8

"Itu udang baladonya jangan lupa kamu bungkus juga. Kasihan Benny gak pernah makan masakan rumahan karena istrinya malas masak."

"Bukan malas masak, Bu, tapi memang kami sampai apartemen sudah capek dan lebih suka istirahat." Giza berusaha menjelaskan, meski tak yakin ibunya memahami. Ia tengah membungkus beberapa masakan yang tersisa usai arisan. Makanan itu akan ia bawa pulang ke apartemen dan disimpan ke dalam kulkas. Jika dibutuhkan untuk makan, Giza hanya tinggal mengeluarkan dari lemari pendingin itu lalu menghangatkannya di microwave sambil menanak nasi. "Kami lebih sering makan di luar sekalian pulang. Masak kadang tidak efisien. Buang waktu dan tenaga, padahal kami sudah lapar dan lelah."

"Gak ada suami sebaik Benny," ucap ibu Giza penuh yakin. "Dia itu pria terbaik yang pernah Ibu lihat. Gak ada tandingannya."

Giza tak berkomentar. Ia sedang malas membahas Benny.

"Kalau gak ada Benny, duh gak tau deh nasib kita kayak gimana." Ibu Giza kembali berceloteh, seakan hanya Benny pembahasan paling menarik dan menyenangkan di muka bumi. "Papa kamu pulang dengan kondisi mengenaskan. Harus amputasi dan tak bisa lagi berlayar. Pesangon tentu akan habis untuk biaya berobat, sekolah, dan hidup. Untungnya Benny bantu biayai kuliah kamu."

Seakan tak peduli dengan wajah anaknya yang datar dan tanpa emosi, ibu Giza lanjut berceloteh sambil membersihkan piring gelas bekas arisan.

"Ibu udah pasrah saja saat papamu harus amputasi. Hidup kita gak akan sama lagi karena Papa tidak bisa bekerja. Masih ada pesangon yang cukup banyak, tetapi saat dihitung jumlah itu tidak mungkin cukup karena papamu punya penyakit yang membutuhkan pengobatan jangka lama. Adikmu butuh sekolah dan kita butuh makan." Sambil meletakkan piring-piring ke dalam rak, ibu Giza menerawang pada masa lalu, pada saat-saat ia tak bisa tidur nyenyak dan gelisah. "Ibu sampai pasrah kalau memang kamu gak akan bisa kuliah setelah lulus SMA. Kerja pake ijazah SMA dan hidup sederhana. Sudah pasrah," ucapnya lirih dengan nada putus asa dan serak. "Eh, tiba-tiba Tante Ratmi datang dan bilang anaknya mau bantu biayai kamu kuliah. Ibu sampai gak bisa berkata apa-apa. Mereka bukan keluarga kita. Tante Ratmi hanya teman dekat Ibu dan mereka sebaik itu kepada kita."

Iya, Benny dan keluarganya memang baik. Sangat baik dan perhatian, tetapi ibunya tak tahu bahwa ada satu bara api yang Benny miliki dalam hidupnya, yang kini membuat Giza layaknya hidup di neraka.

"Sudah rezeki kita, Bu," seloroh Giza asal. "Mereka bentuk uluran tangan Tuhan untuk kita."

"Iya." Ibu Giza mengamini. "Mereka itu bentuk uluran tangan Tuhan kepada kita, khususnya kamu. Selain menjadi penolong finansial, dia juga melamar kamu, jadi jodoh kamu. Tuhan emang baik banget. Di tengah kesulitan, dikasih kemudahan dalam bentuk kehadiran mereka."

Giza menghela napas lirih.

Ibu Giza selesai mencuci piring, lalu menghampiri Giza yang masih setia di meja makan, membungkus sisa lauk arisan. "Tolong jadilah istri yang baik untuk Benny. Dia pria baik. Bertanggung jawab dan peka terhadap kondisi kita. Gak banyak suami yang perhatian ke keluarga istrinya dan mengurus sebegini banyak. Dia gak perhitungan kasih tambahan biaya berobat Papa sampai akhirnya meninggal." Mata perempuan paruh baya itu berkaca. "Kamu pasti tahu kan kenapa kami hanya ingin Benny yang menjadi suamimu?"

