18
Chapter 18:
Third Dream
Wanita cantik berambut hitam yang tengah menggendong bayinya itu terdiam, menundukkan kepala. Si bayi tampak menangis keras, namun sang Ibu masih berdiri kaku.
"Ka-kau... Kau bercanda, kan?" Wanita itu bertanya, menggelengkan kepala kepada pria berpakaian tentara di hadapannya.
Si pria menghela nafas dan berjalan mendekati si wanita. Tangannya menepuk bahu wanita itu, berusaha mengalirkan ketenangan kepada si wanita berambut hitam pekat tersebut.
"Aku turut berduka cita. Suamimu memang...seorang pahlawan sejati. Jasanya pasti akan selalu terkenang." Ujar sang pria, membuat si wanita bergetar. Masih mengabaikan bayinya yang menangis, wanita itu jutru ikut menangis.
"Di-dia belum bertemu Anton. Dia berjanji akan menemuiku dan Anton lagi. Tidak, kau pasti bercanda. Dia...dia masih hidup." Wanita itu mengangkat wajahnya yang penuh air mata.
"Katakan jika suamiku masih hidup! Katakan dia akan kembali secepatnya!" Bentak wanita itu, yang membuat si pria tentara menundukkan kepala.
Pria itu kembali menghela nafas. "Tubuhnya sudah pasti hancur karena ia menabrakkan pesawatnya sendiri dengan pesawat lain ketika pesawat lain itu hendak menabrak pesawat milik angkatan udara Amerika, hingga bom yang berada di dalam pesawat meledak. Dia mengorbankan dirinya sendiri untuk yang lain."
Tangis wanita itu semakin menjadi-jadi. Baru saja seminggu yang lalu ia merasakan sakitnya saat harus melahirkan secara normal, sekarang rasa sakit itu muncul kembali. Tapi dalam wujud yang lain.
Hatinya terasa sangat sesak. Sulit untuk bernafas.
"Sekali lagi, hanya itu yang dapat kusampaikan. Aku turut berduka cita, Mrs. Swift." Tentara itu menunduk, sedikit membungkuk hormat kepada wanita di hadapannya.
"Aku permisi." Pria itu berbalikdan melangkah pergi, meninggalkan wanita yang tak dapat menghentikan tangisnya tersebut.
Lagi, Harry terbangun dari dunia mimpinya dengan nafas terengal-engal. Harry melirik cepat jam yang tergantung di dinding kamarnya. Sudah menunjukkan pukul dua dini hari.
Harry tak mengerti apa arti dari mimpinya. Tapi Harry baru menyadari jika mimpi-nya belakangan ini selalu saling berpautan. Saling berhubungan dan itu membuat Harry semakin bingung.
"Anton? Swift? Damn, siapa orang-orang itu?!"
Harry melirik jendela kamarnya dan menghela nafas. Ini adalah malam pertama Harry berada kembali di kamanya sejak seminggu belakangan ia menghabiskan malam bersama Babe.
*****
Hari ini adalah hari libur. Jika saja Zayn dan Liam tak berkunjung ke rumahnya, mungkin Harry akan menghabiskan sepanjang hari dengan tidur. Bahkan, Harry lupa jika ia sudah berjanji untuk meminta maaf pada Ibu dan juga calon Ayah Tirinya.
"Apa yang kalian inginkan?" Harry bertanya, setengah sadar saat Zayn dan Liam memasuki kamarnya, tanpa ada keragukan sedikitpun.
"Aku sudah membujuk si pemilik toko Season Mannequins untuk menceritakan segala sesuatu mengenai mannequin kesayanganmu itu. Kau ingin ikut atau tidak?" Tanya Zayn.
Harry yang semula sangat malas, setelah mendengar kata mannequin, langsung sangat bersemangat. Pemuda itu bangkit dari ranjang dan mengambil pakaian di dalam lemari.
"Men, bagaimana jika kalian menunggu di bawah, sementara aku akan bersiap?" AHarry memutar bola matanya kepada kedua sahabatnya yang tampak memperhatikan Harry dengan geli.
"Harry, aku sama sekali tak berminat untuk mengintipmu. Pertama, aku sudah memiliki---,"
"Shut up, Malik! Ke luar dari kamarku. Sekarang." Harry mengancam Zayn dan Liam yang langsung berjalan ke luar dari kamar Harry.
Tak butuh waktu untuk seorang Harry Styles bersiap. Tak ada orang di rumah. Sepertinya semuanya sudah pergi, entah ke mana. Tapi bukankah ini hari Minggu?
