5
Benny menghela napas kesal. Giza menghilang. Ia harus menerima telepon penting dan tak mungkin membiarkan Giza mendengar percakapannya. Saat Benny kembali ke tempat mereka berdiri tadi, Giza sudah menghilang. Ia lantas mempercepat langkahnya menuju Chillax, menerka bahwa Giza pasti sudah menduluinya pergi ke tempat itu.
Langkah Benny mengayun cepat, demi mengejar Giza yang entah sudah sampai mana. Ia tahu istrinya masih merajuk kepadanya, paska pertemuannya dengan Masayu dan masa lalunya. Giza membencinya, meski tak membatalkan pertunangan mereka yang dilakukan atas perjodohan. Benny mencintai Giza. Membalas perasaan perempuan itu, setelah memutuskan berdamai dengan diri dan masa lalunya. Hanya saja, Giza masih marah kepadanya dan berubah menjadi dingin.
Ia pernah membahas masalah ini dengan Bianca, kembarannya. Perempuan itu tahu betul perubahan Giza sejak kemunculan Masayu yang ternyata darah dagingnya bersama perempuan yang menjadi cinta pertamanya. Bianca membantunya agar Giza terus berada dalam pelukan Benny hingga mereka menikah. Sayangnya, Giza mungkin terlihat bahagia di depan orangtua mereka, tetapi tidak di saat mereka hanya berdua.
Giza Arilla. Perempuan yang terpaut belasan tahun dengan Benny. Pertama kali bertemu Giza, saat perempuan itu kelas tiga SMA dan menjadi mayoret pada pertunjukan drum band peringatan ulang tahun kota. Benny yang saat itu sedang pulang dari Jepang karena libur kuliah, diperintahkan oleh mamanya untuk menjemput Giza. Anak sahabat orangtuanya yang belum tahu jika ada kabar duka menyapa keluarga perempuan itu.
Benny yang belum pernah bertemu Giza sekalipun, hanya mendapat informasi jika perempuan itu adalah mayoret grup drum band sekolahnya dan Benny diminta mencari sendiri. Bianca memberikan foto Giza saat perempuan itu datang ke acara ulang tahun anak Bianca dan membantu menjadi pembawa acara.
Tugas itu membuat Benny berdiri di pinggir jalan, demi menunggu drum band Giza melintas. Ia akan menyamakan foto yang Bianca kirimkan dengan sosok mayoret grup itu. Setelahnya, ia akan membuntuti kemanapun Gize pergi dan mengajaknya pulang secepat mungkin. Ia harus segera membawa Giza ke rumah sakit, tempat ayah perempuan itu berjuang antara hidup dan mati.
"Kamu—Giza Arilla, anaknya Pak Puguh?" Benny menghampiri Giza dan bertanya sesopan mungkin.
Gadis yang mengenakan baju warna merah dan biru itu menatap Benny dengan senyum lebar dan wajah penuh tanya. Tumbenan ada yang datang dan mencarinya dengan clue nama ayahnya yang bekerja sebagai pelaut dan pulang beberapa bulan sekali. Ah, jangan-jangan pria tampan ini adalah anak buah ayahnya yang diminta menjemputnya untuk segera pulang.
"Iya, saya Giza anaknya Pak Puguh Hartanto. Mas dengan siapa, ya?"
Benny tersenyum lembut, senyum yang lebih pada iba dan prihatin. "Saya Benny, anak Bu Ratmi, teman ibu kamu. Saya diminta untuk jemput kamu setelah acara ini. Apa sudah selesai dan kamu boleh pulang?"
Giza menoleh ke kanan dan kiri, lalu melangkah menuju seseorang yang Benny tebak gurunya. Gadis itu bicara singkat, lalu bersalaman setelah sang guru mengangguk. Benny menunggu gadis itu, lalu mendului Giza dan memintanya untuk mengikuti Benny menuju mobil Bianca yang ia gunakan.
"Kita kemana, Mas?" Giza terlihat bingung saat Benny membawanya ke rumah sakit, alih-alih pulang. "Kita mau menengok siapa?" dengan wajah polos, Giza terlihat takut dan kuatir.
Benny tak menjawab sampai pria itu menemukan slot parkir dan menghentikan mobil. Setelah beberapa saat, Benny menatap Giza dengan sorot lembut. "Papa kamu pulang pagi tadi, sesaat setelah kamu berangkat untuk tampil. Ia pulang bersama kabar bahwa dia—jatuh dari kapal."
