35
Chapter 35:
I Do Really Want Her
Sudah dua hari berlalu sejak pembicaraan terakhir Harry dengan Jason. Jason melakukan apa yang Harry perintahkan. Jason benar-benar mengabari Harry perihal perkembangan Taylor, tapi semuanya datar. Tak ada peningkatan atau bahkan kemunduran sama sekali. Dia masih sama. Seorang gadis, masih bernyawa yang berbaring kaku di atas ranjang dengan banyak bantuan peralatan medis.
"Harry,"
Harry menoleh dan mendapati sang Ibu yang berdiri di belakangnya. Anne berjalan mendekat dan duduk di samping Harry, di tepi kolam renang kediaman Styles. Anne tengah berkunjung, menengok bagaimana anak-anaknya sekarang, mengingat dia tak lagi tinggal di sini, tetapi bersama calon suami barunya.
"Gemma bilang, kau sangat pendiam sekembalinya dari Nashville." Anne membuka bicara dan Harry hanya diam.
Anne meletakkan tangannya di pundak Harry, mengelusnya dengan lembut. "Kau bisa bercerita denganku, Harry. Apapun. Aku sudah kecolongan mengenai mannequin itu dan sekarang, kau masih tak mau bercerita tentang masalahmu? Apa masih tentang mannequin itu?"
Harry menggeleng dan memejamkan mata. Sudah sejak pulang dari kampus, Harry berada di sana. Menatap tenangnya permukaan air kolam renang, dengan pikiran yang tertuju pada masalah yang sama.
"Mom?"
Anne tersenyum, mendapat respon dari Harry. "Ya?"
Harry menghela nafas, membuka mata dan menyandarkan kepalanya di pundak Anne. "Aku...aku tak pernah bertemu dengannya, tapi aku merasakan sesuatu padanya. Apa aku salah?"
Anne terdiam sejenak sebelum mengelus lembut kepala Harry sambil bertanya, "Siapa yang tengah kau bicarakan? Gadis mana yang membuatmu seperti ini?"
Harry memejamkan mata. "Dia cantik. Sangat cantik. Dia...dia cicit dari Majorie--mannequin itu, Mom. Dia sangat cantik, mirip dengan Majorie." Harry kembali menghela nafas sebelum melanjutkan, "Bedanya, dia memiliki rambut pirang dan mata biru. Sungguh, Mom, aku benar-benar menyukainya. Dia...dia wujud nyata mannequin itu dan aku jamin, dia benar-benar nyata."
Anne terdiam, berusaha memahami maksud putranya tersebut. "Kalau kau menyukainya, dekati dia. Kau bisa mendapatkan gadis yang katanya tercantik di kampus, lalu kenapa kau tidak bisa mendapatkan dia?"
Harry menggeleng dan mengangkat kepalanya dari bahu Anne. Anne tercengang. Untuk pertama kalinya, dia melihat mata hijau yang berair itu..hanya karena seorang gadis?
Harry memeluk erat Anne dan hati Anne terasa bagai tertusuk jarum berulang kali saat mendengar putranya bercerita, sambil terisak.
"Dia...dia koma, Mom. Hi-Hidupnya tak jelas, beketergantungan dengan...alat medis. Beberapa hari lagi...beberapa hari lagi...keluarganya akan...keluarganya akan me-melepas semua alat medis di tubuhnya. Mereka...mereka merelakan dia untuk pergi." Anne memejamkan mata dan balas memeluk Harry, berusaha menyalurkan ketenangan kepada putranya tersebut.
Masih sambil terisak, Harry melanjutkan, "Aku tak pernah...tak pernah bertemu dengannya, ta-tapi aku...aku tak mengerti kenapa...kenapa aku seperti ini. Aku tak pernah...seperti ini sebelumnya. Aku tak pernah...tak pernah merasa patah hati pada gadis yang....yang bahkan tak pernah kutemui. Tapi aku...aku selalu merasa terhubung dengannya."
Anne tak juga mengerti, kenapa air mata ikut menetes dari matanya, mendengar cerita dari putra kebanggaannya tersebut. Anne tak pernah melihat Harry sesedih ini.