Liam dan Zayn memimpin di depan saat mobil Harry hanya mengikuti mobil yang dikendarai oleh Liam. Tujuan mereka hanya satu, rumah si pemilik toko. Harry tak mengerti bagaimana mungkin Zayn dan Liam harus meneliti mannequin-nya sampai membujuk si pemilik toko?
Sekarang, Harry mempertanyakan. Siapa yang gila di sini?
Menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, akhirnya mobil Harry berhenti tepat di belakang mobil Liam yang berhenti terlebih dahulu. Harry segera ke luar mobil, menghampiri Liam dan Zayn yang juga telah ke luar mobil dan memperhatikan rumah desain abad 19an di hadapan mereka.
"Kau yakin ini alamatnya?" Zayn bertanya kepada Liam.
Liam menganggukkan kepala. "Sangat yakin."
Zayn mengangguk mantap. "Baiklah, ayo masuk!"
Zayn berjalan memasuki halaman rumah kuno tanpa pagar tersebut, diikuti Liam dan juga Harry. Tepat saat mereka menginjakkan kaki di teras rumah, pintu terbuka tiba-tiba.
"Kalian benar-benar datang?" Pertanyaan itu ke luar begitu saja dari mulut pria tua yang membukakan pintu.
"Selamat pagi, Kakek. Well, apa kami mengganggu? Sepertinya tidak. Kami datang bersama teman kami, yang merupakan anak dari wanita yang membeli mannequin kesukaan Kakek." Liam menjelaskan, seraya menunjuk Harry yang tengah memicingkan mata.
Zayn menyenggol bahu Harry dan memberi tanda jika Harry harus tunduk pada pria tersebut. "Harry, ini Kakek Frans, pemilik Seasons Mannequin."
Buru-buru, Harry mengulurkan tangan kepada kakek tua dengan wajah judes tersebut. Kakek itu membalas cepat jabatan tangan Harry sebelum berbalik, dan mengajak ketiga pemuda itu masuk ke dalam rumahnya.
Isi dalam rumahnya terlihat sangat gelap. Banyak mannequin di sini, namun sebagian besar berbentuk sama. Tak ada yang berbeda. Semua mannequin ini terlihat sama. Tak berbeda.
"Ada beberapa mannequin spesial di sini. Tapi kau tahu, aku tak meletakannya secara asal. Dia ada di tempat lain di rumah ini." Kakek itu berkata dengan cepat.
Akhirnya, mereka sampai di halaman belakang rumah. Ada beberapa kursi kayu di sana. Halaman belakang rumah kakek ini terlihat seperti hutan kecil. Sangat alam.
"Silahkan duduk, Pemuda-pemuda."
Harry, Zayn dan Liam duduk di kursi panjang yang menghadap pria tua tersebut. Ia menarik nafas dan menghela nafas.
"Apa yang kalian ingin tanyakan?" Tanyanya, langsung ke pokok pembicaraan.
"Tentang mannequin yang berada di Styles Boutique. Apa mannequin itu termasuk salah satu mannequin spesial di sini?" Zayn mulai bertanya, tanpa ragu sedikitpun.
Kakek itu tersenyum tipis dan mengangguk. "Ya. Sebenarnya mannequin itu tak dijual. Aku tak memperhatikan saat karyawanku memamerkan mannequin langsung ke toko dan membuat Mrs. Styles tertarik dan bahkan membayar mahal untuk mannequin tersebut."
Harry sedari tadi hanya diam, mendengarkan.
"Kau bilang...mannequin itu adalah kesayanganmu?"
Kakek itu menggeleng dan tersenyum tipis. "Bukan. Tapi kesayangan kakekku. Dia yang membuat mannequin tersebut. Dia bilang, inspirasinya berasal dari gadis yang sangat disayanginya."
"Boleh aku tahu, siapa nama gadis itu dan..kakekmu?" Untuk pertama kalinya, Harry angkat suara. Turut merasa penasaran akan cerita si kakek tua.
Frans menatap Harry tajam sebelum menjawab, "Nama kakekku adalah George Wrack. Aku tak tahu nama gadis itu secara mendetail. Aku hanya tahu nama keluarganya. Kalau tidak salah, Swift."
Mendengar kata Swift, mendadak Harry tercengang. Nama itu muncul dalam mimpinya semalam. Wanita yang baru melahirkan.
"Berapa usia kakekmu?" Harry kembali bertanya.
"Kakekku meninggal 15 tahun lalu, di usianya yang ke-103." Jawab kakek itu yang sukses membuat Harry tercengang, lagi. Harry berpikir.
Aku bermimpi dengan latar Perang Dunia ke-2. Itu berarti, kakek dari kakek ini pasti tahu jelas mengenai wanita asing dan keluarga Swift itu.
Semua ini sangat membingungkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top