4
Bab 4
Mas Benny: Za, makan malam, yuk!
"Za, makan malam, yuk!"
Giza menoleh ke belakang, pada Pras yang tiba-tiba datang ke meja kerjanya. Di tangan perempuan itu masih ada ponsel yang menampilkan pesan dari Benny sesaat lalu. Pesan yang entah berapa lama hanya ia pandangi tanpa ada keinginan untuk membalas.
Sebenarnya, ia ingin membalas pesan itu, tetapi bingung apakah harus dan kalimat apa yang bagus untuk menjawab ajakan suaminya.
Giza sadar betul, sejak menikah, ia nyaris tidak pernah masak. Mereka tinggal di kawasan urban yang modern dan serba ada. Benny berpenghasilan bagus, membuat pria itu tak pernah perhitungan memberikan kehidupan yang lebih dari cukup untuk dirinya. Benny tak pernah menuntut apapun kepada Giza, apalagi tentang rumah tangga. Mereka mencuci baju di binatu dan makan dengan menu yang tersedia di restoran sekitar mereka. Giza hanya perlu membersihkan debu dengan vacuum cleaner dan memastikan barang berada pada tempatnya.
Akhir-akhir ini, mereka jarang makan berdua di luar. Benny lebih sering membawa pulang makanan dan menanak nasi. Ia makan sendiri sambil menonton televisi atau Giza yang makan sendiri saat Benny keluar apartemen atau mandi. Hal itu terjadi nyaris lama, sekitar entah satu atau dua bulan, Giza tak menghitungnya, yang jelas, setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Benny memeluk anak gadisnya di toko buku dan berdusta kepadanya.
"Kangen Hoytod. Makan di Chillax, yuk!" Suara Pras membuat Giza semakin memfokuskan pikirannya kepada pria itu. Ia meletakkan ponsel dengan posisi telungkup agar tak ada yang tahu tentang pesan Benny kepadanya. Entahlah, meski yakin tak akan ada yang peduli dengan pesan Benny kepadanya, Giza hanya tak ingin orang lain tahu saja tentang pernikahannya.
"Chillax?" Giza tersenyum dengan satu alis terangkat. "Kamu yang traktir?"
Pras menyeringai geli. "Apa sih yang enggak buat kamu, Za. Kamu pasti kangen es krimnya Harper and Cordon, kan? Atau—Matchabae? Aku sih lagi pengen banget oyster omelet-nya Hoytod sama es jeruknya Kebun Jeruk. Yuk, kesana, yuk!"
Giza memutar matanya dengan wajah penuh pertimbangan, lalu tersenyum dan mengangguk. "Oke, boleh. Tapi aku harus ke Ascott jam dua nanti, untuk meeting sama manager hotel terkait penawaran harga mereka ke kita untuk full board acara tahunan para direktur. Sepulang aku meeting di sana, kita nongkrong di Chillax."
"Kamu naik apa ke sana? Mobil kantor?"
"No." Giza menggeleng. "Transjakarta aja. Jam-jam segitu lalu lintas suka padat. Aku pilih TJ untuk efisiensi waktu aja, sekalian—jalan-jalan."
"Oke." Pras mengangguk. "Kabarin kalau udah balik nanti. Kita langsung ke Chillax aja, biar gak kemalaman."
Saat Pras sudah kembali ke ruang kerjanya, Giza kembali mengambil ponsel dan membaca pesan dari Benny. Ada pesan baru dari pria itu ternyata.
Mas Benny: Mau makan di Astha? Atau—Plaza Indonesia?
Ma Benny: Kita udah lama gak jalan berdua.
Giza menghela napas panjang, memutuskan menutup aplikasi pesan dan kembali fokus pada pekerjaannya.
****
Meeting berjalan sesuai dengan rencana. Bersama penanggung jawab acara Board of Director's Meeting, Giza bertemu dengan manager hotel dan berdikusi terkait kebutuhan tempat dan akomodasi untuk acara enam bulanan yang biasa kantornya selenggarakan. Dua jam lebih di hotel, Giza akhirnya pisah dengan Dirga yang harus melanjutkan jadwalnya mencari souvenir untuk tamu undangan nanti. Ia memasuki shelter busway, lalu menaiki armada dengan rute yang menjadi tujuannya.
