6

"Kamu berniat selingkuh, hah?"

Benny tak bisa menahan emosinya lagi. Pria itu membawa pulang istrinya, tak peduli dengan tatapan orang sekitar yang menilainya karena ia menarik paksa Giza menaiki jembatan penyeberangan, memasuki parkiran Le Meridien, memaksa Giza masuk mobilnya, dan membiarkan perempuan itu menangis selama perjalanan pulang ke apartemen. Ini di luar batas toleransinya. Giza boleh saja membencinya karena masa lalu Benny yang mungkin masih belum Giza terima. Hanya saja, Benny tak pernah bisa menerima penghianatan. Apapun alasannya, penghianatan tetaplah salah.

"Kamu berniat bermain di belakang pernikahan kita?"

Saat mereka sampai di unit apartemen, Benny langsung menutup kencang pintu dan menggenggam keras lengan Giza, tak peduli dengan desisan sakit yang istrinya suarakan. Wajah Giza sudah berantakan akibat sengguk dan isak tangis yang perempuan itu pecahkan. Sepanjang perjalananan tadi, Giza hanya bisa menangis tanpa berani bersuara.

"Pria itu lebih muda dariku, lebih—tampan, lebih—perhatian, dan—apa lagi?" Benny melepas genggaman tangannya di lengan Giza. Wajahnya masih merah padam, berkobar amarah, tak terima istrinya dipeluk oleh pria lain dan tertawa, padahal Giza tahu ia mengajaknya makan malam.

"Kamu benci saya, Za? Sebenci itu kepada saya hingga kamu melakukan ini?"

Dengan segenap keberanian, Giza menatap Benny dengan sorot yang memancarkan kepedihan dan amarah. "Jika aku memang berniat selingkuh, kenapa? Mas tidak terima?"

"Aku tidak menjawab pertanyaan bodoh!"

"Mas marah besar saat pria lain memberikan perhatian kepadaku, tetapi Mas memintaku memahami dan menerima bahwa Mas memiliki anak dengan perempuan lain!" Giza berteriak, nyaris melepaskan kontrol dirinya. Napas perempuan itu bahkan memburu dengan laju air mata yang tak bisa berhenti. "A—apa Mas pernah memikirkan bagaimana posisiku? Bagaimana perasaanku? Bagaimana aku harus menuruti ibuku untuk mempertahankan pertunangan kita hingga menikah dan mati-matian menutupi kebusukan Mas di depan keluargaku?"

Benny terdiam. "Aku—aku minta maaf soal itu." Nada amarahnya lenyap seketika, berganti lirih yang membuat wajahnya sendu. "Kamu tahu sendiri bahwa aku baru bertemu anak itu saat kita sudah bertunangan. Aku tidak tahu tentang mereka dan bahkan tak pernah bertemu ibunya satu kali pun. Tidakkah kamu bisa memahamiku, Giza?" Benny menatap Giza dengan sorot yang berubah lembut. Ada kerapuhan yang terlihat dari binar mata Benny kepada istrinya. Pria itu bahkan mengulurkan tangannya, mengusap wajah Giza yang masih basah air mata. "Aku mencintaimu. Aku tidak mungkin menyetujui perjodohan ini kalau tidak mencintaimu."

Giza menggeleng pelan dengan air mata yang melaju kencang. "Aku tidak percaya." Isaknya bercampur sengguk yang membuat perempuan itu bicara terbata. "Aku tidak bisa merasakan cinta yang Mas katakan." Giza melepas tangan Benny yang masih di pipinya. Ia lantas berbalik, lalu masuk kamar dan meninggalkan Benny yang masih terpaku di depan pintu.

Satu jam berlalu dalam hening. Giza mengurung diri di kamar, sementara Benny masih duduk termenung di sofa yang ada dalam apartemen mereka. Pria itu memesan makanan melalui pesan antar di sela prosesnya menenangkan diri.

Benny mengingat lagi satu tahun lalu, saat ia memutuskan untuk mantap menikahi Giza. Ia baru pulang dari tugasnya selama enam bulan di Turki, di salah satu garmen yang memproduksi baju perusahaannya. Ia menerima penugasan ke Turki, demi menepikan dirinya dari masalah yang membuatnya nyaris gila.

Waktu itu adalah saat terpuruknya, setelah menemukan bahwa ia memiliki anak bersama Susana, mantan kekasihnya. Ia berusaha mendapatkan Susana demi menebus kesalahannya dan membesarkan Masayu sebagai bentuk tanggung jawab. Ia pernah berkata di depan ibunya tentang keinginan membatalkan pertunangan dengan Giza demi merangkul anak kandungnya.