Giza seketika menutup mulutnya dengan wajah terkejut. Tanpa bisa dicegah, gadis itu menangis dan tubuhnya seketika gemetar. "Papa—papa—tidak mungkin!" Isak kencang pecah dan tangisan Giza terdengar pilu di telinga Benny.
Tak tega melihat gadis yang tadi tampil penuh percaya diri dan bahagia, menjadi gemetar ketakutan begini, Benny memberanikan diri menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Operasinya sedang berjalan. Kita berdoa semoga papa kamu bisa selamat. Aku tidak tahu bagaimana keadaannya. Oleh karna itu, sebaiknya kita masuk dan menemani ibumu."
Mereka berjalan bersama menuju ruang yang ibu Benny beritahu. Sampai sana, operasi baru selesai dan Giza mendapat kabar bahwa ayahnya harus kehilangan satu kaki. Ia kembali menangis dan memeluk ibunya.
"Bagaimana suamiku cari uang kalau cacat begini, Ratmi?" Ibu Giza menangis kencang. "Dia mungkin saja dapat pesangon tinggi, tetapi aku ragu jumlahnya mencukupi kebutuhan kami. Apalagi Giza harus kuliah sebentar lagi. Belum lagi Ziggy yang masih sekolah dasar."
Benny terenyuh melihat pemandangan di depannya. Ia yang sedang menyelesaikan studi magisterya, berniat membantu sahabat sang ibu, setelah ia lulus dan mendapatkan pekerjaan bagus. Ia akan kembali menetap di Indonesia setelah studinya selesai.
Beberapa bulan kemudian, Benny pulang dengan gelar megister bisnis dan langsung mendapat pekerjaan di perusahaan fashion ternama. Ia yang mendengar Giza kuliah, berkata kepada sang ibu bahwa ia ingin membantu biaya kuliah Giza. Sang ibu menyambut dengan baik, lalu mengabarkan kepada keluarga Giza bahwa anak kebanggaannya akan menolong biaya kuliah Giza hingga selesai.
Semua berjalan seperti biasa, tanpa ada hal janggal, hingga suatu hari ibu Benny berkata ingin mengambil Giza menjadi bagian dari keluarga mereka.
"Kalau bukan kamu yang jaga Giza, siapa lagi, Ben? Mama mau kamu menikahi Giza setelah ia lulus nanti. Sekarang pun gak masalah sebenarnya, tapi Mama takut Gizanya yang belum siap?"
Bennya yang terperanjat, mencoba menolak ide mamanya. "Giza jauh dibawahku, Ma. Dia bisa saja punya pacar di kampusnya. Konyol kalau harus menikah dengan Benny."
"Gak ada yang konyol tentang pernikaha dan Giza tidak memiliki pacar. Ia fokus sekali belajar dan nilainya mengagumkan. Ia tahu kalau ada kamu yang mengeluarkan biaya banyak untuk pendidikannya dan ia gak mau mengecewakan kamu. Ia belajar giat dan menjadi mahasiswa pintar di sana. Mama ingin kamu membantu keluarga Nunik dengan menjadi suami Giza."
"Benny gak bisa, Ma. Maaf. Benny membantu sekolah Giza bukan berarti menginginkan dia."
"Mama tahu, tapi kamu belum juga menikah sampai sekarang. Kamu sudah ada calon?"
Benny menggeleng.
"Kalua gitu, Giza saja! mama yakin ia gak akan nolak kamu."
"Ma ...."
Mama Benny menggeleng. "Mama mau kamu sama Giza. Gak ada perempuan yang pantas denganmu selain Giza. Dia penurut, pintar, gak nakal, dan gak pernah ada sejarah kelam di masa sekolah. Ia berprestasi dan patuh pada orangtuanya. Dia akan menjadi istri yang sempurna untuk kamu. Tolong dengarkan Mama sekali ini saja, kalau kamu mau lihat Mama bahagia." Wajah mama Benny penuh permohonan dengan mata yang berkaca. "Gak ada yang Mama inginkan selain kamu memiliki pendamping yang baik. Istri yang bisa merawatmu dan menjaga nama baikmu, Ben."
Enggan berdebat dengan ibunya, Benny yang sedang lelah sepulang kerja hanya bisa menghela napas panjang. "Kita bahas itu nanti."
"Kamu akan bertunangan dengan Giza dan kalian bisa saling dekat setelah pertunangan itu. Mama sudah bicara dengan Nunik dan mereka menerima pinangan Mama terhadap Giza."