Mata Giza ikut berkaca. Ia mengangguk. "Tahu."

"Bukan karena balas budi atas kebaikan mereka. Ratmi tidak meminta itu, apalagi Benny. Pernikahanmu terjadi karena Ibu berdoa dialah yang menjadi pengganti Papa untuk menjagamu dan kami. Ibu berdoa agak nasibmu jauh lebih baik dari Ibu yang harus menjalani pernikahan jarak jauh karena suaminya harus mencari uang menjadi anak buah kapal dan jarang pulang. Ibu memohon kepada Tuhan, agar kamu mendapatkan pria yang memberimu hidup layak dan mencintaimu dengan tulus."

Air mata Giza mengalir. Hatinya sesak. Ia mendongak demi menghalau tetesan kepedihan itu dari matanya, tetapi tak berhasil karena wajahnya sudah basah saja. Pembahasan tentang Benny dan pernikahannya selalu berhasil membuat sisi emosi dan sentimental itu mencuat, muncul, dan meledak.

Giza tak bisa membantah semua omongan ibunya, karena apa yang perempuan itu ucapkan memang fakta. Tentang Benny, keluarga pria itu, keluarga mereka, dan kehidupan mereka dulu. Ibunya hanya tidak tahu tentang keberadaan Masayu dan hubungannya dengan Benny. Ia tak berani mengatakannya kepada sang Ibu, karena saat itu papanya tengah sakit keras dan mendesaknya untuk segera menikah dengan Benny.

Tak lama dari pertengkaran hebatnya dengan Benny karena memergoki pria itu bersama Masayu dan bertemu dalam kondisi yang menegangkan, Benny mendapat tugas selama enam bulan ke Turki dan membuat mereka jarang komunikasi, nyaris tak pernah. Selama itu, ibu Benny yang selalu memersuasi dirinya untuk menerima Benny dan terus memberikan perhatian kepada keluarganya.

Semua yang ibu Benny dan Bianca lakukan kepada keluarganya, membuat Giza tak bisa memiliki pilihan selain melanjutkan rencana pernikahan. Ditambah, kondisi papanya yang naik turun dan cenderung menunjukkan ke arah yang tak bagus. Giza sakit hati, dendam kepada Benny, dan tak terima calon suaminya ternyata memiliki anak di luar nikah. Namun, ia menyadari bahwa hatinya memang masih mencintai Benny dan membutuhkan pria itu untuk menopang keluarganya. Bukan hanya materi yang Giza butuhkan, tetapi juga perhatian dan perlindungan dari seorang pria. Ziggy masih SMA dan tak mungkin menjadi kepala keluarga.

"Ibu tidak pernah menyesal menikahkanmu dengan Benny. Semua pasti sudah takdir Tuhan. Benny pulang dari Turki dan kami langsung mempersiapkan pernikahan. Dua bulan setelahnya, Papa drop dan meninggal. Setidaknya, papamu sudah menuaikan tugasnya sebagai ayah untuk menikahkanmu pada pria pilihannya yang juga kamu cintai, kan?"

Giza menutup mulutnya, meredam isak yang pecah tanpa bisa ia cegah. Bertemu lagi dengan Benny setelah masa jeda enam bulan paska pertikaiannya dengan pria itu karena Masayu dan ibunya, adaah saat yang cukup berat bagi Giza. Enam bulan tak lantas membuat hatinya berdamai dan justru membuatnya terus menaruh curiga kepada Benny. Apalagi, pertemuan itu terjadi langsung pada acara pernikahan, karena papanya tak ingin menunda menikahkannya dengan Benny, karena alasan kesehatan.

Masa-masa itu adalah neraka baginya, mungkin sampai sekarang. Pernikahan, kondisi papanya yang semakin menurun, lalu kepergian Papa untuk selamanya. Giza hanya bisa menangis, meratapi nasibnya yang ia rasa nahas sekali. Papanya meninggal dan ia menikahi pria yang memiliki masa lalu kelam.

Sampai sekarang, ibunya tak tahu tentang masa lalu Benny sesungguhnya dan Giza tak pernah tega melihat wajah sang ibu yang mungkin saja akan kecewa berat.

