7

"Welcome to IKEA! Gue mau es krim sea salt!" Dindy menghentikan mobilnya di salah satu slot parkir yang cukup ramai. Hari Sabtu memang waktunya orang berpergian, menghabiskan hari libur mengunjungi tempat yang mereka inginkan, tak terkecuali toko perabot besar Swedia yang ada di Jakarta Timur ini.

Giza tersenyum seraya melepas sabuk pengaman yang mengikatnya di kursi mobil milik teman masa kecilnya. Teman masa kecil hingga sekarang karena mereka bertetangga. "Gue traktir lo kalau Cuma sea salt ice cream."

"Ya sama meat balls, dong. Rugi banget jadi supir lo Cuma dapet es krim." Dindy bicara santai seraya turun dari mobilnya, lalu mengunci kendaraan itu setelah memastikan Giza keluar juga. Mereka masuk ke dalam IKEA bersama, memasuki gedung besar itu hendak membeli beberapa hal yang ibu Giza butuhkan untuk keperluan arisan.

Tak langsung menuju tempat barang yang dibutuhkan, Giza memilih jalur dimana ia berjalan melewati contoh desain ruangan yang dibuat oleh IKEA. Ia masuk ke dalam contoh kamar tidur, berdiri di sana selama beberapa saat dengan pikiran menerawang, lalu mengambil ponsel dan mengabadikan ruangan itu dalam memori gawainya. Ia menyukai dekorasi kamar ini. Minimalis, tetapi romantis. Itu yang Giza rasa saat memasukinya.

Ia mendiami kamar yang kasurnya cukup besar. Namun, ia tak pernah merasakan kehangatan di sana, karena Benny tak pernah tidur dengannya. Rumah tangganya memang sedingin itu. Lebih dingin dari pendingin ruangan yang bisa ia atur suhunya. Hatinya tentu berbeda dengan alat dengan remote itu. Hatinya jelas tak bisa diatur oleh Benny, apakah harus menerima atau tidak, apakah harus bahagia atau tidak. Hatinya sangat rapuh dan Benny sudah menghancurkannya.

"Bengong melulu! Telepon Mas Ben, dong! Bilang mau renov kamar kayak gini. Intim banget kesannya. Kalian bisa semakin rajin bikin baby dan gak mau keluar apartemen meski lapar."

Giza melirik malas pada Dindy yang meringis dengan wajah menggoda. "Ngomong apa, sih?"

"Ngomongin lo yang dari tadi ngelamun pake muka baper. Keliatan banget kalo lo lagi kangen Mas Ben."

"Enggak!"

"Gak usah bohong! Gue bisa lihat semuanya, Giza." Dindy menarik Giza dari ruangan itu dan mengajak agar mereka melangkah lagi. "Mas Ben itu adalah trending topik setiap kita dulu nongkrong bareng. Lo akan ngomongin Mas Ben yang inilah, yang itulah, dan nangis bahagia kayak orang alay waktu akhirnya Mas Ben lamar lo. Gue bahkan masih inget wajah lo waktu cerita kalau Mas Ben cium lo di bioskop. Lo gak bisa tidur tiga hari dan berharap kalian segera menikah." Dindy tertawa geli. "Yeah, selamat menikmati ciuman Mas Ben sepuasnya. Jadi, lo mau ambil semua perabot di sana dan ubah kamar kalian dengan warna maroon?"

Giza tak menanggapi ucapan Dindy. Ia terus melangkah sambil sesekali berhenti melihat contoh desain ruangan dan mengambil gambar. Ia sadar, dengan pendapatannya sekarang, agak sulit memiliki rumah sendiri yang luas atau tingkat dua. Berbeda dengan Benny yang pastinya sudah memiliki banyak uang simpanan tetapi entah mengapa sampai sekarang belum juga mengajak Giza membeli rumah.

Masayu, pasti gadis itu alasannya, batin Giza. Benny pasti menyisihkan sebagian besar uang miliknya untuk anak itu, diam-diam di belakangnya. Giza tahu betul, bahwa Benny sangat merasa bersalah atas kehadiran Masayu. Ia akan melakukan apapun demi menebus kesalahannya, sekalipun melukai Giza. Jadi, ia harus bersiap andai suatu hari nanti, Benny benar-benar akan meninggalkannya demi Masayu.

Aku akan memiliki rumahku sendiri, ucap Giza dalam hati. Akhir pernikahannya mungkin adalah perpisahan dan Giza harus sadar bahwa tak semua cinta pertama berakhir indah. Ia harus menyiapkan hatinya mulai sekarang dan tak lagi berharap kepada Benny. Pasti ada laki-laki yang mendekatinya setelah ia bercerai kelak. Pasti ada, setidaknya Pras.

"Ngomong-ngomong, Prasetyo apa kabarnya, Za?"