Sayang, Susan menolak dan Masayu yang sempat menerimanya, memilih untuk menjauh dan berada di sisi sang ibu. Semua itu karena Bianca dan ibunya yang sempat menumpahkan amarah kepada Susana dan Masayu padahal semua ini bukan salah mereka. Dua perempuan itu adalah korban dari kebejatannya di masa muda. Benny mencintai Susan dan mereka melakukan kesalahan itu dengan cinta, kesadaran, dan keyakinan bahwa mereka akan terus bersama. Hanya saja, setelah ia pindah ke Jepang untuk kuliah, Susan seakan hilang dan tak ada yang pernah menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Susan.

Enam bulan di Turki, Benny memikirkan semuanya, merenung, dan memutuskan akan memfokuskan hidupnya kepada Giza. Perempuan yang pernah menyatakan cinta kepadanya. Menangis haru saat ia melamarnya secara resmi dan mengutarakan perasaannya kepada Benny saat mereka kencan pertama setelah resmi bertunangan.

Pada kencan pertama itu, Benny mengajaknya makan malam dan menonton film super hero yang ia suka. Dalam perjalanan yang padat akibat curah hujan tinggi, Giza tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa perempuan itu mencintainya.

Bagaikan sihir dan magis yang datang secepat kilat hujan malam itu, entah mengapa hati Benny seketika tentram dan tak lagi memikirkan Susan yang menghilang tanpa kabar. Ia seperti pria yang tertancap panah asmara cupid. Malam itu, ia melihat Giza yang cantik dalam kesederhanannya, yang polos dan tulus dalam setiap ucapannya.

"Mas Benny itu ... cinta pertamaku. Pertama kali ketemu Mas Ben di acara ulang tahun kota, sebenarnya jantungku berdegup kencang. Ini siapa? Ganteng banget dan sopan banget waktu jemput aku. Pas di rumah sakit dan kasih tahu soal Papa, Mas Ben peluk aku, tenangin aku, bikin aku merasa gak usah takut dan kuatir karena ada Mas Ben di samping aku, padahal saat itu kita belum saling kenal." Di kursinya dalam mobil itu, Giza menutup wajahnya. "Ya ampun, kok bisa-bisanya aku jatuh cinta saat papaku sedang diamputasi oleh dokter."

Benny yang seketika tertawa, hanya mengusap kepala Giza penuh sayang. Perempuan yang masih semester akhir kuliah ini, menatapnya penuh cinta, membuat hatinya berdesir hangat.

"Kita menikah setelah kamu lulus kuliah, ya." Benny mengucapkan janji itu dengan sangat manis. "Kamu tetap boleh bekerja dan meniti karir, kok. Aku bukan tipikal pria yang mengurung istrinya dalam rumah. Kita bisa menikmati hidup di sela kesibukan kita, kan?"

Giza tersenyum dengan wajah merona dan mengangguk pelan. "Giza mau kerja di Sudirman juga, kayak Mas Ben."

"Kita akan tinggal di apartemen yang saya tinggali. Itu bukan milik saya. Fasilitas dari kantor. Sementara kita tinggal di sana, sampai saya bisa menemukan rumah yang cocok untuk kita."

Membayangkan membangun keluarga bersama Giza, semangat Benny untuk melanjutkan hidup paska kehilangan Susana, kembali bangkit. Ia yakin, mungkin Giza adalah jodoh yang takdir kirimkan kepadanya. Susan mungkin sudah bahagia dengan pria lain, yang lebih berani memberikannya jaminan masa depan. Benny hanya meminta Susan menunggunya, tetapi perempuan itu nyatanya lebih suka menghindar dan menghilang. Berbeda dengan Giza yang selalu menatapnya dengan binar cinta, membuat Benny merasa diinginkan dan diterima.

Di dalam bioskop, setelah mereka makan malam, Benny terus menggenggam tangan Giza meski matanya fokus pada layar besar. Saat Giza tiba-tiba mencium pipinya dalam kegelapan ruangan itu, Benny menoleh, mendapati Giza yang malu-malu tertangkap menciumnya. Ia tersenyum, terhibur dengan tingkah Giza yang jelas terlihat mencintainya.

Benny memajukan wajahnya, menahan dagu Giza yang masih dekat dengannya, lalu menyatukan bibir mereka dengan pagutan lembut dan perlahan. Ini bukan pertama kali Benny berciuman. Ia tahu, ini adalah ciuman pertama Giza dan merasa bahagia karenanya. Bibir Giza yang gemetar dan geraknya yang kikuk, membuat Benny tahu bahwa perempuan ini menunggunya, mempersiapkan segalanya untuk dirinya. Meski kaku, Benny tahu Giza berusaha menikmati kedekatan ini. Bibirnya berusaha membalas dan merasakan milik Benny meski dengan gerak gugup.