Giza: Pras, aku sudah selesai meeting dan sedang menuju Chillax. See you there. Aku udah izin Bu Sonya gak balik ke kantor lagi.
Giza menyimpan ponselnya ke dalam tote bag yang selalu ia pakai. Sepanjang perjalanan singkat itu, ia menimbang apakah harus membalas pesan Benny dan menghubunginya. Ia mematikan dering ponsel sepanjang meeting berlansung dan mendapati enam panggilan tak terjawab dari Benny. Ia tahu, suaminya pasti sedang memastikan tentang undangan makan bersama yang tak sedikitpun ia respons.
Pernikahannya tidak normal. Ia harus mengakui itu. Mana ada suami istri yang komunikasinya buruk begini? Mana ada istri yang dingin kepada suami, padahal si pria bersikap baik, ramah, dan tak perhitungan memberikan materi? Giza bukan perempuan materialistis. Ia tidak menyukai kehidupan yang berlebihan. Ia hanya pekerja Sudirman biasa yang juga memiliki gaji. Ia bergaul degan karyawan yang ada di kasta finansial mengengah dan selalu pikir ribuan kali untuk membeli barang luxury.
Berbeda dengan Benny yang penghasilannya nyaris tiga digit. Pria itu bekerja di perusahaan fashion ternama dan mendapatkan fasilitas tempat tinggal di kawasan Sudirman juga. Benny selalu memberikannya baju dari perusahaan pria itu yang hanya sebagian kecil Giza gunakan. Benny tak pernah perhitungan dan selalu mengirimkan uang di rekening yang pria itu berikan kepada Giza sebagai nafkah suami kepada istrinya.
Masalahnya, andai Benny tak memiliki masa lalu seburuk itu dan Giza tak sakit hati, mungkin perempuan itu akan membuka hatinya selebar mungkin. Ia pernah melakukan hal itu kepada Benny. Mencintai hingga ke denyut nadi dan pembuluh darahnya. Syaraf kepalanya bahkan hanya berisi nama Benny dan tak ada pria manapun lagi yang selalu diingat selain Benny.
Namun, setelah tahu Benny begitu, Giza memilih menjaga hatinya, melindungi harga diri, dan bersikap jual mahal agar Benny tahu bahwa ia bukan perempuan yang mudah pria itu kendalikan untuk menutupi aibnya.
"Karet Sudirman!"
Suara petugas Transjakarta membuat Giza tersadar bahwa ia sudah sampai di kawasan gedung perkantorannya. Ia lantas berdiri, mendekati pintu, dan melangkah keluar saat bis berhenti dan pintu terbuka.
Ia dan Pras akan makan malam di Chillax. Ia tak perlu kembali ke gedung kantornya dan langsung memasuki area kuliner Sudirman itu. Ia ingin menikmati hari bersama Pras sambil mendengarkan live music dari band yang biasa tampil di panggung dome. Ia dan rekan kerjanya biasa menghabiskan waktu di tempat itu. Mereka biasa makan siang di sana, merayakan sesuatu di sana, atau sekedar melepas penat sambil menunggu kemacetan jalan mengurai sebelum pulang.
Giza tak tahu apakah Pras mengajak teman mereka atau tidak. Giza tak terlalu memikirkan itu semua. Makan malam bersama Pras adalah jalan ninjanya untuk mengulur waktu pulang dan bertemu Benny. Ia mencintai Benny tetapi jarak adalah penolongnya agar hati itu tak terus tersiksa.
Lepas mengirim pesan kepada Pras, Giza keluar area shelter Transjakarta dan menaiki jembatan penyebrangan yang menjadi salah satu ikon Jakarta. Ia melangkah santai, karena Pras pasti belum samapai di Chillax, sambil melihat orang-orang yang berhenti di jembatan ini untuk mengambil foto.
