10
Chapter 10:
Must Be Real
Sudah beberapa hari berlalu, sejak terakhir kali Harry pergi ke butik tempat Ibunya bekerja. Harry akan meminta Anne untuk menunggunya di depan supermarket yang berada tak jauh dari butik.
Hari ini, Gemma dan Des, baru saja kembali dari Cannes beberapa jam yang lalu. Harry bersyukur, setidaknya Harry tak harus mengantar jemput Ibunya lagi.
Mengabaikan perintah Anne untuk pulang kuliah sebelum makan malam, sehingga keluarga mereka bisa kembali makan malam bersama. Tapi yang dilakukan Harry bukanlah kembali ke rumah, Harry mengajak keempat sahabatnya untuk pergi ke kelab malam.
Louis dan Niall tampak sudah sangat mabuk, menari dengan gadis asing yang mereka sendiri juga tak kenal. Beruntunglah Niall yang masih lajang, bebas melakukan apapun. Tapi Louis? Well, pemuda itu juga bebas. Dia punya gadis yang sangat pengertian.
"Aku mengajak Giselle ke sini, tak apa, kan?" Zayn berkata, setengah berteriak kepada Harry dan Liam yang duduk di kursi bar. Mabuk, tapi masih bisa mengendalikan diri.
"Jadi, kau dan gadis itu sudah resmi, eh?" Harry balik bertanya, setengah berteriak. Tanpa suara keras, akan sulit untuk saling bercakap. Pasalnya, suara musik di kelab malam itu benar-benar keras.
"Kenalkan dia pada kami, Zayn." Liam mengerling dan membuat Zayn mengangguk seraya terkekeh.
Zayn menatap sekeliling sebelum berhenti pada dua sahabatnya yang masih sadar. "Seharusnya dia sudah di sini. Dia datang bersama teman barunya, di kampus barunya."
Mata emas Zayn kembali menatap berkeliling sebelum berbinar saat mendapati sosok yang sedari tadi dicarinya, tampak menerobos di antara kerumunan orang yang sibuk berdansa, mengikuti irama musik.
Harry dan Liam hanya dapat diam, sedikit tercengang melihat gadis cantik, nan seksi dengan gaun ketat berwarna hitam dan rambut pirang panjang yang dibiarkannya jatuh di punggung. Dandanannya juga tak tebal, tapi dia sangat mencolok mata. Cantik. Bahkan, hampir sebagian besar pria di kelab ini memperhatikan gadis itu, berharap jika gadis itu lajang dan mau diajak berdansa.
Namun, harapan para pria yang terpesona akan kecantikan pupus saat gadis itu berhambur, melingkarkan lengannya di leher pemuda tampan berwajah Inggris-Pakistan yang memang sedari tadi menanti kedatangan gadis itu.
Giselle..
Zayn dan Giselle berciuman singkat, sebelum Giselle melepaskan pelukannya dan berdiri berdampingan dengan Zayn. Tangan Zayn melingkar sempurna di pinggul gadis ramping tersebut, menghadap kedua sahabatnya yang sedari tadi bungkam.
"Lads, well, Liam mungkin kau pernah melihat gadisku, Giselle saat pesta ulangtahun Casey dan Harry, ini gadis yang kuceritakan padamu." Zayn berkata panjang lebar, memperkenalkan Giselle ke kedua sahabatnya.
Yang pertama mengulurkan tangan di hadapan Giselle adalah Liam, Liam tersenyum manis seraya memperkenalkan namanya. "Hei, Giselle. Aku Liam Payne."
Setelah Liam, barulah Harry yang memperkenalkan dirinya kepada Giselle, tanpa mengulurkan tangan.
"Harry Styles."
Mendengar nama Harry, Giselle membulatkan matanya. "Styles? Aku tak asing dengan nama keluarga itu," Mata gadis itu menatap Harry dari bawah ke atas, menyelidik.
Zayn menarik Giselle mendekat ke tubuhnya dan berbisik lembut, "Styles Boutique adalah milik Ibunya dan Ayahnya adalah pemilik Styles Corp."
Gisella mengangkat satu alisnya mendengar penjelasan Zayn sebelum mencuri pandang ke arah Harry yang tampak tak peduli dan mulai meneguk kembali wine-nya. Liam bergabung bersama Harry.
"Di mana temanmu?" Tanya Zayn, melirik kembali ke sekeliling.
"Aku datang sendiri. Dia bilang, dia akan menyusul, tapi beberapa menit lalu, dia bilang dia tidak bisa ke luar. Jadi, aku sendiri." Jawab Giselle, seraya menghela nafas.
Zayn tersenyum dan mengelus puncak kepala gadisnya. "Jika tahu begitu, lebih baik kau berangkat bersamaku tadi."
