19

Chapter 19:
Blind Date

Tiga hari telah berlalu sejak Harry, Zayn dan Liam menemui Kakek Frans di kediamannya. Sudah lebih dari tiga hari juga, Harry tak mengendap-endap memasuki butik hanya untuk menemui yang berada di dalamnya. Rasanya aneh.

Harus diakui, Harry merindukan dia.

Tapi sebisa mungkin Harry menahan diri. Harry tengah mulai menyusun bahan skripsinya. Sebentar lagi dia lulus dan terbebas dari kampus.

"Harry,"

Harry yang tengah sibuk menghabiskan spaghetty-nya seorang diri menoleh, mendapati Zayn yang tengah berdiri di belakangnya, tersenyum lebar.

"Ya?"

"Ikut denganku ke suatu tempat, kumohon." Pinta Zayn yang langsung membuat Harry mengangkat satu alisnya. Tak biasa sekali seorang Zayn yang terkadang sangat individualis, meminta Harry untuk menemaninya.

"Ke mana?" Tanya Harry.

"Ke suatu tempat.  Aku jamin kau akan menyukainya." Zayn menaik-turunkan alisnya, membuat Harry memutar bola matanya.

"Bagaimana dengan yang lain? Mereka ikut?" Tanya Harry lagi.

Zayn menggeleng. "Tidak. Hanya kau dan aku. Ayolah, kita pergi sekarang, sebelum yang lainnya datang!" Zayn mendesak dan Harry mengernyit.

"Memangnya kenapa kalau mereka datang?"

Zayn mendengus kesal. "Jika mereka datang, mereka akan meminta untuk ikut. Jika mereka ikut, mereka akan mengacaukan semuanya. Sudahlah, ayo, berangkat!"

Harry menghela nafas sebelum bangkit dari kursi, meraih tas dan menuruti kemauan sahabatnya yang memiliki darah Asia tersebut.

*****

Di sinilah Harry saat ini. Duduk dengan wajah datar, mendengar pembicaraan antara Zayn dan kekasih barunya, Giselle. Tidak, bukan hanya mereka bertiga yang ada di sini, di meja sebuah kafe dengan nama aneh, Goddest Cafe. Nyatanya, Giselle membawa temannya. Seorang gadis berambut pirang cantik yang mengaku bernama Carrie Anderson.

"Carrie juga mantan ketua tim cheers kampus. Iya, kan, Carrie?" Giselle tampak menatap Carrie dengan ceria, membuat gadis itu mengangguk sebelum kembali menatap Harry.

Sangat kentara jelas. Gadis itu benar-benar telah jatuh dalam pesona Harry Styles, di kali pertama mereka bertemu.

"Sounds great! Harry juga kapten tim basket sekolah dulu, sebelum fokus untuk kuliah. Harry kan satu-satunya pewaris Styles Enterprise. Dia tak bisa lama bermain-main." Zayn menambahkan dan membuat Harry menoleh kepadanya, menyatukan alis seakan mengisyaratkan jika Harry berkata, "Apa maksudmu?!"

Senyuman Carrie melebar. Gadis cantik itu bertopang dagu dan semakin lekat menatap Harry. "Sangat menakjubkan. Aku tak menyangka jika kau mantan kapten tim basket." Carrie berbicara pada Harry.

Harry, akhirnya, menatap balik gadis itu dan menyeringai. "Ya. Aku membawa tim kampusku ke negara bagian. Kami hampir saja menang, jika Zayn dan Niall tidak terlambat, membuat tim kami terkena diskualifikasi karena kekurangan pemain."

Carrie dan Giselle terkekeh geli mendengar cerita Harry, sedangkan Zayn hanya mengerucutkan bibirnya.

Kemudian, tiba-tiba, Zayn bangkit berdiri dan meminta izin untuk membeli kentang goreng tambahan dan Giselle menawarkan diri untuk menemani Zayn, sehingga hanya tersisa Harry  dan Carrie di meja itu.

Harry tak ada niat sama sekali untuk membuka percakapan dengan gadis cantik ini. Pikirannya tengah dipenuhi oleh babe-nya. Harry sangat merindukan dia. Ini akan menjadi kali pertama Harry merindukan seorang gadis.

"Harry?"

Perhatian Harry teralihkan saat mendengar suara tersebut. Harry mendongak dan mendapati Carrie yang tersenyum lebar kepadanya. Mungkin, jika bukan Harry yang berada di hadapannya, pria lain pasti akan langsung melahapnya.

"Ya?"

"Kau jarang bicara," ujar Carrie yang membuat Harry mengangkat satu alisnya.