Pertanyaan Dindy membuat Giza menoleh kepada sahabatnya sambil lanjut melangkah. "Baik."

"Gue jatuh cinta sama Pras. Lo tahu itu, kan?"

Giza mengangguk. "Lo pernah bilang dan gue rasa itu hanya perasaan sesaat. Gak mungkin lo jatuh cinta sama Pras hanya karena dia bantuin lo saat nikahan gue."

"Bukan bantuin, tapi nolongin," ralat Dindy dengan nada penuh keyakinan. "Gila, lo, lipstick Dior gue jatuh ke kolong mobil orang dan dia rela tiarap untuk ambil itu. Gak ada pria sebaik itu, Giza. Bagi pria, lipstick adalah barang remeh yang—yaudahlah, injek aja kalo emang udah jatoh. Gak penting. Tapi dia, rela tiarap padahal udah ganteng banget dengan batik itu, demi ambil lipstick gue."

Dindy berbinar dengan wajah kagum.

"Dia melakukan hal biasa, menurut gue."

"Nope, Beb." Dindy menggeleng tegas. "Gak ada pria yang sebegitu pedulinya sama perempuan kayak dia. Saat acara, dia bahkan temenin gue antri makanan sampai relain kursinya untuk gue dudukin pas makan. Jarang ada pria sebaik itu. Gue berharap dia masih jomlo dan lo bersedia comblangin gue sama dia."

Satu alis Giza terangkat. "Comblang?"

Dindy mengangguk yakin. "Gue rela nyupirin lo kemanapun kalau lo mau comblangin gue sama Pras."

Giza tertawa datar. Tawa yang entah mengapa membuat hatinya merasa tak nyaman. "Gue gak janji, akh!"

"Please, Giza. Lo kan udah punya Mas Benny. Mosok gak mau bantuin gue sama Pras, sih." Dengan gaya seperti anak kecil yang merengek minta mainan baru, Dindy menarik lengan Giza sambil terus melangkah. "Guet uh yakin banget, kalau Pras mampu bahagiain perempuan yang jadi pasangan dia."

"Tahu dari mana, lo? Kalian kan baru ketemu—dua atau tiga kali?"

Dindy mengangguk. "Saat resepsi nikahan lo, saat tahun baruan di rumah lo, dan saat gue nyamperin lo di Grand Indonesia. Kita udah ketemu tiga kali dan gue masih pada keyakinan gue kalau Pras adalah pria yang bisa bikin wanita manapun mabuk kepayang, termasuk gue." Dengan wajah serius, Dindy menatap Giza. "Gue bis abaca karakter orang, termasuk pria."

Giza bersedekap dada, saat Dindy melepaskan pegangannya di lengan perempuan itu. "Kalau lo bener bisa menilai Pras begitu, artinya lo juga bisa menilai Mas Ben, dong?"

Dindy mengangguk mantap. "Lo mau tahu penilaian gue terhadap suami lo? Buat apa? Lo bahkan sudah tahu Mas Ben luar dalam yang gak pernah gue lihat."

"Gak usah ngomong ngaco," ujar Giza. "Kita belanja dulu, habis itu makan dan tolong kasih tahu gue penilaian lo tentang Pras dan Mas Ben. Kita nongkrong kayak biasanya." Giza tak tahu mengapa tiba-tiba ia ingin mendengar pendapat Dindy tentang dua pria itu. Yang jelas, wajah Dindy yang serius saat bicara tentang Pras, membuat Giza jadi ingin melihat dua pria di hidupnya dari mata yang berbeda.

"Siap, Nyonya!"

*****

Dia porsi Swedish meatballs dengan dua mug the hangat tersaji di salah satu meja food court IKEA. Giza mengambil meja di pinggir kaca, agar bisa melihat kondisi jalanan sekitar Jakarta Garden City.

"Pas gue jalan berdua sama Pras di belakang lo dan Mas Ben, gue tuh berdoa semoga yang menjadi pengantin selanjutnya adalah kami berdua. Saat itu, gue mungkin hanya bridesmaid dan Pras groomsman kalian, tapi vibes yang gue rasa, kayak gue yang nikahan sama Pras. Deg-degan banget!" Wajah Nindy terlihat antuasias dengan ceritanya. "Sayang yang dapat buket bunga bukan gue."

"Lo—beneran jatuh cinta sama Pras?"

"Gue gak pernah bercanda sama omongan gue, Za," ujar Dindy menutup ucapan panjang lebarnya tentang Pras. "Dan sekarang, apa yang lo mau gue komentarin tentang Mas Ben?"

Giza memotong satu bola dagingnya, lalu memasukkan ke dalam mulutnya dan mengunyah. "Menurut lo—Mas Ben tulus gak sih orangnya? Serius gak sih ketika mencintai pasangannya?"