"Aku menginginkannya, Mom. Aku tak pernah menginginkan seorang gadis seperti aku menginginkannya. Aku...aku tak mau dia pergi, sebelum...sebelum sempat aku mengenalnya. Aku sangat menginginkannya."
Anne mengelus punggung Harry dan tak mampu berucap apapun. Anne sendiri tak paham, kenapa semua ini harus terjadi. Anne tahu, Harry bukan pemuda yang mudah jatuh cinta. Dia senang bermain-main, tak pernah serius jatuh cinta.
Tapi sekalinya jatuh cinta, kenapa harus dengan dia yang terdengar mustahil?
*****
"Andrea, dengar! Tenanglah!"
Mr. Swift berusaha memeluk sang istri yang menangis histeris, setelah Dokter mengatakan tak ada lagi harapan untuk putrinya sembuh. Putrinya hanya hidup dengan alat medis. Tanpa alat medis, dia sudah menjadi mayat.
"Kau tak mengerti, Scott! Aku yang didatanginya tiap malam melalui mimpi! Dia masih mau bertahan! Kau tidak bisa melepaskan alat media itu dari tubuhnya! Tidak sampai dia sadar!" Mrs. Swift berujar keras dan membuat sang suami diam.
Mr. Swift menundukkan kepala. "Bukankah kita sudah membuat kesepakatan? Kau juga sudah berkata untuk merelakannya pergi. Apa kau tega melihatnya terus berada di dunia, hanya karena bantuan alat? Bukankah seharusnya dia terbang bebas di atas sana?" Suara Mr. Swift terdengar lemah.
Mrs. Swift menggeleng. "Kau tak mengerti! Dia masih mau bertahan, Scott! Masih banyak yang ingin dia capai! Kumohon, beri dia sedikit waktu lagi. Aku yakin, dia akan sadar."
Mr. Swift menggelengkan kepala. "Tidak, Andrea. Aku mencintainya, begitupun kau. Aku tak ingin melihatnya sengsara seperti ini. Aku ingin dia bahagia. Dia akan bahagia di surga sana."
Mrs. Swift menatap sang suami dengan mata berair sebelum berbalik dan berjalan memasuki kamar. Dia menutup kamar dengan keras.
Satu hal yang Mr. Swift tahu, istrinya pasti akan tetap menangis dan menangis.
Sejujurnya, dia juga tak ingin putrinya pergi.
*****
Dad kembali memanggil Dokter untuk memeriksa T. Dokter bilang, tak ada harapan. Tanpa alat medis, T dipastikan akan mati.
Harry memejamkan mata membaca pesan dari Jason tersebut. Mati? Yang benar saja! Tuhan, aku bahkan belum pernah bertemunya secara langsung! Kenapa kau tak memberiku kesempatan untuk bersamanya?!
"Tidak, aku tidak menangis. Tidak lagi." Harry menggeleng-gelengkan kepala, berusaha untuk menahan supaya air matanya tak lagi tumpah, walaupun matanya sudah sangat berair. Mana ada pria yang menangisi seorang gadis? Aku tidak cengeng!
Harry melempar ponselnya ke atas ranjang sebelum melemparkan tubuhnya di samping ponsel tersebut. Pemuda itu menatap atap kamarnya dengan hampa dan memejamkan matanya.
"Los Angeles. Taylor Swift."
Senyuman muncul di bibir merah muda pria itu saat mengucapkan kata-kata tersebut. Memorinya kembali berputar, pada mimpi yang dialaminya selama berada di Nashville. Mimpi yang sampai sekarang, dia harap akan muncul lagi.
"Aku tak sebodoh itu, Babe. Aku tak akan menjadi Harry yang berada di mimpi itu. Jika saja aku dapat mengendalikan mimpi, aku akan menjadi Harry, yang bukan berstatus sebagai temanmu. Aku akan menyadari perasaanmu dari awal, membalas perasaanmu dan menjadi kekasihmu. Aku tak akan menyia-nyiakanmu, seperti yang Jacob dan Harry lakukan."
Harry membuka mata dan bangkit dari ranjang. Pemuda itu kembali merah ponsel dan kali ini, mendapati nomor asing yang mengiriminya pesan.
Meet up soon?
Harry mengernyit. Dia tak mengenal nomor ini dan tipikal Harry untuk tidak membalas pesan dari nomor yang tak dikenalnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top