3

Bab 3

Tiga purchase order yang sudah melalui proses bidding setelah user membuat purchase request, akan Giza kerjakan hari ini. lima quotation dari vendor yang berbeda sudah masuk sejak minggu lalu. Ia memproses pemilihan vendor berdasarkan harga dan fasilitas pelayanan terbaik yang ditawarkan sebelum memutuskan mana yang terpilih untuk memegang pesanan kebutuhan kantornya. Setelah mendapat persetujuan dari divisi terkait tentang pemenang tender yang dipilih, Giza akan membuat surat pemesanan untuk vendor pemenang itu.

Pagi ini, ia sudah sibuk setelah membuka surel dari tiga divisi yang menyatakan persetujuan atas vendor yang Giza pilih. Tugas setelah ini adalah, membuat surat pesanan yang akan dikirim langsung kepada vendor tersebut. Target Giza, hari ini tiga surat pemesanan itu selesai agar ia bisa lanjut mengirimkan inkuiri kebutuhan lainnya yang masuk ke dalam sistim divisi pekerjaannya.

"Matcha latte." Aroma matcha latte yang Giza kenal dari Starbucks langsung tercium saat Pras tiba-tiba datang ke meja kerjanya. Pria itu meletakkan tumbler di samping monitor kerja Giza, sekalian dengan paper bag berisi makanan. "Chicken pie. Sarapan dulu, yuk."

Giza menatap Pras yang masih berdiri di sampingnya. Ia tersenyum seraya mengangguk. "Boleh. Di pantry aja. Mejaku lagi penuh kerjaan. Aku takut kotor atau basah." Ia lantas mengambil tumbler berwarna krem dengan gambar gajah beraksen Thailand dan logo Starbucks. Tumbler yang Pras berikan kepadanya saat pria itu berlibur ke negara gajah putih bersama beberapa orang dari divisinya. Finance and accounting.

Tumbler itu tak pernah Giza bawa pulang meski Pras menegaskan bahwa benda itu mutlak milik Giza. Namun, Giza berkeras bahwa ia tak membutuhkan tumbler di apartemennya dan memilih menyimpan benda itu di kantor untuk saat-saat tertentu jika dibutuhkan. Mungkin saat seperti ini, saat Pras membelikannya sarapan di Starbucks yang ada tak jauh dari gedung kantornya.

Tumbler dan paper box berisi chicken pie dibawa Giza menuju pantry. Mereka jalan bersama sambil membahas soal bonus tahunan yang katanya akan dicairkan kurang dari tiga bulan. Sampai pantry, Wina yang ternyata sudah ada di ruang itu menyapa mereka sambil mengaduk kopi saset yang ia seduh.

"Akur bener. Perasaan gak ada meeting antara Finance dan Procurement, deh," sindir Wina saat menepuk satu kursi kaki tinggi untuk Giza. "Mau bronis? Bu Sonya tadi bawa tiga bronis, gue ambil satu sebelum habis diembat divisi Procurement."

"Ah, bronisya Bu Sonya kan enak. Mau dong!" Pras yang juga baru duduk di hadapan Giza, langsung menarik kotak bronis yang isinya sudah dipotong. Ia mengambil satu potong, melahapnya langsung dan mengunyah sambil memejamkan mata. "Sumpah ini tuh enak banget."

"Beli dong makanya! Ini kan bisnisnya Bu Sonya." Wina mencibir sambil ikut mengambil satu potongan lagi. Ia menarik kotak bronis mendekat pada Giza, memintanya untuk mengambil juga.

Giza menggeleng, membuka paper box yang tadi Pras berikan kepadanya. "Aku udah ada sarapannya. Pras bawain tadi. Gak enak kalo aku malah ambil punya orang lain." Giza mengambil chicken pie itu, lalu menggigitnya. "Ini juga enak, kok, gak kalah sama bronisnya Bu Sonya. Thanks ya, Pras." Senyum Giza yang tulus, membuat Pras balas tersenyum dengan wajah semringah.