"Za, lo baik-baik saja?" Dindy menatap sahabatnya dengan wajah bingung. "Pertanyaan lo awkward banget."

"I'm fine," jawab Giza dengan gestur tenang. "Gue cuma mau dengar dari sudut pandang lo terhadap pertanyaan itu. Menurut lo, suami gue gimana?"

"He's good," jawab Dindy santai tapi serius. "Kita sudah sepakat tentang itu, kan?"

"Gue minta pendapat lo, bukan pendapat gue. Jadi, tolong jawab pertanyaan itu dari sudut pandang lo."

"Okey, okey." Dindy ikut mengambil mash potato dan memakannya seraya berpikir. "Dia pria yang bertanggung jawab, pintar, dewasa, sopan, dan—matcho. He's matcho but gentle. Dia bisa jadi lembut dan penyabar di balik penampilannya yang maskulin dan bersih ala pekerja Sudirman."

"Okay. Then?"

"Sepenilaian gue dari cerita lo dan sikap dia ke lo di depan gue, dia jelas mencintai lo. Oke, pria mungkin bisa menyembunyikan perasaannya, tetapi dari apapun yang Mas Ben lakukan ke lo, dia jelas menjadikan lo prioritasnya."

"Kenapa lo bisa bilang begitu?"

"Tentu karena gak semua suami mau antar jemput istrinya ke rumah mertua. Gak semua suami care dan peduli pada keluarga istrinya. Gak semua suami bisa kasih izin istrinya berkarir. Dan kayaknya hanya dia suami yang gak pernah nyuruh lo masak."

"Ardie Bakrie juga begitu ke Nia Ramadhani. Banyak suami yang bolehin istrinya gak megang kompor, gak Cuma Mas Ben."

"Itu artinya, lo seberuntung Nia Ramadhani." Dindy mengambil mug tehnya, lalu meneguk santai. "Mas Ben memang bukan tipe pria idaman gue, sih. Tapi dia juga gak bisa dibilang pria yang gak mudah dicintai perempuan. Gue yakin banyak yang diem-diem suka sama dia atau terang-terangan bilang suka. Mas Ben memang pembawaannya cool dan gak banyak bicara, tetapi maskulinitas dia itu susah ditolak."

"Kalau—modelan Mas Ben itu, menurut lo apa bisa setia?"

Dindy menatap Giza curiga. "Laki lo selingkuh?"

"Gue gak bilang begitu," elak Giza. "Gue Cuma tanya dan menguji kemampuan menilai karakter yang lo bangga-banggain itu."

Dindy mengernyit, tampak berfikir keras. "Kayaknya enggak. Dia menjunjung tinggi komitmen dan menerima setiap konsekuensi atas pilihannya. Yang gue lihat begitu." Ia kembali menekuri makanannya sambil menatap Giza. "Dia udah pas banget sih buat lo. Jelas ada cinta yang terlihat dari dia untuk lo, terlebih setelah kalian menikah."

Itu bukan cinta, jawab Giza dalam batinnya. Itu adalah cara yang Benny lakukan kepadanya demi merayunya agak tak lagi bersikap dingin. Cinta Benny bukan untuknya. mungkin begitu saat sebelum pria itu mendapati ada darah dagingnya yang terlahir dari masa lalu. Setelahnya, Giza meragukan cinta atau sikap baik Benny kepadanya. Seperti yang Dindy katakan, bahwa Benny tipikal orang yang konsekuen dan menjunjung tinggi komitmen. Apapun yang dilakukan pria itu kepadanya, tak lebih dari sekadar menjalankan komitmen pernikahan dan bertanggung jawab sebagai suami kepadanya. Soal cinta, Giza yakin hal itu sudah mutlak dimiliki oleh Masayu dan tak ada lagi sedikitpun untuknya.

"Za." Panggilan Dindy membuat Giza teralih dari pikirannya. "Lo—beneran janji mau comblangin gue sama Pras, kan?" Ia melipat kedua tangannya di atas meja, memajukan tubuhnya agar lebih dekat dengan Giza yang duduk di depannya. "Gue serius kalau jatuh cinta sama dia."

Giza tak bisa menjawab. Ia hanya terdiam dengan wajah gamang, apakah harus bercerita kepada Dindy, jika Pras pernah menyatakan rasa kepadanya dan rumah tangganya bersama Benny tak pernah indah sejak awal? Dindy belum tahu tentang Masayu, karena saat hal itu terjadi, Dindy sedang fokus penelitian di Indonesia bagian timur, jarang pulang, sulit dihubungi, dan baru kembali sesaat sebelum Giza menikah dan tak lagi ingin membahas tentang masa lalu Benny.

****  

Holla! A Love Revenge sudah tamat di Karyakarsa. Kalian bisa membaca cepat di sana dan akan terbit di KBMapp sesaat lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top