Setelah itu, Zayn dan Giselle tampak bertingkah seakan-akan hanya ada mereka berdua di dalam kelab. Harry mulai bosan, Liam mulai benar-benar mabuk. Liam hanya duduk tak menentu dengan seringaian aneh di bibir. Harry menghitung mundur dan tepat dihitungan ke sepuluh, dengan sempoyongan Liam bergabung dengan Louis dan Niall. Berdansa liar dengan gadis-gadis liar pula.
Kesadaran Harry juga nyaris lenyap saat mendengar ponselnya yang berdering. Harry merogoh cepat ponsel yang berada di saku celana, sebelum bangkit dari kursinya dan mencoba berjalan ke luar dari kelab, sambil mengangkat panggilan tersebut.
"Hal--, holyshit!"
Baru ingin bicara, ponsel Harry terjatuh akibat bertabrakan dengan seseorang. Harry menatap ponselnya yang berserakan di lantai marmer sebelum mengangkat wajah, menatap pria tua yang baru saja menabraknya dengan emosi tingkat tinggi.
"Dasar pria tua bangka! Perhatikan langkah kakimu, Sialan!"
"Apa yang baru saja kau katakan, Bajingan?!"
Hampir saja keduanya saling menerjang satu sama lain jika saja sebuah suara lembut tak menghalangi mereka berdua.
Harry menoleh ke sumber suara dan matanya terbelalak mendapati siapa yang baru saja menghentikannya dari perbuatan buruk.
"Babe?"
Harry menggeleng-gelengkan kepala, memastikan jika gadis cantik yang berada di dekatnya saat ini itu nyata, bukan ilusi. Tapi ini benar-benar nyata.
Mengabaikan keberadaan pria tua bangka dan ponselnya yang berserakan, langkah kaki Harry menuntunnya mendekati gadis yang benar-benar menghantuinya selama beberapa hari belakangan. Gadis yang menganggu pikirannya.
"Kau..bagaimana kau...?"
"Aku tak ingin berada di sini. Terlalu ramai dan berisik. Aku ingin kembali." Suaranya benar-benar lembut dan memabukkan. Harry masih tak tahu, bagaimana mungkin tubuhnya bereaksi seperti ini pada seorang gadis, yang tak tahu pula nyata atau tidak.
Bibir Harry terkatup rapat. Matanya terus memperhatikan gadis di hadapannya ini. Gadis dengan kulit porselen dan bibir merah merona. Jangan lupakan wig pirang yang menjadi mahkota indah di kepalanya.
Aku mengkhayal lagi.
Harry memejamkan mata dan menggelengkan kepala. "Siapapun kau, kumohon, ke luar dari kepalaku. Kau tak nyata dan hanya khayalan, kumohon jangan ganggu aku." Harry berkata lirih dan saat itu pula, gadis itu berjalan mendekat.
Tangan mungilnya meraih tangan Harry, menggenggamnya erat, membuat Harry secara perlahan membuka mata. Harry menggigit bibir bawahnya saat mendapati gadis itu berdiri tepat di hadapannya, sangat dekat.
Kau bahkan terlihat jauh lebih nyata dengan jarak sedekat ini. Tidak, katakan jika ini khayalan! Kau tak mungkin nyata!
Pikiran Harry terus berkutat hebat mengenai gadis yang berada di hadapannya saat ini.
"Kau..kau tidak nyata. Hanya khayalanku saja." Harry mundur satu langkah, namun tangannya masih di genggam gadis cantik itu.
Gadis itu diam dan senyumannya mendadak pudar. Matanya terpejam singkat, sebelum menatap kembali Harry dengan kesedihan yang terpancar amat jelas di wajahnya.
"They said I was unreal. Always liked that."
Gadis itu maju satu langkah, menabrakkan tubuhnya pada tubuh Harry yang sudah menabrak dinding dengan keras. Keringat dingin mengalir di pelipis Harry, ketakutan.
Namun, ketakutan itu tergantikan oleh keterkejutan saat tiba-tiba saja Harry merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh permukaan bibirnya, bersamaan dengan lengan yang melingkar di lehernya.
Harry tak merespon apapun selama beberapa saat. Pikirannya buntu, tubuhnya kaku. Namun itu tak lama karena dalam waktu singkat, hormon Harry meningkat untuk ikut bermain di permainan yang telah di mulai oleh gadis yang dipanggilnya 'babe'.
You must be real, Babe. You. Have. To. Be. Real.
------
Holla!
Sorry lama lanjutnya, nyari inspirasi dulu wkwk
Btw, Tayvin putus :( Gue antara seneng krn mereka putus atau sedih krn takut Tay galau berkepanjangan kayak pas dia putus sama Harry. Kalo bisa balikan lah Tay, sama Harry. Aku dukung, sangat! XD
Btw, untuk yg menjalankan, Marhaban ya Ramadhan ya. Mohon maaf lahir & batin. Semoga puasa kita lancar dan berkah! ;)
All the love. A x
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top