Benny yang sudah melangkah menuju kamarnya, seketika berhenti. Ia menatap ibunya takjub—nyaris tak habis pikir bagaimana bisa ibunya melangkah sejauh itu tanpa persetujuannya.
"Jangan menolak, karena hanya ini yang Mama inginkan dari kamu, Ben. Hanya ini."
Ini gila! Ibunya bertindak besar tentang masa depannya tanpa berdiskusi dengannya. Benny mencintai ibunya, terlebih setelah kepergian sang ayah. Ibunya sering sakit-sakitan dan Benny ingin menjaga perempuan itu agar tak terlalu banyak pikiran. Hanya saja, terkadang ibunya bersikap semena-mena, membuat Benny geram tetapi tak bisa melawan.
Ingatan Benny tentang masa lalu terhenti saat ia nyaris menabrak seseorang. Ia sudah di depan Chillax dan mengurangi kecepatan langkahnya demi mencari Giza. Matanya dengan jeli memindai setiap tempat, berharap menemukan Giza di salah satu tempat kuliner ini.
Langkah Benny terhenti dengan wajah menegang, saat Giza terlihat sedang memeluk seseorang di depan salah satu gerai. Pria itu merengkuh erat istrinya, lalu mengajak Giza masuk ke dalam gerai. Emosi Benny merangkak naik, ingin menghajar pria yang berani-beraninya menyentuh Giza. Namun, ia berusaha menekan amarah, karena tak ingin membuat keributan di jam-jam saat banyak orang datang untuk melepas penat usai bekerja.
Benny berdiri di luar gerai, dengan mata yang tajam memindai pergerakan Giza. Di dalam gerai itu, Giza seperti mengusap wajahnya, lalu tersenyum saat pria itu memberikannya es krim. Giza menikmati es krim itu dan wajahnya seketika pias saat ia menemukan Benny di luar.
Mereka saling tatap selama beberapa saat, terhalang oleh kaca bening yang menembus penglihatan mereka. Giza membuang muka, memanggil temannya yang sedang dikasir entah membeli apa, lalu keluar dan meninggalkan Benny, seakan mereka tak saling kenal.
Benny tahu Giza sakit hati kepadanya, marah dan benci sejak gadis itu tahu tentang Masayu dan masa lalunya. Namun, sikap yang Giza tampaknya juga tidak bisa dibenarkan. Benny harus tegas kepadanya dan mengingatkan perempuan itu bahwa mereka memiliki ikatan suci yang tak bisa diremehkan.
Berpelukan dengan pria yang bukan keluarga bukanlah hal yang bisa Benny tolerir. Terlebih, sikap pria itu terlihat protektif, seakan mereka memiliki hubungan khusus. Ini tidak bisa dibiarkan. Benny benci penghianatan dan ia ingin Giza memahami itu.
Dengan langkah tegap, Benny menyusul Giza yang berjalan berdampingan dengan pria entah siapa itu. Pantas saja Giza enggan menuruti undangan makan malamnya, ternyata ada pria lain yang membuatnya tega tak menggubris suaminya sendiri.
"Giza!" Benny meneriakkan nama istrinya, membuat dua orang itu berhenti melangkah dan berbalik menatapnya. "Pulang sekarang!"
Giza bergeming dengan wajah menahan emosi. Ia menggeleng cepat. "Aku gak mau pulang."
"Aku suami kamu dan aku memintamu pulang sekarang!"
"Man, dia belum makan dan lelah kerja. Seharusnya kamu tahu kebutuhan dasar manusia, apalagi Giza dan bukan hanya menyakiti hatinya." Pras menatap Benny dengan tegas. "Dia butuh napas agar otaknya tidak gila!"
Benny menatap Pras penuh benci. "Tahu apa kamu tentang istri saya?" Dengan tegas, Benny mengambil tangan Giza dan menarik perempuan itu. "Tanpa perlu kamu cerahami, saya tahu apa yang harus saya lakukan kepada istri saya." Ia menekankan status Giza di depan pria itu, sebelum menarik paksa Giza dan tak mempedulikan es krim yang jatuh karena Giza terkejut langkahnya ditarik paksa oleh Benny.
****
Holla! A Love Revenge sudah sampai bab 28 di Karyakarsa dan sebentar lagi tamat. Buat kalian yang mau ngebut baca, silakan ke Karyakarsa. Muach!
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top