"Jadi lo udah gak doyan sama bronis?" Wina memutar posisi duduknya, menghadap ke Giza yang masih asik menikmati chicken pie. Perempuan itu lantas melirik Pras yang sedang mengambil potongan kedua bronis dan memasukkannya ke dalam mulut. "Ah, karena yang ngasih Pras, sih, makanya jadi enak."

Pras tersedak.

"Hati-hati, Pras," tegur Giza. "Minum kopi kamu gih."

Pras langsung mengambil tumbler miliknya, lalu meminum pelan. Belum selesai ia meneguk minuman itu, ponselnya berdering.

"Lo ngomong apa, sih, Win. Ngaco," ujar Pras saat melepaskan tumbler dari bibirnya, lalu mengangkat panggilan. "Gue balik ke ruangan dulu. Pak Heru ngajakin meeting." Ia beranjak dari duduknya, mengambil tumbler, lalu berhenti sesaat di depan Giza. "Nanti makan siang, yuk. Di Yoshinoya Wisma 46 aja."

Giza mengangguk sebelum Pras benar-benar melangkah pergi meninggalkan pantry kantor mereka.

Suasana hening setelah Pras pergi. Tidak terlalu hening saat beberapa orang datang mengambil air panas untuk membuat minuman atau sekedar meletakkan bekal di kulkas yang ada dalam ruangan itu.

"Lo sama Pras gimana sih, Za?"

Giza yang baru saja mengabiskan chicken pie, menatap Wina dengan kening mengernyit. "Maksudnya?"

Wina memutar bola mata, mengambil mug dan meneguk minumannya. Ia lantas menatap sahabatnya dengan sorot serius. "Gak usah sok polos, deh. Pras suka sama lo dari lama, dari pertama kita bareng-bareng jadi management trainee di kantor ini. Lo mengejar pria yang katanya cinta pertama lo, but we were struggling for make you smile again waktu lo cerita kalau Mas Ben ternyata ... begitulah." Wina mengangkat bahu, lalu mengambil potongan bronis lagi. "Kami sedikit ragu saat lo memutuskan tetap melanjutkan pertunanganlo dengan Mas Ben dan menikah. So, how your marriage, Bestie?"

Giza tak lantas menjawab. Ia menekuri tumbler bergambar gajah itu lantas tersenyum. Senyum menyedihkan yang jelas menyiratkan keprihatinan. "I—still love him, but still hate him." Helaan napas Giza terdengar lirih dan panjang, selaras dengan suara hatinya kepada Benny, si suami yang entah mengapa tetap ia terima pinangannya padahal hatinya sakit hingga benci. "Pernikahanku ya—gitu deh. Males bahasnya. Gak ada yang bisa aku kenang atau aku banggakan dalam pernikahan kami."

"Masih dingin?" tanya Wina iba. "Kalian belum ... itu?"

Giza menatap Wina dengan sorot penuh arti. "Gimana bisa aku melakukan hal itu, jika setiap melihat Mas Benny, yang ada di kepalaku adalah Masayu, masa lalu Mas Benny, dan kecurigaan kalau suamiku masih berhubungan dengan mantan kekasihnya yang melahirkan anak mereka! Bagaimana bisa aku bercinta saat pikiranku terus membayangkan tubuh Mas Ben yang pernah menyatu dengan perempuan lain hingga menciptakan satu manusia? How can I love him, when my heart this broken?" Bibir Giza gemetar. Ia mengambil tumbler itu perlahan, meneguknya dengan hati-hati, berharap minuman yang Pras berikan bisa memberinya ketenangan.

"Kamu udah pernah bicara dengan Mas Benny?"

Giza mengangguk, lalu menggeleng.

Wina menepuk tangan Giza pelan. Rekan kerjanya ini memang sangat pemikir. Hatinya juga sangat rentan, apalagi jika tentang seorang Benny Wijaya. "Boleh aku kasih kamu saran?"

Giza menatap Wina penuh tanya dan wajah yang menunggu ucapan teman kerja satu divisinya.