"Lalu?"

Carrie memutar bola matanya. "Katakanlah sesuatu. Apapun itu. Jangan diam. Aku tak suka pria yang pendiam."

Harry tersenyum miring. "Aku tak pernah memintamu untuk menyukaiku."

Carrie menahan nafas sebelum berkata pasrah, "Kau tahu, maksud Zayn dan Giselle mengajak kau dan aku di saat mereka bisa pergi berdua? Itu karena mereka tengah menjodohkan kau dan aku."

Mendengar ucapan Carrie, Harry membulatkan matanya. Apa-apaan Zayn?!

"Aku sama sekali tak tahu dan kau?! Jika kau tahu semuanya, kenapa kau tidak menolak saja?" Harry berujar kesal, membuat Carrie diam sebelum menggelengkan kepala.

"Aku tak akan memaksamu, tapi jika kau ingin mencoba, aku bersedia. Kulihat, kau benar-benar masuk ke dalam tipikal pria yang cocok menjadi kekasihku."

Harry memejamkan mata sebelum bangkit berdiri. Matanya secara tajam menatap gadis cantik tersebut.

"Dengar, katakan pada sahabatmu atau pacar sahabatmu jika aku tak sedang mencari pacar. Aku sudah memiliki seseorang yang spesial dan Katy..,"

"Namaku Carrie!" Carrie memotong ucapan Harry dengan cepat.

Harry memutar bola matanya. "Ya, terserah. Tapi dengar, Caro--,"

"It's C-A-R-R-I-E! Carrie!"

Harry memicingkan matanya dan dengan kesal berkata, "Siapapun namamu, asal kau tahu, kau bukan sama sekali tipe-ku. Aku tak menyukaimu. Kuharap, ini kali pertama dan terakhirku bertemu denganmu. Selamat tinggal."

Harry beranjak meninggalkan kafe, saat Carrie meneriakkan namanya dengan geram.

*****

"Harry, aku mencoba membantumu untuk kembali menjadi dirimu yang lama! Lagipula, lihat saja! Carrie itu tak kalah cantik dari Casey!"

Harry memutar bola matanya sebelum menekan pedal rem saat sampai di tempat yang ditujunya. Zayn menghubunginya berulang kali, sejak Harry pergi begitu saja dari kafe namun baru diangkat oleh Harry saat mobil yang dikendarainya nyaris sampai.

"Zayn, dengar. Aku tak berminat mencari pacar, saat ini. Sampaikan maafku pada Camryn dan pacarmu." Harry berujar lemas, seraya melepaskan sabuk pengamannya.

"Namanya Carrie, Harry! Bukan Camryn!"

Harry memutar bola matanya. "Aku tak peduli. Mau Camryn atau Caron atau siapapun itu. Sampai bertemu besok di kampus, Zayn."

Harry mengakhiri panggilan sebelum sempat Zayn merespon ucapannya. Harry menghela nafas sebelum melihat sebuah tempat yang berada tak jauh dari tempatnya berada sekarang.

Styles Boutique.

Jam di layar ponsel Harry menunjukkan pukul 3 sore. Itu berarti, Harry harus kembali menunggu lebih dari satu jam, sampai semua karyawan pulang untuk dapat masuk.

Menunggu selama tiga jam juga bukan hal yang mudah. Sangat membosankan, namun demi menemui dia Harry rela menunggu walau harus seribu tahun lamanya.

Yang terakhir pergi adalah seorang karyawan berambut hitam yang sepertinya berusia 30-40 tahunan. Tiga puluh menit setelah karyawan itu pergi, barulah Harry melancarkan aksinya.

Harry meraih kupluk yang ada di backseat-nya dan mengenakan kupluk itu sebelum mengendap lewat pintu belakang, memasuki area butik. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, butik tampak sudah sangat sepi dan gelap.

Tak berbasa-basi, Harry langsung menuju ke ruang kerja sang Ibu. Baru saja pintu terbuka separuh, tiba-tiba seseorang menabrak tubuh Harry, melingkarkan lengan kecilnya di sekeliling leher Harry.

Harry sempat terpaku selama beberapa saat sebelum balas memeluk dan mengelus lembut punggung gadis yang memeluknya itu. Harry terkekeh kecil seraya berbisik lembut tepat di telinga gadis itu, "Kau sangat merindukanku, Babe?"

Gadis itu melepaskan pelukannya dan berdiri di hadapan Harry, dengan pipi yang memerah. Gadis itu mengangguk malu dan entah kenapa, keluguannya benar-benar menggemaskan di mata Harry.