"Saya akan kasih kamu yang lebih dari ini setelah kita menikah," bisik Benny lembut, setelah ciuman mereka.

Bunyi bel apartemen membuat lamunan Benny terhenti. Pesanannya pasti sudah datang. Ia lantas beranjak dari duduknya, menerima makanan yang tadi ia pesan, lalu menata makanan itu di meja makan minimalis miliknya.

Benny mengembuskan napas panjang. Semua ini salahnya. Sikap dan perasaan Giza berubah sejak ia bersikap kasar kepada Giza yang waktu itu memergokinya makan malam dengan Masayu. Giza seperti kesetanan, menyiram wajah Masayu dengan minuman dan mengatainya perempuan hina. Benny tak terima, memarahi Giza dan memutuskan pertunangan mereka.

Ibunya dan Bianca meredam emosi di antara keduanya, lalu meminta Benny untuk tetap menikahi Giza. Mereka menikah, tetapi pernikahan itu tak berjalan semanis yang ia bayangkan.

Benny mengetuk pintu kamar lalu membukanya tanpa menunggu Giza mempersilakan. Ia menemukan Giza tengah duduk di pinggir ranjang dengan ponsel yang bergetar. Ada panggilan dari ibu perempuan itu.

Seakan paham alasan Giza tak mengangkatnya, Benny mendekati Giza, mengambil ponsel itu dan menjawab panggilan mertuanya.

"Giza sedang mandi, Bu. Maaf karena tidak mengangkat panggilan Ibu. Ah, begitu. Baiklah. Saya akan antar Giza malam ini ke rumah." Benny menatap Giza yang menatapnya putus asa dengan mata sembab. "Saya—uhm tidak bisa menginap di rumah Ibu, karena besok ada meeting pagi. Iya, meski besok Sabtu, tetapi ada rekan kantor yang meminta bertemu."

Entah apa lagi yang Benny dan mertuanya bicarakan, sebelum sambungan itu terputus dan Benny memberanikan diri duduk di samping Giza.

"Aku minta maaf. Tadi aku pasti kasar sekali kepada kamu."

Giza bergeming, tak menjawab ucapan Benny.

"Ibu memintamu pulang, agar ada yang membantu mempersiapkan rumah. Besok ada arisan di rumah Ibu. Kita ke sana malam ini, aku antar kamu."

"Mas tidak perlu terlalu peduli denganku. Aku bisa pulang sendiri."

Benny menggeleng, lalu berlutut dan mengambil tangan Giza. "Kamu pasti gak akan percaya jika aku bilang cinta. Namun, kamu adalah istriku dan aku akan selalu memperhatikan kamu. Aku minta maaf, ya. Aku cemburu melihat kamu bisa tersenyum dan mendapatkan perhatian dari pria lain. Aku cemburu karena tidak bisa membuatmu tersenyum seperti itu. Aku cemburu karena perempuanku bisa disentuh seperti itu olehnya. Aku marah karena seharusnya aku yang bisa merangkulmu di tempat tadi, bukan bajingan itu."

"Pras bukan bajingan! Dia jelas mencintaiku tetapi aku jutsru memilih menikah dengan Mas."

"Kita tidak akan membahas ini sekarang. Aku tidak mau bertengkar dan membuatmu menangis lagi. Kita makan sekarang, lalu kamu mandi dan kita berangkat pulang. Jangan menunda, agar tidak terlalu malam sampai sana. Jakarta-Depok bisa sangat lama di hari Jumat." Benny tersenyum dengan sorot memohon maaf. "Aku sudah siapkan makanannya. Ayo kita makan sebelum makanan itu jadi dingin dan gak enak. Kamu juga harus makan biar tidak mudah sakit."

Benny lega karena Giza tidak menarik tangannya dari genggaman pria itu. Apakah Giza memaafkannya atau lebih karena lelah dan kehabisan tenaga setelah pertengkaran yang menguras emosi dan tenaganya? Apapun itu, yang penting sekarang Giza mau mengikutinya ke meja makan, duduk di kursi yang Benny tarik untuk perempuan itu, lalu menyaksikan Giza makan meski dengan gerak lambat dan tanpa bicara.

***** 

Holla, A Love Revenge sudah tamat di Karyakarsa. Kalau kamu ingin fast reading, bisa langsung baca di sana yaa. Muaach!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top