Giza melakukan hal yang sama. Ia berhenti di salah satu sudut Jembatan Phinisi, mengambil kembali ponselnya dan mengarahkan pada gedung-gedung bertingkat yang megah mendiami ibu kota ini. Ia tersenyum saat mengambil gambar itu, bersyukur menjadi salah satu dari entah berapa banyak orang yang bermimpi bisa memiliki karir di kawasan ini.
Sudirman-Thamrin terkenal dengan kawasan perkantoran elit yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi pekerjanya. Giza bahagia menjadi bagian dari kawasan ini dan membuktikan bahwa ia berhasil meraih impiannya. Ia tahu, kesuksesan tak melulu berasal dari kawasan ini, semua bisa sukses dari manapun, tetapi bagi Giza versi dulu, menjadi hebat seperti Benny adalah kehebatan tersendiri. Setidaknya, ia mampu membuktikan bahwa ia pantas bersanding dengan cinta pertamanya.
Cinta pertama. Memikirkan itu, hati Giza seketika sesak. Ponselnya yang sedang membuka aplikasi kamera, seketika tertutup karena ada panggilan dari Benny. Ia membiarkan ponselnya bergetar terus tanpa ada keinginan untuk menjawab panggilan. Giza terus memandangi ponselnya yang bergetar dengan layar menampilkan nama Benny.
"Giza!"
Suara itu laksana petir di sore hari Jakarta, padahal cuaca sedang cerah cenderung panas. Giza langsung menoleh pada sumber suara dan mendapati Benny berada beberapa langkah darinya. Pria itu tengah memegang ponsel yang menempel di telinga. Panggilan Benny berakhir, bersamaan dengan pria itu yang melepas ponsel dari telinganya, menekan tombol di ponsel, lalu menyimpan benda itu di kantungnya.
"Kamu ngapain di sini? Aku dari tadi telepon kamu dan ...."
"Mas ngapain?" Giza berucap dingin, seolah tak begitu senang dengan kehadiran suaminya. Tubuhnya kaku, seakan melindungi diri dari ancaman berbahaya.
Seakan paham dengan ketidaknyamanan Giza, Benny memberi jarak dua langkah atas kedekatan mereka. Pria itu menatap Giza dengan sorot patah hati tetapi berusaha memaklumi. Benny sadar istrinya berubah sejak ia bertemu anaknya. Benny mewajari sikap Giza tetapi ia berusaha untuk membuktikan kepada perempuan itu bahwa hidupnya hanya tentang Giza dan tak ada lagi Masayu atau masa lalu.
"Aku ada meeting di Meridien. Aku mau ajak kamu pulang dan makan malam bersama. Mobilku ada di Meridien dan ini mau jemput kamu ke kantor, tapi malah lihat kamu sendirian di sini."
Giza terdiam, menatap Benny dengan tatapan waspada. "Aku—aku sudah ada janji makan dengan teman di Chillax."
"It's okay." Benny mengangguk, seraya maju satu langkah, memangkas sedikit jarak diantara mereka. "Aku bisa ikutan kamu makan di sana. The Buttlers kan? Kita makan di sana, kan?"
"Tidak." Giza menggeleng. "Kaum kami bukan kaum pekerja yang bisa semudah itu makan di The Buttlers. Kami lebih suka berada di dome dan menikmati makanan di stand-stand sekitaran sana. Mas kalau mau makan steak ya pergi saja sendiri ke sana. Aku dan temanku bisa memilih tempat kesukaan kami."
Benny tertawa lirih. "Kamu bicara seolah kita adalah dua orang yang berbeda kasta. Harga steik di tempat itu tidak semahal yang kamu siratkan pada ucapanmu, Giza. Aku bisa mentraktirmu dan temanmu jika kalian mau."
"Sayangnya tidak." Giza menggeleng lagi. "Kami memiliki menu kesukaan kami dan Mas mungkin tidak nyaman dengan pilihan kami. Menurutku, Mas sebaiknya kembali ke Le Meridien dan makan di sana saja. Kita bisa bertemu di apartemen dan pulang masing-masing."