"Tolong jadi istri yang baik, Giza. Tolong sayangi dan cintai suamimu, karena dia sangat tulus kepada ibu dan adikmu, juga mendiang Papa."

Giza mengangguk. Ia hanya bisa mengangguk meski tak yakin mampu melakukan apa yang ibunya mau. Ia membersit hidungnya, mengusap wajahnya yang basah. "Semoga Papa tenang di sana, ya, Bu. Giza sayang kalian. Sayang Ibu, Ziggy, dan Papa." Itulah alasannya bertahan pada pernikahan dingin yang membuat hatinya beku, lalu pecah.

Suara mobil Benny membuat ibu anak itu langsung menoleh pada pintu utama. Ziggy yang sejak tadi sibuk membereskan tikar dan membersihkan ruang tamu hingga teras, masuk ke dalam dan berkata bahwa Benny datang.

"Jemput Kak Giza tuh," ucapnya sambil melirik ke arah Benny yang tengah berjalan masuk ke rumah. Setelah mendengar salam Benny, Ziggy lantas keluar lagi karena pria itu memanggil Ziggy dan memintanya ikut ke mobil.

"Bu, ada oleh-oleh dari Mas Benny," teriak Ziggy sambil menenteng beras kemasan lima kilo dan dua kantung belanja berisi banyak kebutuhan pokok. "Ziggy taruh sini aja, ya. Ibu yang beresin."

"Kamu kenapa repot-repot, sih, Ben. Setiap kesini selalu kasih belanjaan. Ibu sudah banyak ngerepotin kamu. Jangan repot lagi. Uang dari kamu juga cukup kok ...." Ibu Giza tersenyum saat punggung tangannya dicium takzim oleh sang menantu. Ia merasa sangat beruntung memiliki menantu seperti Benny yang sopan dan tak perhitungan. "Masuk, masuk. Mau minum apa?"

"Air putih aja, Bu." Benny menjawab tawaran itu dengan senyum ramah dan sopan. Ia lantas melirik pada Giza yang masih duduk di meja makan dan tersenyum lembut. "Pulang, yuk. Gak ada kamu rasanya gak enak."

"Ehem!" Ibu Giza berdeham dengan nada menggoda. "Ibu tadi nasihatin Giza supaya bisa jadi istri yang baik untuk kamu. Kita sampai nangis-nangisan inget masa kalian nikah sampai Papa meninggal."

Benny menerima gelas berisi air putih, lalu duduk di salah satu kursi. "Masa lalu jangan dijadikan beban. Jangan mengenang yang membuat hati sesak. Papa gak akan suka kalau kita mengenang dengan air mata kesedihan." Benny menatap Giza penuh arti. "Saya lebih suka kalau kita fokus pada saat ini dan mempersiapkan masa depan."

"Memang kamu mau mempersiapkan apa, Ben?"

Benny tak menatap mertuanya. Mata itu terus mengarah kepada Giza yang mematung dan bersitatap dengannya. "Saya mau punya keturunan, punya keluarga, dan bahagia bersama Giza. Saya lebih suka fokus ke sana sih, daripada mengenang masa lalu, apalagi yang bikin nangis. Saya mungkin sudah sering bilang ini, tetapi saya memang gak suka kalau lihat Giza menangis. Dia terlalu cantik untuk itu."

Giza membuang pandangan. Ia beranjak dari duduknya dan langsung mengambil kantung kain untuk membungkus makanan yang ia kemas ke dalam kotak.

"Ibu dulu bikin kebaikan apa sih, sampe dapat menantu kayak kamu?"

Kali ini, Benny menoleh kepada mertuanya seraya tersenyum. "Kayaknya itu pertanyaan untuk saya deh, Bu. Saya melakukan kebaikan apa hingga Tuhan kasih saya Giza? Dia—seperti harapan baru untuk saya dan semangat menata kembali hidup saya."

"Tata sebaik mungkin deh hidup kamu. Jangan lupa libatkan Giza di dalamnya." Ibu Giza beranjak demi mengecek kembali hal-hal yang harus Giza bawa. "Jangan buat suamimu lama menunggu. Kalian harus istirahat dan ... supaya cepat punya anak juga."

Giza tak menjawab, hanya berdeham demi menghormati ibunya. Ia mengambil tasnya di kamar, lalu pamit kepada ibunya untuk pulang ke apartemen.

