22

Chapter 22:
Oliver & Majorie Swift



Harry tak datang ke butik tiga hari belakangan. Ia sibuk menyusun skripsinya, meski pikirannya belum benar-benar terfokus pada skripsi tersebut.

Pikirannya masih terpaku pada cerita Jason dan mimpi-mimpi yang pernah ia dapatkan. Akhir-akhir ini, Harry tak lagi bermimpi. Apa mungkin mimpinya yang muncul beberapa hari lalu adalah yang terakhir?

Harry meraih ponsel dan mencari kontak nama Jason. Tanpa basa-basi, Harry mengirimkan pesan kepada Jason. Well, sejak pertemuan mereka beberapa hari lalu, Harry dan Jason menjadi akrab. Bisa dikatakan, berteman.

Bisa kita bertemu? Tempat biasa?

Tak lama setelah pesan itu terkirim, Harry mendapat balasan dari Jason.

Maaf, tidak bisa. Orangtuaku baru saja sampai untuk berkunjung. Bagaimana jika lain waktu?

Harry mendengus membaca balasan dari Jason tersebut. Padahal, Harry sudah sangat mengharapkan agar Jason mau menemuinya. Setidaknya, Harry benar-benar ingin memberitahu Jason mengenai mimpi yang ia dapatkan.

Teruskan.

Suara lembut itu terngiang jelas dalam pikiran Harry. Harry menahan nafas dan menghelanya perlahan. Suara gadis itu muncul dan Harry sudah benar-benar tak tahan untuk bertemu dengannya. Aneh. Harry tak pernah seperti ini, sebelumnya.

Pemuda berambut keriting itu bangkit dari ranjang dan memutuskan untuk menemui gadis yang benar-benar mengganggu pikirannya.

Harry mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata. Saat ia ke luar dari rumah, belum ada tanda-tanda jika Ayah dan kakaknya telah kembali.

Des sudah pasti pulang malam, ia yang bilang sendiri kemarin saat makan malam. Banyak kerjaan yang tak bisa ia alihkan ke bawahannya dan harus ia kerjakan sendiri.

Sedangkan Gemma? Sepertinya ia akan menginap di rumah Robin, mengingat sekarang ia sudah dapat menerima keberadaan Robin sepenuhnya. Entah bagaimana bisa Gemma merubah pikiran secepat itu.

Mobil yang Harry kendarai berhenti di dekat sebuah taman yang berada tak jauh dari butik. Memang, Harry selalu memarkirkan mobilnya di sana, sebelum berjalan mengendap-endap menuju ke butik.

Melewati pintu belakang dan akhirnya mencapai pintu tujuannya. Harry segera membuka pintu itu. Pintu terbuka dan ruangan dalam keadaan gelap gulita.

Harry menyalakan lampu sebelum mengedarkan pandangannya ke segala arah.

"Babe?"

Harry memanggil, karena tak mendapati yang ia cari. Harry menghela nafas dan mulai cemas. Ia tak mendapati Babe-nya di sini.

Pemuda itu berjalan ke luar ruangan dan memeriksa tiap ruangan, sampai akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya di tempat yang tak pernah Harry bayangkan sebelumnya.

Babe-nya. Terkurung. Di gudang yang sangat sempit dan pengap. Dengan posisi duduk, meringkuk. Tubuhnya bergetar.

"Babe!"

Harry membungkuk dan gadis itu menoleh. Matanya berair. Gadis itu segera berhambur memeluk Harry, sangat erat.

"Apa ya--,"

"Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi seseorang memasukkanku ke dalam gudang tadi pagi. Mereka bilang, dalam waktu dekat, mereka akan memusnahkanku. Mereka akan membawaku ke tempat pembakaran sampah."

Mata Harry membulat. Tangannya balas memeluk gadis itu, lembut. "Babe, siapa yang bilang seperti itu? Kau akan tetap bertahan di sini. Tak ada yang akan membuangmu atau bahkan membawamu ke tempat pembakaran sampah."

Gadis itu melepaskan pelukannya. Matanya berair dan Harry baru menyadari satu hal.

Iris matanya...bukan biru?

"Petugas keamanan di sini tahu tentang aku. Mereka juga tahu tentangmu. Besok mereka akan melaporkan kepada Ibumu. Mereka akan...mereka akan mengenyahkanku." Gadis itu berkata sesenggukkan.

Harry yang menampar pikirannya sendiri sebelum fokus menenangkan gadis itu. "Tidak, aku tak akan membiarkan itu terjadi. Babe, kau akan tetap bertahan di sini. Percayalah."