Harry memasuki ruang kerja, menguncinya dari dalam sebelum menghadap gadis itu lagi. Senyuman menghiasi wajah tampan pemuda tersebut.

"Aku juga merindukanmu. Sangat."

Gadis itu balas tersenyum. "Kau tidak menemuiku selama beberapa hari. Kupikir, kau membenciku."

Harry memicing. "Beri aku alasan, kenapa aku harus membencimu?" Harry maju mendekati gadis itu, hingga tubuh mereka saling bersentuhan. Gadis itu tak mundur, ia malah dalam posisi bertahan.

"Tidak, aku tak ingin kau membenciku."

Senyuman Harry semakin mengembang. Tangan Harry bergerak, menyentuh pipi gadis itu sebelum menurun ke dagu. Harry mengangkat sedikit dagu gadis itu dan menyeringai. Harry sendiri tak tahu kenapa, tapi ia tak tahan lagi untuk dapat mencium gadisnya. Gadisku? Sejak kapan?

Tanpa banyak basa-basi, Harry langsung melahap habis bibir merah gadis itu, seperti seekor singa yang kelaparan. Tangan gadis itu bergerak, menyentuh leher Harry. Tangan Harry juga bergerak, dari pinggang kemudian menurun, sampai ke paha.

Harry menarik paha gadis itu, memaksanya untuk melingkarkan kaki jenjangnya di sekeliling perut Harry sementara Harry memutar arah dan membuat punggung gadis itu menyentuh dinding tanpa  melepas ciuman mereka.

Ciuman Harry beranjak menuju ke leher jenjang gadis itu dan membuat gadis itu mendesah. Permainan Harry baru saja hendak berlanjut, saat derap langkah kaki terdengar dan membuat keduanya tercengang.

Harry buru-buru menjauhkan diri dari babe-nya dan melirik sekeliling. Keduanya tampak panik. Akhirnya, Harry menarik tangan gadis itu menuju ke lemari besar yang berada di sana. Untungnya, lemari itu tak dikunci dan lemari itu benar-benar cukup untuk dua orang.

Saat lemari tertutup, saat itu pula pintu ruangan terbuka. Harry menahan nafas. Berusaha untuk tak menimbulkan suara yang mencurigakan sama sekali.

"Bagaimana, Miss? Sudah menemukan dompet Anda?" Suara seorang pria terdengar, tegas.

"Aku lupa meletakkannya di mana. Antara berada di sini atau di rumah."

Harry mengenal suara ini. Gemma Styles, kakaknya.

Kemudian, terdengar suara gaduh. Gemma sibuk mencari dompetnya di ruangan ini, sebelum matanya menangkap sesuatu yang ganjil.

"Hei, tunggu. Sepertinya lampu di ruangan ini, sudah kumatikan sebelum pulang tadi."

Jantung Harry berdegup cepat. Gemma dan ingatan sialannya.

"Di mana mannequin baru Mom? Setahuku, dia berada di sini."

Harry tahu, Gemma tengah menunjuk ke tempat di mana seharusnya mannequin itu berada. Harry menoleh dan mendapati Babe-nya yang tampak menutup mulut dengan salah satu tangannya yang bebas, tubuhnya bergetar. Harry mengeratkan genggaman tangannya, seakan menyalurkan ketenangan pada gadis itu.

"Mungkin Anda menyimpannya di lemari."

Harry benar-benar panik saat derap langkah dan suara pria itu terdengar sangat jelas. Pria itu tepat berada di depan lemari ini. Sial!

Harry tak berhenti mengumpat dalam hati, membayangkan yang akan terjadi jika sampai mereka berdua ketahuan.

"Tidak, Sir. Lemari itu berisi bahan pakaian. Aku tak akan pernah meletakkan dompetku di sana." Ucapan Gemma, membuat Harry lega.

"Sudahlah. Aku lelah dan tak mau terlalu banyak pikiran. Aku harus segera pulang. Terima kasih atas bantuanmu."

Tak lama kemudian, Harry mendengar suara pintu yang ditutup dan derap langkah yang kian menjauh. Setelah memastikan jika mereka berdua aman, Harry barulah mendorong pintu lemari untuk terbuka.

Keduanya ke luar dari lemari dan menatap satu sama lain sebelum tertawa geli.



-----
Martha Hunt as Carrie.
Tadinya mau Kendall tapi kenapa kalian gak mau :(
Tenang, Carrie cuma figuran kok ;)

Btw, what do you think about this part?

Thanks for reading.
All the love. A x

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top