tatapan protes sementara Taylor menghela nafas lega dan meletakkan puntung rokok di atas meja. Gadis itu tersenyum lebar, penuh kemenangan.

"Styles, kenapa kau..."

Belum sempat Jacob melanjutkan perkataannya, Harry menjawab dengan sangat jelas. "Kau menggunakan korek api dan rokokku, Jack. Jika kau ingin mengajari gadismu ini cara merokok, bermodallah sedikit."

Jacob tampak marah atas jawaban Harry. Pria itu berusaha memendam amarahnya dengan cara mengatur pernafasan. Jacob tiba-tiba bangkit berdiri dan beralasan ingin pergi ke toilet, walau Harry tahu jika alasan pria itu yang sebenarnya adalah ingin mencari pelampiasan amarah.

Jacob pergi meninggalkan Harry dan Taylor hanya berdua, di kafe dengan penuh rasa canggung. Taylor hanya dapat menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan pipi meronanya.

"Jika tak mau, katakan tak mau. Tak usah memaksa untuk membuktikan jika kau bisa."

Harry hanya dapat tercengang mendengar dirinya sendiri yang berada di sana berkata seperti itu. Padahal, penilaian Harry pada dirinya di sini adalah: seorang bajingan.

Taylor mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. Gadis itu menggigit bibir bawahnya sendiri. "Kau..kau tidak menghabiskan rokokmu? Sedari tadi, hanya Jacob yang merokok. Kau tidak menyentuh rokokmu sama sekali."

Harry mengangkat satu alisnya kepada dirinya di sana yang tampak sangat angkuh. Bahkan, menatap Taylor pun tidak. Sungguh, jika Harry adalah Harry yang di sana, dia tak akan berhenti menatap gadis itu.

"Aku menghargai wanita. Aku tidak merokok di hadapan wanita."

Ucapan itu membuat pipi Taylor langsung merona.

Harry tersenyum tipis dan menatap dirinya yang dingin itu dengan bangga.

Setidaknya, kau tidak sebajingan yang aku pikir.

Kemudian, tiba-tiba saja penglihatan Harry buyar dan saat penglihatannya kembali kelas, Harry sudah mendapati diri berada di tempat lain. Seperti kampus, lebih tepatnya di ruang loker.

Harry melihat Taylor dan langsung mendekati gadis itu, yang tengah membuka lokernya dengan hati-hati. Harry berdiri di belakangnya, penasaran dengan isi loker dari gadis itu.

Mata Harry membulat saat mendapati gadis itu mempunyai kumpulan foto candid-nya, yang diselipkan di tiap buku kuliahnya. Harry tercengang. Gadis itu merogoh saku celana dan mengeluarkan kameda polaroid dan selembar foto polaroid yang juga merupakan candid Harry yang tengah tersenyum lebar, tak menatap atau bahkan tak sadar akan keberadaan kamera.

Taylor mengeluarkan spidol dan menulis di bagian bawah foto: I see sparks fly whenever you smile.

Taylor tersenyum lebar sebelum menyelipkan foto itu di salah satu buku pelajarannya. Tak lama kemudian, dia mengunci rapat lokernya dan berjalan menjauhi ruang loker.

Harry menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh dan menghilang di balik pintu, meninggalkan Harry sendiri di sana.

Tak berapa saat kemudian, pintu ruang loker kembali terbuka. Kali ini, Harry mendapati dirinya sendiri yang berjalan menuju loker. Entah kenapa, Harry tak menyukai dirinya yang satu ini. Sangat angkuh dan dingin, berbeda dengan Harry yang asli. Yang ramah dan siap menebar pesona ke manapun.

Harry berjalan mendekati dirinya dan mulai penasaran akan isi loker dirinya sendiri. Harry menahan nafas saat mendapati sangat banyak surat di sana. Mungkin bisa mencapai lima puluh, atau bahkan lebih.

Harry yang dingin itu menghela nafas sebelum meraih surat paling atas dan membukanya. Harry mendongak, berusaha melihat isi surat tersebut dan matanya terbelalak, menyadari siapa pengirim surat.

"Been a long time." Harry meletakkan kembali surat itu ke dalam loker sebelum menghela nafas. Senyuman tipis muncul di bibirnya.

"Tak berminat mengirimkan surat cinta padaku lagi...Tay? Sudah tiga bulan berlalu sejak surat terakhirmu. Aku terobsesi dengan tulisanmu." Harry yang dingin itu berkata sambil menyandarkan punggungnya pada pintu loker.

Harry memejamkan mata. "It doesn't feel right to see you with Jack, but I swear, I don't like you. I just... I just miss your letter."

Senyuman tipis muncul di bibir Harry yang asli. "Kau merindukannya, kan, Harry?" Dia bertanya pada dirinya sendiri sebelum membiarkan tubuhnya kembali tertarik ke dunia lain, kali ini dunia nyata.

Harry tak terkejut lagi saat mendapati dirinya berada di dalam kamar, nafasnya tak lagi terengah-engah. Tatapan matanya hampa, menatap lurus ke depan.

Sebuah getaran ponsel membuat Harry benar-benar tersadar dari lamunannya. Sebuah pesan masuk. Dari Jason Swift.

Hari ini hari terakhir. Besok alat medis akan dilepas. Dad sudah menyiapkan semua, termasuk pemakaman untuk T. Kuharap Tuhan memberikan keajaiban.

Harry menunduk membaca pesan itu. Tidak bisakah mereka bersabar, sebentar saja? Sungguh, Harry punya keyakinan tinggi jika Babe-nya akan sadar dan...mereka bisa memulai semuanya. Dari yang sangat awal.

Tangan Harry menjambaki rambut keritingnya. Mata pemuda itu terpejam. Tak ada yang ada di pikirannya selain harapan. Harapan agar Taylor bisa benar-benar sadar, dan membuat nyata segalanya.

"Stay, please. I want you to stay."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top