Sesampainya di apartemen, Benny meminta agar salah satu lauk bisa mereka nikmati malam ini. "Mumpung ada makanan rumahan, kita makan ini dulu gak apa-apa, kan, Za?"

Giza hanya mengangguk, lantas menyiapkan makanan untuk Benny. Ia membawa nasi dari rumah, jadi tak perlu memasak lagi. "Mas makan sendiri. Aku masih kenyang dan—bosan."

Benny mengangguk dan tak banyak bicara. Ia paham mungkin Giza masih tidak nyaman dengannya, apalagi setelah pertengkaran mereka kemarin. Benny sadar, ia memang harus pelan-pelan mengambil hati Giza lagi.

"Za, aku udah pernah bilang belum sih ke kamu, salah satu hal yang aku syukuri karena menikahi kamu?"

Giza yang masih di depan kulkas menata persediaan bahan makanan, menoleh ke meja makan minimalis mereka dan menatap Benny penuh tanya. "Karena aku rela menyimpan kisah Masayu?"

Benny menatap Giza dengan wajah datar. "Kita tidak sedang membahas itu dan aku benci membahas itu."

"Tapi aku selalu berpikiran ke arah situ," jawab Giza dingin, sebelum kembali menekuri kulkas.

Mendengar perkataan istrinya, Benny hanya bisa menghela napas. "Aku bersyukur bisa punya mertua sebaik ibu kamu. Masakannya enak dan aku selalu suka. Contohnya ini. Rasanya enak banget dan gak rela kalau cepat habis."

Giza melirik Benny. "Memangnya—masakan Ibu yang mana yang menurut Mas enak?"

"Semuanya," jawab Benny. "Semua masakan saat aku menginap di sana."

Benny tidak sering menginap di rumah ibu Giza. Hal ini karena sejak menikah, Giza tidak ingin terus satu kamar dengan Benny dan berhubungan intim. Ia belum siap untuk itu. Bukan karena ia belum cukup umur, tetapi lebih kepada hati yang belum sepenuhnya menerima kekurangan Benny. Pria itu—sepanjang beberapa bulan pernikahan mereka—hanya tiga kali menginap di rumah Giza.

"Semua masakan?"

Benny mengangguk. "Waktu tahun baruan di rumah kamu sama teman-teman kamu itu, bumbu ikan bakarnya enak banget! Sambalnya memang terlalu asin di lidahku, tapi rasa ikan bakarnya beneran enak."

"Terus?" Giza menutup kulkas karena semua kotak lauk sudah tertata. Ia berdiri mengahadap Benny yang masih asik makan, sambil bersedekap dada.

"Ini. Ini enak banget. Sama waktu pengajian empat puluh harian Papa, aku kan datang terlambat karena terjebak macet. Aku belum makan dan baru bisa makan malam setelah acara pengajian selesai. Waktu itu makanannya cuma gulai nangka muda sama balado tongkol, tapi rasanya enak banget!"

Melihat Benny yang sungguh-sungguh memuji masakan, hati Giza mencelus. Ia teringat pesan ibunya tentang menjadi istri yang baik dan berbakti kepada Benny karena pria itu tulus kepada keluarganya. Ia mau-mau saja bersikap begitu, hanya saya hatinya masih meragu apakah Benny sungguhan mencintainya dan tak mendua.

Benny tidak tahu saja, bahwa semua makanan yang ia puji rasanya tadi adalah masakan Giza. Ia memiliki tugas memasak setiap pulang ke rumah dalam acara apapun. Ibunya tak begitu suka berlama-lama di dapur dan memilih mencuci baju, piring, atau menyiram tanaman. Kebersihan lantai menjadi tugas Ziggy dan semenjak Giza pindah dari rumah itu, ibunya lebih sering membeli lauk matang.

"Aku yakin, Za, suatu hari nanti kamu pasti bisa masak seenak ini. Minta resepnya ke Ibu dan belajar aja. Practice makes perfect. Kamu pasti bisa bikin yang seenak ini atau bahkan lebih enak." Senyum Benny kepadanya, membuat wajah Giza pias dan tubuhnya seperti membeku.

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top