"Forgive and follow him. Maafkan Mas Benny dan coba ikuti dia sebagai suami kamu. Drop your doubt, Honey. Kamu mencintainya, tetapi membenci karena ragu pada orang yang kamu cintai. Bukankah itu sangat konyol? Kalau kamu memang mau melanjutkan pernikahan ini, kamu harus membenahi hatimu dan semua prasangka buruk itu. Namun, jika kamu hanya mendapatkan siksaan dan rasa cemburu tak beralasan, lebih baik pergi saja, bukan?"

"Pergi? Lalu Benny akan tersenyum penuh kemenangan dan kembali pada Masayu dan ibunya? No! Benny cinta pertamaku dan seharusnya dia membahagiakan aku setelah apa yang aku lalui dan menimpa hidupku. Kamu tahu itu, kan, Win?"

"Tapi kenyataannya kamu justru tersiksa, Za. Dan aku sedih lihat kamu begitu."

"Benny should love me! Jika dia—dia menyakitiku, maka aku harus membalas sakit hati ini, kan? Dia harus menerima hukuman dariku."

"That's so childish, Giza. Kamu mau balas dendam? Kamu mau apa?" Wina menatap Giza dengan sorot penuh tanya dan tak habis pikir. "Mau mencari sosok masa lalu dan pura-pura punya anak juga, lalu bikin suami kamu ikutan cemburuan? Itu namanya bodoh, Giza."

Giza menggeleng. "No." Ia menghela napas panjang, menggenggam tumblernya erat, seakan hanya itu bukti bahwa ia masih memiliki kekuatan untuk bertahan. Mata perempuan itu menyorot penuh luka dan kepedihan. Ada kebencian yang tersirat dan sakit hati pada binar yang terlihat pada jendela hati itu. "Aku—mungkin akan melakukan sesuatu kepada dia."

"Apa?"

"Mungkin semacam—uji pembuktian?"

"Pembuktian atas apa?"

"Cintanya, tentu saja itu," ujar Giza dengan wajah yang berusaha yakin. "Aku akan membuat Mas Ben tahu bahwa aku juga bisa saja selingkuh jika ia tidak benar-benar membuktikan cintanya kepadaku."

"Kalimat kamu tuh seakan Mas Ben sekarang sedang selingkuh dan kamu tahu soal itu. Dia tidak terlihat seperti pria yang suka jelalatan."

"Kamu tidak tahu apa-apa soal itu, Wina. Mas Ben suamiku, bukan kamu."

Wina memutar matanya jengah. "Aku gak pernah mengaku jadi istri Benny, keleus." Ia lantas memusatkan fokusnya lagi kepada Giza. "Lalu rencanamu apa?"

Giza tersenyum tipis. Senyum yang menyiratkan satu misteri yang ada di dalam kepalanya saat ini. "Menunjukkan ke Mas Benny kalau aku bisa saja diambil pria lain jika dia tidak benar-benar mencintaiku. Aku pernah memergokinya bertemu Masayu di toko buku dan dia berbohong. Dia berkata bertemu teman lama dan bicara sebentar hingga lupa menjemputku di gerai donat, padahal aku tahu dia di toko buku. Aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku." Mata Giza berkaca. "Aku mencarinya, menyusulnya barangkali ia sedang sibuk di gerai lain hingga tak mengangkat panggilanku dan membalas pesanku. Dia tidak tahu bahwa aku melewati toko buku dan memergokinya memeluk perempuan itu."

"Ya Tuhan, Gizakuu." Wina memeluk Giza. "Kamu pasti sakit hati banget."

"Banget, Win." Giza berujar lirih, seakan suaranya nyaris habis, sehabis kesabarannya. "Rasanya aku ingin membalas sakit hati ini, sebelum benar-benar melepaskan Mas Benny. Aku gak yakin bisa menjalankan pernikahan dengan ketidakjujuran yang ia lakukan kepadaku."

Pelukan itu mengerat. Wina menepuk pelan punggung Giza, seakan memberikan kekuatan. "Ini pasti bisa diselesaikan. Kamu hanya butuh bicara dan Mas Benny jujur kepadamu."

"Dia gak akan jujur," jawab Giza saat pelukan mereka terlepas.

"Kamu—mau balas dendam kepada suamimu?"

Giza hanya tersenyum, lalu melirik tumbler gajah dengan penuh arti.

**** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top