Gadis itu mendongak dengan pipi yang basah oleh air mata. Harry menahan nafas, sebelum menggerakkan tangan untuk menghapus air mata tersebut.

Gadis itu tersenyum tipis sebelum berkata lembut, "Aku takut...aku takut malam ini akan menjadi malam terakhirku bersamamu."

Hati Harry tercubit mendengar perkataan itu. Harry menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak, ini bukan malam terakhir. Percayalah."

Gadis itu tersenyum. "Jika ini akan menjadi malam terakhir, aku akan bercerita singkat padamu, tentang kehidupanku dulu."

Harry diam, menundukkan kepala. "Kau tidak...mimpi-mimpiku..."

Gadis itu merengkuh wajah Harry lembut, memaksa iris hijau Harry untuk menatap iris...iris kecokelatannya yang sekarang.

"Aku hanya ingin kau tahu jika...," gadis itu menarik nafas dan menghelanya perlahan sebelum tersenyum tipis dan lanjut berkata, "I was enchanted to meet you, Harry."

Sesuatu yang lembab menyentuh bibir Harry, menerbangkan kembali kupu-kupu dalam perutnya.

Setelah itu, Harry tak mengerti apa yang terjadi tapi ia seakan memasuki dimensi lain, tempat yang pernah hadir dalam mimpinya.

*****

"Selamat. Istri Anda hamil, Mr. Swift."

Pasangan suami istri itu sama-sama menganga sebelum tidak dapat menyembunyikan senyuman kebahagiaan mereka.

Pria bertubuh tegap itu menatap sang istri yang tampak berkaca-kaca. Tangan besarnya, merangkul sang istri masuk ke dalam pelukannya.

"Kau dengar, Majorie? Kau hamil. Aku dan kau, kita, akan segera memiliki anak!"

"Aku tahu, Oliver." Si wanita membalas memeluk sang suami.

Pasangan yang baru menikah selama enam bulan itu berpamitan kepada perawat yang memeriksa Majorie tadi sebelum melangkah meninggalkan tenda. Tenda? Ya, tenda.

Ini berbahaya, memang. Tapi mereka berada di Amerika Selatan, salah satu daerah yang sangat rawan akan serangan musuh.

Oliver tersendiri adalah seorang tentara, komandan perang sedangkan sang istri, Majorie, adalah salah satu tim medis. Mereka bertemu satu tahun lalu, saat Oliver mendapat luka tembak ringan dan Majorie yang mengobatinya. Setelah itu, benih-benih cinta muncul di antara mereka, sebelum akhirnya menikah secara sangat sederhana hingga sekarang, akan segera memiliki anak.

"Dengar, aku akan menerbangkanmu ke Nashville. Aku punya banyak teman di sana. Kau akan tinggal di rumah sahabat baikku."

Oliver berkata sambil menghentikan langkahnya. Pria itu berdiri di hadapan Majorie yang tampak membulatkan mata.

"Jadi, kau akan meninggalkanku di Nashville? Tapi aku ingin bersamamu!" Majorie memprotes.

Oliver tersenyum tipis dan merengkuh wajah Majorie yang tampak kalut. Mata mereka bertemu. Cokelat bertemu dengan cokelat.

"Aku janji, aku akan sering mengunjungimu, Majorie. Aku juga tak ingin melewatkan perkembangan anak kita." Oliver mengelus lembut perut Majorie yang masih datar, sebelum tangan itu beralih kembali ke sisi wajah Majorie.

Oliver menghela nafas. "Kau tidak bisa terus menjadi tim media dengan kondisimu seperti ini. Kau harus aman. Apapun yang terjadi, kau dan bayi kita harus aman. Aku tak mau mengambil risiko dengan membiarkanmu berada di tempat serawan ini."

Majorie menggeleng dan hendak mengelak perkataan suaminya namun, sebelum sempat berkata apapun, Oliver sudah mendaratkan bibirnya di atas bibir Majorie, mengecupnya dengan kasih sayang.

Setelah itu, Oliver melepaskan kecupannya sambil tersenyum.

"Aku tahu kita sudah cukup lama, tapi aku belum sempat mengatakan ini saat pertama kali kita bertemu."

Oliver mengecup tiap inci wajah Majorie sebelum berhenti dan menyatukan dahi mereka. Ujung hidung mereka bertemu, begitupun mata yang hanya terfokus pada satu sama lain.

"I was enchanted to meet you, Majorie."




------
Scoot Eastwood & Brunette Taylor Swift as Oliver & Majorie Swift.

Finally..

Tell me what you guys think about this chapter! :)

Thanks for reading.
All the love. A x

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top