Giza meletakkan ponselnya, memposisikan tas tote-nya, lalu berbalik dan melangkah meninggalkan Benny. Berlama-lama dengan pria itu berpotensi membuat air matanya mengalir. Ia tak mungkin menangis di tempat umum begini, dimana banyak orang membidik setiap sudut jembatan ini dengan kamera.
Langkah Giza terhenti saat tangannya dicekal oleh Benny. Ia berbalik, menatap Benny dengan wajah datar dan sorot tak senang. Ia mencoba menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Benny, tetapi tak bisa karena tangan pria itu sangat kuat memegangnya.
"Kita ke sana sebentar, yuk. Aku penasaran dengan ujung jembatan Phinisi. Mumpung aku sedang di sini, temani aku ke sana, ya." Benny menatap Giza semanis yang ia bisa. Wajahnya dibuat seakan memohon agar Giza tak meninggalkannya di tempat umum begini. Benny bukannya tak pernah berada di keramaian, ia hanya—jarang berada di tempat umum Jakarta selain gedung perkantorannya dan tempat meeting. Ia lebih sering berada di apartemen dan menghabiskan waktu untuk istirahat. Minggunya ia gunakan untuk lari pagi di car free day, lanjut olah raga kecil di apartemennya. Ia jarang menghabiskan waktu di tempat-tempat wisata ramai di Jakarta.
Giza menatap Benny sesaat, sebelum berpaling muka dan melangkah ke ujung tempat yang menyerupai dek kapal. Mereka berdua berdiri bersandingan di ujung dek kapal itu, menatap deretan gedung yang berdiri megah. Banyak orang yang mengambil gambar di sana, tetapi mereka tidak. Benny dan Giza hanya bergandengan tangan, melihat pemandangan, lalu Benny memfokukan perhatiannya pada tulisan yang ada di depan mereka.
"Tempat ini tak sekadar dibangun untuk menyeberangkan, namun juga untuk mempertemukan dan menyatukan." Benny tersenyum saat membaca kalimat terakhir dari tulisan yang ditandatangani oleh gubernur Jakarta pada plang stainless itu. Ia lantas menatap Giza dan tersenyum dengan lembut. "Seperti kita yang tanpa sengaja bertemu di jembatan ini dan akan bersatu, kan, Za? Ah, kita memang sudah bersatu karena kita suami istri."
Giza membalas tatapan Benny dengan sorot dalam dan penuh kerinduan. Suami istri. Itu adalah puncak impian Giza terhadap cintanya kepada Benny. Sayang, di puncak itu ia justru tersakiti oleh ketidakjujuran Benny kepadanya.
"Tidak semua suami istri bisa benar-benar bersatu," ucap Giza di tengah deru mobil yang melintas di bawah mereka. "Banyak yang akhirnya berpisah untuk bahagia."
"Kita tidak akan begitu." Benny menggeleng tegas. "Aku pastikan kamu akan selalu di sampingku dan kita akan terus menjadi satu." Benny menarik Giza hingga mereka berhadapan. Pria itu mengambil satu lagi tangan Giza dan menggenggamnya erat. "Aku mencintaimu, Za. Kamu seharusnya tahu itu."
Tatapan Benny tampak tulus dan sungguh-sungguh. Hati Giza bergetar karenanya dan ia nyaris mengatakan sesuatu yang selalu tersimpan di hatinya. Bibirnya gemetar, lidahnya gugup tetapi berusaha untuk mengutarakan apa yang hatinya simpan dan rasa.
"Aku juga ci—"
Belum sempat kalimat itu terlontar sempurna, Benny melepas genggam tangan mereka saat ponsel pria itu berdering. Ia melihat nama pada layar ponselnya, melirik Giza waspada, lalu berjalan menjauh seraya mengangkat panggilan itu.
"Ya, Masayu?"
Sekali lagi, tanpa Benny ketahui, air mata Giza menetes dan hati perempuan itu kembali hancur.
*****
Holla! A Love Revenge sudah sampai bab 24 di Karyakarsa! Untuk kalian yang mau fast update, bisa ke sana ya ... muuaach!
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top